Pemilu Usai, Makan Siang Gratis Masih Hangat Menjadi Perbincangan Publik

FK-KMK UGM. Pesta demokrasi Indonesia pada Februari lalu masih membekas dalam diskursus ditengah publik. Misalnya, gagasan makan siang gratis dari salah satu pasangan calon.

Prof. dr. Yodi Mahendradhata, M.Sc., Ph.D., FRSPH., Guru Besar Ilmu Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (FK-KMK UGM) dalam opininya yang dirilis The British Medical Journal (21/5) mengkritisi kelayakan program tersebut.

Menurut perkiraan, biaya program ini setara 1,9% dari produk domestik bruto Indonesia. Pembiayaan yang tinggi tersebut dapat membebani anggaran negara.

Bila program makan siang gratis untuk anak-anak sekolah dimaksudkan untuk mengurangi stunting, maka efektifitasnya juga dipertanyakan.

Stunting tidak hanya dipengaruhi oleh karakteristik individual anak, namun juga mencakup karakteristik keluarga dan komunitas terkait.

Hasil-hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa penguatan sistem pelayanan komunitas dengan pelibatan aktif komunitas dalam sektor kesehatan dan lintas sektor akan lebih berdaya ungkit untuk diterapkan di negara berkembang seperti Indonesia.

Pemerintah di negara-negara berkembang juga perlu mendesain roadmap dalam mengurangi prevalensi stunting anak secara signifikan. Termasuk, penilaian diagnostik, keterlibatan pemangku kepentingan, dan pelaksanaan intervensi gizi di sektor kesehatan, serta lainnya.

Selain itu, rencana penambahan jumlah sekolah kedokteran dari 92 menjadi 300 pun turut disoroti. Menurut Prof Yodi respons ini terlalu sederhana untuk menangkap kompleksitas permasalahan kekurangan dokter di daerah terpencil dan pedesaan yang dihuni sekitar 11% populasi Indonesia.

Menurut Prof Yodi, mendirikan fakultas-fakultas kedokteran baru di Indonesia membutuhkan investasi yang besar. Di samping itu, pendirian fakultas-fakultas kedokteran dalam jumlah yang banyak dan waktu yang cepat berisiko  menurunkan kualitas pendidikan kedokteran.

Jumlah fakultas kedokteran di Indonesia saat ini mampu untuk memenuhi kebutuhan sekitar 50.000 dokter yang diproyeksikan dalam lima tahun ke depan. Menimbang, fakultas-fakultas kedokteran di Indonesia menghasilkan 10.000 hingga 12.000 dokter setiap tahun.

Afirmasi calon mahasiswa kedokteran dari daerah terpencil dan pedesaan dengan fasilitasi beasiswa yang mewajibkan pengabdian ke daerah terpencil dan pedesaan setelah lulus justru akan lebih berdaya ungkit.

Oleh karena itu, Prof Yodi menilai program-program tersebut merupakan jawaban populis atas masalah yang kompleks. Hal ini cenderung menghasilkan kebijakan yang tidak berbasis bukti.

Lebih lanjut, potensi manfaat dan risiko program-program kontroversial itu pun dipertanyakan.

Sehingga Ia menegaskan agar komunitas kesehatan di Indonesia ke depan harus mengambil langkah konkrit untuk lebih mendorong pola pembuatan kebijakan berbasis bukti (evidence informed policy making).

Adapun poin-poin rekomendasi diatas didesain dengan merujuk pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (SDGs) yakni Kehidupan Sehat dan Sejahtera (SDG 3). (Kontributor: Prof. dr. Yodi Mahendradhata, M.Sc., Ph.D., FRSPH. Reporter: Isroq Adi Subakti. Ilustrasi: freepik.com)