FK-KMK UGM. Dalam rangka memperkuat pemahaman mengenai penerapan konsep One Health, mahasiswa Magister Ilmu Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM melaksanakan kegiatan fieldtrip ke Kelurahan Ngloro, Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunungkidul, Selasa (10/12). Fieldtrip ini merupakan bagian dari pembelajaran mata kuliah One Health dengan tema Leptospirosis, yang melibatkan kolaborasi lintas sektor dan pendekatan berbasis komunitas.
Kegiatan ini diikuti oleh 12 mahasiswa didampingi dua dosen, yaitu Prof. Dr. drh. Wayan Tunas Artama, seorang pakar One Health, dan Dr. Barandi Sapta Widartono, S.Si., M.Si., M.Sc., yang memiliki keahlian dalam pemetaan geografi. Selain itu, kegiatan ini juga mendapat dukungan penuh dari Dinas Kesehatan Kabupaten GunungKidul. Fieldtrip ini bertujuan untuk memberikan pengalaman lapangan kepada mahasiswa dalam menganalisis risiko, memahami dinamika penyakit zoonosis, dan mengevaluasi langkah-langkah pengendalian yang efektif.
Fokus kegiatan adalah mengunjungi dua mantan pasien Leptospirosis di Kelurahan Ngloro yang telah dinyatakan sembuh. Dari kunjungan tersebut, mahasiswa dapat belajar langsung dari pengalaman pasien sekaligus mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan dan sosial yang berkontribusi terhadap penularan penyakit. Prof. Dr. drh. Wayan Tunas Artama menjelaskan bahwa pendekatan One Health menjadi kunci utama dalam penanganan penyakit zoonosis seperti Leptospirosis.
Pendekatan ini menekankan pentingnya kolaborasi antara manusia, hewan, dan lingkungan dalam mencegah dan mengendalikan penyakit. “Kita tidak bisa hanya melihat penyakit ini dari sisi klinis saja. Lingkungan tempat tinggal, kebiasaan masyarakat, dan keberadaan hewan pembawa penyakit juga perlu diperhatikan. One Health adalah solusi holistik untuk memastikan kesehatan manusia, hewan, dan ekosistem secara bersamaan,” ujar Prof. Wayan saat memberikan pengarahan kepada mahasiswa di lokasi.
Dr. Barandi Sapta Widartono menambahkan bahwa penggunaan teknologi pemetaan geografi sangat penting dalam menganalisis pola distribusi penyakit. “Dengan data spasial, kita bisa melihat daerah-daerah dengan risiko tinggi. Pemetaan ini membantu pemerintah daerah dan tenaga kesehatan untuk menentukan lokasi intervensi, sehingga langkah pencegahan bisa dilakukan dengan lebih efektif,” jelasnya.
Kegiatan ini sejalan dengan komitmen FK-KMK UGM untuk mendukung tujuan Sustainable Development Goals (SDGs). Khususnya, SDG 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera, SDG 4: Pendidikan Berkualitas, SDG 6: Air Bersih dan Sanitasi Layak, maupun SDG 17: Kemitraan untuk Mencapai Tujuan. Karena adanya kolaborasi antara akademisi, pemerintah daerah, dan masyarakat, program ini menjadi contoh nyata bagaimana pendekatan lintas sektor dapat diterapkan untuk mengatasi permasalahan kesehatan masyarakat.
Selain kunjungan ke pasien, mahasiswa juga dilibatkan dalam simulasi pemetaan risiko menggunakan data spasial. Dengan bimbingan Dr. Barandi, mereka mempelajari bagaimana cara menganalisis data lingkungan, distribusi populasi hewan, serta pola curah hujan yang memengaruhi penyebaran bakteri Leptospira. Melalui kegiatan ini, mahasiswa tidak hanya belajar tentang konsep One Health, tetapi juga mendapatkan pengalaman nyata yang dapat diterapkan di masa depan. Kegiatan ini menegaskan komitmen FK-KMK UGM melahirkan lulusan yang kompeten dan berorientasi pada solusi nyata bagi masyarakat. (Kontributor: Fikri Wahiddinsyah/ Editor: Sitam)