FK-KMK UGM. TropmedTalk, podcast Pusat Kedokteran Tropis (PKT) UGM kembali tayang Maret ini. Menyambut Bulan Suci Ramadhan, TropmedTalk mengangkat tema “Tetap Sehat saat Puasa: Mitos atau Fakta?” Narasumber yang dihadirkan adalah Dr. dr. Probosuseno, Sp.PD-KGer(K)., FINASIM., SE., MM., staf pengajar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK) UGM.
“Puasa sangat menyehatkan baik secara biologis, psiko-sosial maupun spiritual,” jelas dr. Probo di penjelasan awalnya. Ia melanjutkan pemaparannya dengan menyebutkan banyaknya penelitian tentang manfaat berpuasa. Salah satu yang ia sebut adalah penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari Jepang, Yoshinori Ohsumi. Ia mendapat Penghargaan Nobel pada 2016 setelah meneliti tentang puasa dikaitkan dengan aktivasi autophagy. Ini adalah proses alami tubuh untuk membuang sel-sel yang rusak dan tidak berfungsi, sekaligus menggantinya dengan sel-sel baru yang sehat. Proses ini dapat terjadi secara alami salah satunya dengan puasa.
Bahkan dr. Probo sendiri pernah meneliti terkait dampak puasa terhadap berat badan dan tekanan darah. “Berat badan akan turun 6 ons hingga 2 kilogram pada minggu pertama,” jelas dr. Probo. Penurunan ini terjadi karena pembakaran lemak seiring berkurangnya asupan. Apalagi aktivitas beribadah juga meningkat selama Ramadhan.
“Penurunan berat badan ini juga ternyata berimbas pada penurunan tekanan darah,” lanjut dr. Probo. Apalagi selama menjalani puasa, orang akan dianjurkan mengendalikan emosinya. Melalui mekanisme lainnya, dr. Probo juga menyampaikan bahwa puasa akan dapat mencerahkan kulit dan menurunkan radikal bebas.
Terkait sakit yang dapat menggugurkan kewajiban berpuasa, dr. Probo menjelaskan bahwa jika sakitnya bersifat ringan dapat tetap menjalankan puasa. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah waktu mengonsumsi obat rutin bagi penderita sakit seperti diabetes. “Jika sudah terbiasa minumnya saat sarapan, diganti menjadi setelah berbuka puasa,” jelas dr. Probo. Namun ia berpesan jika kadar gula darah sewaktu di atas 250 sebaiknya tidak berpuasa. Demikian juga dengan penyakit yang tidak bisa membaik seperti penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), maka sebaiknya tidak puasa.
Meskipun demikian ia menyarankan untuk selalu berkonsultasi dengan dokter sebelum memutuskan untuk menjalankan atau menangguhkan puasa. Termasuk untuk pasien yang mengonsumsi antibiotik rutin. Jika mengharuskan untuk minum antibiotik tiap enam jam, maka boleh tidak puasa. Namun jika hanya minum obat tiga kali sehari, maka bisa tetap berpuasa dengan mengganti waktu minum obatnya menjadi saat makan sahur, berbuka puasa dan menjelang tidur.
Adapun untuk penderita maag atau dispepsia, perlu mengetahui jenis dispepsia yang diderita. Dispepsia sendiri adalah kondisi berupa gangguan pencernaan kronis yang ditandai dengan perut terasa nyeri, kembung, dan begah terutama setelah mengonsumsi makanan. “Jika sedang sakit, kemudian terasa sakit saat makan, maka tidak usah puasa,” jelas dr. Probo. Hal itu menandakan dispepsia yang ia derita adalah dispepsia organik. Namun jika ketika makan tidak merasa sakit maka dapat menjalankan puasa, karena itu menandakan dispepsia fungsional. dr. Probo bahkan menyampaikan justru banyak pasiennya yang menderita dispepsia fungsional sembuh ketika menjalankan ibadah puasa.
Terkait memilih menu untuk berbuka puasa dan makan sahur, dr. Probo menyarankan agar disesuaikan dengan kondisi tubuh. Orang-orang yang sehat lebih leluasa menentukan menu makan asalkan tidak berlebihan. Saran ini juga berlaku menyikapi maraknya tawaran berbuka puasa dengan skema all you can eat. Ia menekankan untuk tetap membatasi asupan di tengah godaan untuk makan sebanyak-banyaknya itu. Pengaturan porsi ini juga berlaku untuk makan sahur. “Disesuaikan dengan aktivitasnya,” jelas dr. Probo. Jika akan menjalani hari yang berat dan penuh aktivitas fisik, maka porsi makan sahurnya pun sebaiknya disesuaikan.
Obrolan podcast kemudian membahas tentang puasa bagi ibu hamil dan menyusui. Menurut dr. Probo, ibu hamil dipersilahkan untuk menjalankan puasa jika usia kehamilannya di atas tiga bulan. Berbeda dengan ibu menyusui yang menurutnya lebih berat dan membutuhkan asupan lebih banyak, dr. Probo menyarankan untuk tidak berpuasa. Namun jika kondisi tubuhnya memungkinkan untuk berpuasa maka tetap diperbolehkan. Hal ini berlaku juga bagi kaum lanjut usia (lansia). Meskipun usia lanjut, jika merasa kuat maka dipersilahkan untuk menjalankan ibadah puasa dengan membatasi kegiatan fisiknya.
Pembatasan fisik ini juga berlaku bagi orang yang sudah terbiasa berolahraga. Seyogyanya memilih olahraga yang ringan dan rekreatif. Selain itu, pemilihan waktu berolahraga juga penting. “Baiknya olahraga menjelang berbuka,” jelas dr. Probo. Penjelasan itu sekaligus menjawab pertanyaan dari audien yang mengajukan pertanyaan lewat media sosial. (Kontributor: Pusat Kedokteran Tropis UGM)