Wolbachia, Sebuah Resiko Besar untuk Pencapaian Besar

Sejak Agustus 2016, penyebaran Wolbachia dengan menitipkan ember yang berisi telur Aedes Aegypti ber-wolbachia yang telah dilakukan di tujuh kelurahan, yaitu Kricak, Bener, Tegalrejo, Wirobrajan, Karangwangu, Pakuncen dan Patangpuluhan. Jumlah ember yang dititipkan sebanyak 1734 dari 7300 yang direncanakan. “Penyebaran ini akan terus dilakukan sampai akhir tahun 2017, kemudian nanti akan dilakukan mentoring terhadap perkembangannya sampai tahun 2019,” ujar dr. Shelley L. Tahija, istri dr. Sjakon G. Tahija Ketua pembina Yayasan Tahija saat ditemui dalam acara temu pengurus Yayasan Tahija, yayasan filantropis yang merupakan pendana penelitian Eliminate Dengue Project (EDP) Yogya (7/4) di Kantor Yayasan Tahija Jogja.

dr. Sjakon Tahija menjelaskan lebih lanjut bahwa mentoring ini dilakukan untuk membuktikan, cara ini merupakan cara yang paling efektif untuk mengatasi permasalahan DBD di Indonesia. Hal yang krusial adalah memastikan bahwa cara ini relatif aman digunakan dan tidak memberi efek samping apa pun. Selain itu, hal yang perlu dipastikan adalah nyamuk ber-Wolbachia ini dapat kawin dengan nyamuk liar penyebab DBD dan berkembangbiak. Sehingga nantinya populasinya akan menjadi nyamuk ber-Wolbachia yang aman dan tidak akan menularkan DBD. “Penelitian ini berlangsung lama karena banyak pemeriksaan laboratorium yang harus dilakukan. Analoginya sama seperti obat yang sebelum disebar di masyarakat pasti ada penelitian dulu mengenai keamanan penggunaan obat.”

Sebuah penelitian baru tentu saja memiliki resiko yang besar untuk gagal. Tetapi dalam hal ini, Yayasan Tahija tetap berkomitmen untuk mendanai program ini hingga 2019 nanti. Adanya resiko mengenai dampak penelitian ini dikarenakan bakteri Wolbachia masih belum umum bagi masyarakat Indonesia. Keberadaannya sudah ada pada beberapa serangga di Indonesia. Walaupun, penelitian ini sudah terbukti berhasil dilakukan di Australia tepatnya di Ketz, Queensland. Tetapi, ada perbedaan genetik orang Indonesia dengan orang Australia yang bisa saja berdampak pada respon yang berbeda terhadap nyamuk ber-Wolbachia ini. Saat ditanya apakah ada kekhawatiran dalam diri Dr. Sjakon mengenai hal tersebut, dengan tegas Dr. Sjakon menjawab “Sebenarnya, bakteri Wolbachia juga sudah ada di dalam nyamuk Aedes Albopictus yang sudah ada sejak dulu di Indonesia. Nyamuk ini sedikit berbeda dengan nyamuk Aedes Aegypti yang tidak menularkan DBD. Jadi seharusnya, nyamuk ber-Wolbachia ini tidak akan berbahaya bagi masyarakat Indonesia,”.

Lebih jauh lagi, keunggulan penelitian ini adalah effective cost karena dana yang diperlukan lebih sedikit. Jika fogging membutuhkan dana yang lebih banyak karena harus dilakukan terus-menerus untuk mengatasi DBD. Sedangkan, cara nyamuk ber-Wolbachia hanya perlu dilakukan penyebaran sekali dan menungggu hasilnya sambil melakukan pemantauan terhadap perkembangbiakan nyamuk ber-Wolbachia. Di tambah lagi, fogging melakukan pendekatan Kimiawi, sedangkan nyamuk ber-Wolbacia ini memakai pendekatan Biologi sehingga lebih alami. “Harapan saya adalah ini akan menjadi salah satu penemuan dunia yang masuk dalam jurnal internasional dan dapat mengatasi permasalahan DBD di Indonesia,” tambah dr. Sjakon.

Sebelumnya pada 2011 Yayasan Tahija mendanai penuh penelitian Eliminate Dengue Project Yogyakarta (EDP-Yogya) berkolaborasi dengan Eliminate Dengue Program Global (EDP-Global), lembaga non-profit yang melakukan penelitian teknologi Wolbachia di Australia, Vietnam, Colombia dan Brazil. Dr. Sjakon Tahija juga menggandeng Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Prof. dr. Adi Utarini, MSc., MPH., PhD sebagai Peneliti utama EDP-Yogya. Pada Januari 2014 telah dilakukan pelepasasn Wolbachia di Sleman dan Desember 2014 di Bantul. Bulan Juli 2015 nyamuk yang mengadung Wolbachia dari wilayah Bantul dan Sleman dikirim ke laboratorium di Monash University untuk studi vector competence. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nyamuk-nyamuk tersebut efektif memblokir replikasi virus dengue. Fase pelepasan nyamuk ber-Wolbachia dilakukan di kota Yogya pada tahun 2016. (Mega/Reporter)

 

Berita Terbaru