Kajian Implementasi Social Determinants of Health dari Perspektif Public Health

Yogyakarta – “Permasalahan global mengenai resisten antimikroba, termasuk juga penyakit-penyakit infeksi antimikroba dan penyakit kardiovaskuler yang sangat berkaitan dengan lingkungan dan sekitarnya, dikarenakan ketidakpahaman (masyarakat) mengenai determinants of health. Penyakit tersebut bahkan bisa disebabkan oleh perilaku masyarakat itu sendiri.  Tentu saja diperlukan suatu kajian untuk mengurangi beban kesehatan di Indonesia ke depan yang bisa (diformulasi) menjadi sumber kebijakan oleh pemerintah.” Demikian sambutan pembuka Dekan Prof Ova Emilia dalam forum diskusi curah pendapat bertema ‘Synergy/Integrating of Biomedical, Social and Clinical Sciences to Strengthen the Application of Social Determinants of Health (SDH) in Public Health Science’ Senin (20/3) di FK UGM.

Forum diskusi yang digagas AIPI (Akademik Ilmu Pengetahuan Indonesia) ini mengundang 7 narasumber dari FK UGM dengan beragam kepakaran ilmu kesehatan masyarakat untuk  memaparkan pandangannya dalam rangka membantu Komisi Ilmu Kedokteran (KIK) AIPI merumuskan pandangan terkait SDH yang akan menjadi rekomendasi bagi pemerintah dan stakeholders terkait. Diskusi ini merupakan kelanjutan curah pendapat SDH pertama yang dilaksanakan tanggal 9 Juni 2016 sebagai pengembangan analisis dan perluasan perspektif salah satu pokok bahasan penting KIK AIPI yaitu life-style-related-diseases.  SDH merupakan refleksi dari faktor sosial dan fisik dalam suatu lingkungan masyarakat tempat mereka lahir, tumbuh berkembang, beraktivitas dan bekerja, yang akan berdampak terhadap kesehatan, kualitas hidup dan peran mereka dalam kehidupan. Kondisi ini dipengaruhi oleh distribusi uang, kekuasaan dan sumber daya di tingkat global, nasional dan lokal. SDH ikut bertanggung jawab atas ketidakadilan (layanan) kesehatan dan terjadinya gap status kesehatan masyarakat.

Narasumber pertama, Dr. dr. Mubasysyir Hasanbasri, M.A. yang juga Ketua Departemen Biostatistik, Epidemiologi dan Kesehatan Populasi FK UGM menegaskan bahwa WHO sudah mengkampanyekan SDH untuk mengatasi persoalan ketimpangan sosial tersebut sebagai sebuah gerakan global, dan ini sudah menjadi isu global. Namun tanpa peran aktif dari berbagai elemen -praktisi sosial, praktisi kesehatan, politisi hingga pemerintah, kampanye global SDH oleh WHO tidak serta-merta mampu mengatasi ketimpangan sosial dan gap status kesehatan masyarakat . “UGM sebagai institusi pendidikan juga terlibat aktif dalam berbagai kegiatan untuk mengadvokasi pemerintah dan mengembangkan modul SDH bagi para peneliti muda di Asia Pasifik. Program Magister Public Health (S2 IKM) FK UGM bahkan sudah relatif lama memasukkan SDH dalam mata kuliah ilmu-ilmu sosial dan perilaku  kesehatan masyarakat,” ujarnya. Guru Besar FK UGM, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD menambahkan cakupan SDH dalam sektor kesehatan termasuk pelayanan kesehatan oleh tenaga medik profesional, penggunaan obat, promosi kesehatan, pencegahan penyakit, pajak merokok hingga sanitasi dan lingkungan kesehatan di jalan raya. Dalam mencapai tujuan pembangunan wilayah dengan menggunakan prinsip SDH diperlukan berbagai kebijakan publik sehingga berdampak pada peningkatan status kesehatan masyarakat yang bersifat luas, seperti kebijakan air bersih, tata kota yang sehat,  perumahan sehat, kebijakan gizi dan kebijakan ekonomi. “Pelaksanaan kebijakan SDH tidak hanya di Kementerian Kesehatan tapi juga lembaga dan profesi di luar kesehatan. Dibutuhkan kerjasama lintas sektor dan lintas profesi untuk mengembangkan manajemen pengetahuan dan masyarakat praktisi berbasis SDH di suatu wilayah yang memiliki kasus kesehatan,” tegasnya.

Dalam perspektif antropologi yang disampaikan oleh Dr. Retna Siwi Padmawati, M.A. penyusunan kebijakan juga perlu mempertimbangkan kearifan lokal di suatu wilayah. Misalkan saja yang terjadi di Nusa Tenggara Barat (NTB), kondisi kehamilan dianggap hal yang biasa sehingga tidak diperlukan pemeriksaan Antenatal Care (ANC) yang sebenarnya bertujuan untuk mengoptimalkan kesehatan mental dan fisik ibu hamil. Wanita hamil di NTB harus merasa yakin bahwa dia benar-benar hamil sehingga perlu  berdiskusi dengan keluarga besarnya terlebih dahulu baru kemudian memeriksakan kandungannya pada tenaga kesehatan. Hal tersebut disebabkan masyarakat NTB masih menganut sistem kekerabatan yang sangat kuat. “Satu hal yang dilakukan oleh seorang antropolog adalah mementingkan data empiris dan penelitian di lapangan sehingga dapat memahami mengapa mereka melakukan hal-hal tersebut,” paparnya. Narasumber dari Departemen Perilaku Kesehatan, Lingkungan, dan Kedokteran Sosial Yayi Suryo Prabandari, MA., PhD mengungkapkan perlu adanya intervensi multilevel untuk menerapkan kebijakan pengendalian tembakau dan faktor penentu sosial terkait perilaku merokok. Belajar dari pengalaman SEATCA (Southeast Asia Tobacco Control Alliance), intervensi diterapkan melalui peningkatan pajak produk tembakau/rokok, pelarangan iklan rokok termasuk dalam bentuk promosi dan sponsorship, penetapan kawasan tanpa rokok (KTR) di area publik (sekolah, pelayanan kesehatan, tempat bermain anak, tempat bekerja, tempat umum, tempat ibadah dan di dalam moda transportasi umum), serta pencantuman peringatan dampak rokok pada kesehatan dengan gambar -50% dari bungkus rokok. Salah satu program intervensi SDH yang berhasil di Yogyakarta adalah ‘Deklarasi Rumah Bebas Asap Rokok’ yang mampu menurunkan angka persentase suami merokok di dalam rumah sebesar 50%, dari semula 87% menjadi37% pasca deklarasi. Selain itu, angka partisipasi dukungan suami dalam gerakan rumah bebas asap rokok meningkat 30%, dari 68% sebelum deklarasi menjadi 98%, walaupun mereka masih tetap merokok (di luar rumah).

Menyoroti SDH terkait HIV, dr Yanri Subronto, PhD, SpPD menyimpulkan bahwa Indonesia masih mempunyai pekerjaan besar dalam hal pencegahan dan pengendalian HIV dan AIDS. Diperlukan pemahaman tentang karakteristik sosio demografi dan faktor penentu infeksi HIV untuk dapat menyusun kebijakan dan program yang lebih sesuai dengan keadaan dan kebutuhan. Pada pembahasan aspek budaya, Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia bidang kebudayaan periode 2011–2014, Prof. Ir. Wiendu Nuryanti, M.Arch.,Ph.D. menguraikan solusi pendekatan di tataran pemerintahan bahwasanya kebijakan tidak bisa hanya berdasarkan kepentingan tetapi juga pendekatan pada gaya hidup masing-masing individu. “Keterlibatan generasi muda juga sangat penting, dan kita bisa menggerakkan mereka sebagai duta untuk membantu mewujudkan SDH,” imbuhnya.

Di akhir diskusi, Ketua KIK AIPI Prof. Dr. Sjamsuhidajat, Sp.BD(K) menggarisbawahi bahwa AIPI tidak memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan. “AIPI memfasilitasi para ilmuan yang sudah melakukan penelitian untuk melakukan pendekatan kepada pemerintah dalam memberikan rekomendasi demi kemajuan kesehatan di Indonesia dan secara khusus demi terwujudnya SDH,” pungkasnya. Hal ini tentu sejalan dengan peran AIPI untuk menghimpun hasil-hasil kajian ilmiah;  memantau kegiatan, pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; melakukan penilaian mengenai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan melakukan upaya lain yang bersifat mendasar dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.  Diskusi curah pendapat SDH ini makin mengukuhkan FK UGM sebagai leading institution, berkontribusi memformulasikan kajian-kajian ilmiah menjadi rekomendasi kebijakan kesehatan di Indonesia yang sehaluan dengan misi FK UGM untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat melalui kegiatan pendidikan, penelitian, pengabdian dan pelayanan yang unggul, berlandaskan kearifan lokal, etika, profesionalisme dan keilmuan berbasis bukti. (Siti Rohmah Megawangi & Sari Wulandari)

Berita Terbaru