Kelainan Endokrin pada Pasien Survivor Keganasan

[slideshow_deploy id=’11826′]

Yogyakarta – Seiring bertambahnya usia, pasien survivor keganasan semakin rentan menderita kelainan endokrin. Sebagian besar penyebab kelainan ini adalah akibat keganasan itu sendiri dan oleh karena efek samping dari radioterapi disusul oleh kemoterapi. Efek samping terapi tersebut berdampak pada pengaturan hormon pertumbuhan maupun hormon steroid yang mengakibatkan gangguan metabolisme tubuh, infertilitas, hingga timbulnya keganasan sekunder.

Prof Margaret Zachrin, MD, PhD dari Royal Children Hospital Melbourne memaparkannya lebih jauh dalam kuliah pakar yang diinisiasi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UGM pada hari Rabu (25/5) dengan topik ‘Kelainan Endokrin pada Pasien Survivor Keganasan’.  Defisiensi adrenocorticotropic hormone (ACTH) merupakan kondisi kelainan yang berprognosis lebih buruk karena sulit dideteksi dan membutuhkan terapi steroid hingga seumur hidup untuk mencegah krisis. Radioterapi secara keseluruhan dapat mengganggu kepadatan tulang sehingga pasien yang mendapat radioterapi disarankan menjalani skrining rutin dan bila perlu diberikan suplementasi vitamin D, kalsium, maupun bisfosfonat. Radioterapi di sekitar abdomen dapat menyebabkan kelainan fungsi pankreas. Diabetes mellitus akibat radiasi lebih banyak terjadi pada survivor limfoma non Hodgkin. Radiasi di daerah leher pada keganasan tiroid dapat menyebabkan timbulnya keganasan sekunder sehingga segera setelah mendapat terapi radiasi, pasien wajib menjalani skrining tiroid (USG dan serum) setiap 2 tahun.

Gangguan fungsi ovarium dan testis salah satunya disebabkan oleh siklofosfamid. Infertilitas merupakan konsekuensi yang tabu untuk dibicarakan oleh orang tua. Dari beberapa survei didapatkan bahwa fertilitas tidak menjadi prioritas pada saat anak terdiagnosis keganasan dan menjalani kemoterapi pertama kali. Setelah dinyatakan remisi, orang tua dan anak tidak menganggap infertilitas sebagai hal yang serius. Namun jika terjadi relaps, baru orang tua mempertanyakan fertilitas anak dan kemungkinan memiliki keturunan. Faktor yang mempengaruhi adalah usia, pada saat relaps biasanya anak sudah berusia remaja atau dewasa sehingga fertilitas menjadi lebih penting dibanding saat anak-anak. Efek samping ini tidak dapat dihindarkan sehingga terapi yang ada saat ini adalah dengan membuat bank oosit dan sperma. Baik orang tua maupun pasien yang akan menjalani kemoterapi pertama kali diberikan penjelasan mengenai dampak siklofosfamid. Untuk anak perempuan, setelah menjalani kemoterapi, fase menopause akan terjadi lebih cepat (kurang dari usia 30 tahun). Jika keduanya setuju, beberapa oosit/sel sperma milik anak akan disimpan terlebih dahulu di bank tersebut sebelum anak menjalani kemoterapi. Setelah fase kemoterapi selesai dan jika pasien masih bertahan hidup, oosit/sel sperma tersebut akan dikembalikan untuk meningkatkan kemungkinan fertilitas pada pasien. Jika pasien meninggal, sesuai informed consent, oosit/sel sperma tersebut akan dinonaktifkan dan tidak digunakan untuk kepentingan apapun. Terapi lain yang disarankan adalah terapi estrogen transdermal. Dibandingkan dengan estrogen oral, terapi ini lebih aman karena tidak melewati metabolisme hati dan tidak mengandalkan kepatuhan minum obat untuk keberhasilannya.

[sumber: drAlexandra Pangarso/drDian Kesumapramudya Nurputra]

Berita Terbaru