FK-KMK UGM Gelar Diskusi Outlook Kebijakan Kesehatan 2020

FK-KMK UGM. Sistem kesehatan di Indonesia mengalami dinamika sepanjang enam tahun berjalannya BPJS Kesehatan. Akses layanan dirasa meningkat signifikan pasca beroperasinya program JKN. Namun belum mencapai pemerataan / keadilan pelayanan kesehatan (equity). Sehingga diperlukan diskusi dan masukan yang terus menerus dari berbagai pihak yang secara konstruktif membantu pemerintah untuk memperkuat sistem kesehatan untuk menyelenggarakan layanan kesehatan yang bermutu dan berkeadilan sesuai cita – cita Pancasila dan UUD 1945.

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada (UGM) mengadakan diskusi Outlook Kebijakan Kesehatan 2020 yang juga dilakukan secara webinar dengan topik “Penguatan Sistem Kesehatan untuk Layanan Kesehatan yang Berkeadilan” pada Senin (27/01) di Common Room, Gedung Litbang Lantai 1, FK-KMK UGM.

Faozi Kurniawan, SE., Akt., MPH., peneliti PKMK FK-KMK UGM menyampaikan hasil kajian Tim Evaluasi JKN PKMK mengenai Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). “Penyelenggaraan JKN selama ini masih belum mengamalkan prinsip ekuitas/keadilan sesuai amanat UUD 1945 dan UU SJSN. Berdasarkan data BKF Kemenkeu 2014 – 2018, PKMK FK-KMK UGM menemukan bahwa segmen peserta PBPU (masyarakat mampu) paling banyak menyerap dana pembiayaan kesehatan, dibandingkan segmen PBI APBN (peserta tidak mampu)”, jelas Faozi, sebelum diskusi webinar dimulai.

Faozi menambahkan, sejak kebijakan JKN digulirkan, BPJS Kesehatan belum melaksanakan kewajiban memberikan kompensasi (Pasal 23 UU SJSN) bagi daerah yang kesulitan dalam hal akses dan belum memiliki fasilitas memadai. Hal ini dikarenakan defisit yang terjadi, sehingga tidak tersedia dana. Apabila dihitung lagi, dengan kenaikan iuran tahun 2020, diestimasikan terjadi surplus. Akan tetapi kenaikan simulasi ini masih belum menggambarkan keadilan, apabila dana PBI APBN digunakan untuk menutup PBPU (masyarakat mampu) dan kebijakan kompensasi belum dialokasikan.

Dalam diskusi ini juga membahas isu stunting, yang menjadi salah satu isu strategis dari lima prioritas pembangunan kesehatan Indonesia lima tahun ke depan (2020 – 2024) yaitu Angka Kematian Ibu (AKI) atau Angka Kematian Neonatal (AKN) yang masih tinggi, stunting, tuberkulosis (TBC), Penyakit Tidak Menular (PTM), dan cakupan imunisasi dasar lengkap. Faktanya, walaupun telah terjadi penurunan prevalensi kejadian stunting dari tahun 2013 – 2018, penurunan stunting belum terjadi secara merata di seluruh wilayah Indonesia.

Digna Purwaningrum, S.Gz., MPH., Ph.D, peneliti PKMK FK-KMK UGM mengungkapkan, “Daerah-daerah dengan sumber daya terbatas dan secara alamiah memiliki hambatan dari segi akses ternyata masih memiliki prevalensi stunting yang tinggi”, ungkapnya. Beliau menambahkan bahwa saat ini pemerintah mengacu penanganan stunting sesuai rekomendasi global, yaitu intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif. Intervensi gizi spesifik berisikan program yang menarget hal-hal yang secara langsung memengaruhi status gizi anak, seperti pemberian makanan tambahan, suplementasi zat gizi mikro, penerapan tatalaksana gizi buruk, dan penanganan penyebab penyakit pada anak. Sedangkan intervensi gizi sensitif bertujuan utnuk menangani faktor-faktor yang menjadi penyebab mendasar dari kondisi kurang gizi, seperti status ketahanan pangan, ketersediaan air bersih, dan kebersihan lingkungan, pemberdayaan masyarakat, dan pelaksanaan program Keluarga Berencana (KB).

Digna menambahkan bahwa pemerintah secara khusus telah menetapkan daerah prioritas penanganan stunting yang disebut sebagai lokus stunting. “Lokus stunting ini terletak menyebar di seluruh Indonesia. Bahkan selama beberapa tahun terakhir, beberapa kabupaten lokus stunting telah berhasil menciptakan inovasi yang berdampak baik, misalnya di Kabupaten Banggai dan Kabupaten Kulon Progo.”, paparnya.

“Keberhasilan Kabupaten Banggai merupakan hasil kerjasama dengan NGO dan universitas lokal. Sedangkan Kabupaten Kulon Progo hasil kerjasama dengan UGM. Untuk daerah yang sulit dijangkau, mungkin bisa diatasi dengan skema melibatkan peran swasta atau filantropi.”,tambah Digna.

PKMK memaparkan rekomendasi penyelesaian stunting salah satunya dengan penanganan community based approach. Harapannya dapat menjangkau kelompok yang lebih luas. Selain itu juga mengintegrasikan program stunting dengan program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) lainnya. Hal ini dilakukan karena intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif sejatinya tidak dapat dipisahkan dari program KIA yang telah berjalan. (Vania Elysia/Reporter)

Berita Terbaru