Menggali Fakta Implementasi JKN dalam Pemerintah Daerah NTT

FK-KMK UGM. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM kembali menyelenggarakan forum diskusi akademisi dan pemerintah, yang menggali fakta implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam dimensi pemerintah daerah. Pertemuan kedua dengan topik diskusi “Implikasi Perpres No.64/2020 pada Keberlangsungan JKN di Daerah Fiskal Rendah Studi Kasus Provinsi NTT” ini diselenggarakan melalui platform Zoom dan Live Streaming YouTube pada Selasa (23/06) pukul 13.00 – 15.00.

“Program JKN telah banyak memberikan manfaat bagi seluruh masyarakat Indonesia. Tetapi tentunya masih ada hal-hal yang perlu disempurnakan dan diperbaiki agar program JKN benar-benar membawa keadilan dan pemerataan dalam pelayanan kesehatan”, ungkap moderator diskusi, Tri Aktariyani.

Akan ada tiga belas provinsi yang membahas hasil penelitian mengenai implementasi JKN dalam dimensi pemerintah daerah masing-masing. “Provinsi NTT merupakan provinsi kedua yang akan membahas hasil penelitiannya dan kami berharap ada suatu laporan penelitian atau situasi yang menarik dari Provinsi NTT”, ungkap Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D.

Diskusi yang bertujuan untuk menggali fakta-fakta penyelenggaraan program JKN selama ini di berbagai daerah ini menghadirkan narasumber Stevi Ardianto Nappoe, MPH., peneliti muda NTT sekaligus mitra PKMK FK-KMK UGM dan Johny Ericson Ataupah, SP., MM., BAPPEDA Provinsi NTT.

Dalam pemaparannya, Stevi mengungkapkan situasi ketersediaan pelayanan kesehatan di Provinsi NTT, jumlah Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) kebanyakan puskesmas dan praktik dokter umum. Terdapat dua Rumah Sakit Tipe B di Ibukota Provinsi, sehingga masih terbatas dan penyebaran belum merata, serta akses pelayanan kesehatan yang masih sulit. Kemudian situasi ketersediaan tenaga kesehatan di NTT masih berada dibawah rasio nasional. Termasuk jumlah ahli gizi yang masih kekurangan sehingga tidak heran angka stunting cukup tinggi di Provinsi NTT.

Sedangkan situasi implementasi JKN di NTT, sebanyak 85% penduduk sudah tercover JKN dengan peserta terbanyak adalah PBI. Rasio klaim paling banyak menggunakan adalah masyarakat mampu. Hal ini dikarenakan masyarakat mampu lebih dekat dengan fasilitas kesehatan dan juga lebih terinformasi dengan baik mengenai penggunaan JKN.

“Data dari Forum Komunikasi Pemangku Kepentingan, bahwa klaim rasio cukup tinggi sebanyak 204%. Namun setelah dilihat lebih lanjut, kolektabilitasnya belum memasukkan jumlah PBI APBN yaitu sekitar 3 juta untuk NTT. Apabila dihitung lagi dengan memasukkan PBI APBN, klaim rasio cukup rendah yaitu 59%, sehingga ada dana sisa NTT yang bisa jadi digunakan di provinsi-provinsi dengan klaim asuransi tinggi, seperti di Yogayakarta, Jakarta, dan lain sebagainya”, ungkap Stevi.

Pemerintah saat ini fokus pada 15% penduduk yang belum tercover JKN. Dari 15% penduduk ini diantaranya penduduk miskin yang tidak masuk dalam DTKS sehingga tidak eligible sebagai PBI APBN, kemudian penduduk hampir miskin yang tidak mampu membayar premi kelas III, dan penduduk mampu yang sudah memiliki asuransi swasta, serta pekerja informal yang belum dijamin perusahaannya. Sebagian besar dari kelompok ini menjadi peserta jamkesda yang saat ini sedang berproses untuk transmigrasi ke JKN secara bertahap karena kapasitas fiskal yang belum memenuhi.

Untuk daerah dengan kapasitas fiscal rendah, kenaikan iuran akan berpotensi menyulitkan Pemerintah Daerah (menambah beban pembiayaan di daerah). Tanpa adanya dukungan finasial (dana kompensasi, dll), pembangunan kesehatan did aerah akan berjalan lambat sehingga berpotensi memperbesar gap inequality. Selain itu pemerintah darah perlu didukung dengan akses data dari BPJS untuk bisa melakukan perencanaan secara efektif dan efesien. (Vania Elysia/Reporter)

Berita Terbaru