Yogyakarta Menuju Bebas Tuberculosis Tahun 2050

FK-KMK UGM. WHO telah mencanangkan bahwa di tahun 2050 dunia harus terbebas dari masalah Tuberculosis. Untuk mencapai tujuan tersebut, terbentuklah Zero TB Innitiative, yaitu suatu badan yang menjadi pelopor eradikasi penyakit TB di seluruh dunia.

Di Yogyakarta, program Zero Tuberculosis sedang diinisiasi oleh Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM bekerja sama dengan Brunette Institute dan International Research Development (IRD). Zero TB Yogyakarta ini merupakan program penanggulangan penyakit TB di wilayah Kota Yogyakarta dan Kabupaten Kulonprogo.

Koordinator Zero TB Yogyakarta, yang juga merupakan staf FK-KMK UGM, dr. Rina Triasih, M.Med (Pead)., Ph.D., Sp.A(K) menjelaskan bahwa program ini bertujuan untuk menurunkan angka prevalensi kejadian TB, khususnya di Kota Yogyakarta yang cenderung masih tinggi.

Senada dengan dr. Rina, Staf Ahli Kesra Walikota Yogyakarta, Wirawan Haryo Yudo mengamini hal tersebut. Mewakili pemerintah Kota Yogyakarta, beliau menyampaikan dukungan penuh atas inisiasi program Zero TB Yogyakarta. “Kota Yogyakarta ini memiliki tingkat kepadatan penduduk yang cukup tinggi, dengan rata-rata penduduk 14.000/m2, tentunya dengan latar belakang kondisi geografis tersebut TB jangan sampai menjadi pembunuh yang tidak nampak,” papar Wirawan.

Selain itu, Kabupaten Kulonprogo dipilih sebagai wilayah kedua penyelenggaraan program ini. Kedua wilayah tersebut dinilai representatif untuk membandingkan keefektifan program Zero TB dengan melihat angka penurunan TB antara daerah perkotaan (urban) dan pedesaan (rural). Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Kabupaten Kulonprogo, drg. Baning Rahayu Sati dalam konferensi pers yang diselenggarakan di FK-KMK UGM, Selasa (12/03) mengaku sangat senang dengan terlibatnya Kabupaten Kulonprogo dalam program ini. Dirinya menyebutkan bahwa pengentasan TB di Kulonprogo masih menemui banyak kendala, “Dari target yang seharusnya kami (red. Dinkes Kulonprogo) baru menemukan 60%, untuk menemukannya saja masih sulit, kemudian dalam pengobatannya terjadi putus obat (drop out) sehingga kasus TB yang resisten obat (MDR-TB) juga meningkat.”

Rencananya, Zero TB Yogyakarta akan menggandeng beberapa instansi lintas sektoral non-kesehatan agar program tersebut dapat berjalan secara agresif, masif dan komprehensif. “Selama ini, TB dianggap sebagai programnya dinas kesehatan saja, nanti di program Zero TB kita akan menyasar semuanya, mulai dari dinas pendidikan hingga dinas ketenagakerjaan,” ungkap dr. Rina.

Dengan semangat search, treat and prevent, dr. Rina berharap adanya program Zero TB ini akan meningkatkan kepedulian masyarakat serta kepedulian dari lintas sektoral dalam menanggulangi masalah TB. Selain itu, sebagai klinisi dr. Rina berharap program ini akan “mengetuk hati” para klinisi bahwa mereka tidak hanya bertanggung jawab dalam treatment/mengobati saja melainkan turut serta dalam upaya pencegahan tuberkulosis. (Alfi/Reporter)

Berita Terbaru