FK-KMK UGM. Dalam rangkaian webinar bertema “Menerjemahkan Hasil Riset untuk Proses Kebijakan melalui Policy Brief,” Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, Ph.D., Guru Besar dan Pakar Bidang Kebijakan Kesehatan dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, memberikan pengantar pada Seri ke-3 Webinar Penelitian Kebijakan untuk Dosen Poltekkes. Webinar ini bertujuan memberikan pemahaman tentang bagaimana hasil riset dapat diterjemahkan menjadi kebijakan yang efektif melalui policy brief.
Dalam sambutannya, Prof. Laksono menekankan pentingnya keterlibatan peserta dalam kelompok untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran, meskipun opsi mengikuti secara individual tetap tersedia. Webinar ini membahas topik kebijakan publik, proses kebijakan, serta penyampaian hasil riset dan analisis, dengan partisipasi aktif dari sekitar 500 peserta dari 1000 yang terdaftar.
Sebelum sesi dimulai, Tri Muhartini, MPA., peneliti PKMK FK-KMK UGM, memaparkan hasil angket evaluasi dari pertemuan webinar sebelumnya. Angket ini menunjukkan peningkatan pemahaman peserta, dari 63% yang tidak memahami pertanyaan riset implementasi sebelum webinar menjadi 78% setelahnya, dan pemahaman mendalam meningkat dari 2% menjadi 20%. Pemahaman tentang peran riset implementasi dalam siklus kebijakan juga meningkat signifikan dari 21% sebelum webinar menjadi 78% setelahnya.
Narasumber pertama, Shita Listyadewi, MPP., Kepala Divisi Public Health PKMK FK-KMK UGM, membahas cara menerjemahkan hasil riset untuk proses kebijakan melalui policy brief. Ia menyoroti pentingnya evidence-based policy, memahami knowledge translation, dan strategi penggunaan policy brief dalam proses pengusungan kebijakan. Shita menegaskan bahwa bukti riset harus menjadi dasar pengambilan kebijakan, meskipun tantangan seperti konteks politik dan ketersediaan sumber daya sering mempengaruhi penerapannya.
Narasumber kedua, Tri Muhartini, MPA., menjelaskan bahwa policy brief merupakan dokumen ringkas yang menyajikan hasil penelitian dalam bentuk grafik dan teks untuk memberikan informasi kepada pengambil keputusan. Dalam penyusunannya, penting memperhatikan standar dokumen dan faktor penyebab masalah serta opsi kebijakan yang diajukan. Policy brief dapat disusun oleh berbagai lembaga dan ditujukan kepada pembuat kebijakan, birokrasi pelaksanaan, dan akademisi.
Webinar ini juga menyajikan sesi tanya jawab yang interaktif. Dewi Aryani dari Poltekkes Tasikmalaya menanyakan perbedaan antara dialog kebijakan dan FGD, yang dijawab oleh Shita Listyadewi dengan menjelaskan bahwa dialog kebijakan memiliki fokus dan tujuan yang lebih spesifik dibandingkan FGD. Asrie Abu dari Poltekkes Mamuju bertanya tentang judul policy brief yang dapat berbeda dengan judul penelitian utama, dan Shita menegaskan bahwa judul policy brief sebaiknya bersifat motivasional untuk memicu tindakan dari pengambil kebijakan.
Dengan berakhirnya sesi ini, peserta diharapkan mampu menerapkan pengetahuan baru mereka dalam penyusunan policy brief yang efektif untuk mendukung proses kebijakan yang lebih baik. Artikel ini terkait dengan pilar 4 SDGs: Pendidikan Berkualitas
Reporter: Agus Salim, MPH. Divisi Public Health, PKMK UGM