Vaksin Pilar Kesehatan Masyarakat: Kearifan Lokal Jadi Solusi Vaccine Hesitancy

FK-KMK UGM. Center of Health Behaviour and Promotion Department FK-KMK UGM bekerja sama dengan Department of Health Behavior, Environment, and Social Medicine, Tulodo, dan University of Sydney menyelenggarakan sebuah kuliah tamu yang bertajuk “Building Resilience: Vaccines as Pillars of Public Health” di Yogyakarta pada Senin (29/04). Kuliah tamu ini merupakan upaya untuk meningkatkan ketangguhan kesehatan publik di tengah tantangan global yang bertujuan untuk memperkuat peran vaksinasi dalam mencegah dan mengendalikan penyebaran penyakit menular.

Terdapat empat pembicara utama pada kuliah tamu kali ini, yakni Prof. Dra. Yayi Suryo Prabandari, M.Si.,Ph.D., sebagai Kepala Departemen Center of Health Behaviour and Promotion FK-KMK UGM, Dr. Dra. Retna Siwi Padmawati, M.A., sebagai Kepala Program Magister Bioethic FK-KMK UGM, Prof. Julie Leask, sebagai guru besar bidang Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Kesehatan University of Sydney, dan Nicholas J. Goodwin., PhD., sebagai CEO Tulodo.

Di sesi pertama, Prof. Yayi menyampaikan bahwa terdapat tiga peran penting promosi kesehatan dalam konteks vaksinasi. Pertama, promosi kesehatan dapat membantu mengurangi tingkat infeksi, morbiditas, dan mortalitas penyakit dengan meningkatkan kesadaran akan pentingnya vaksinasi. Kedua, promosi kesehatan memiliki potensi untuk memberdayakan masyarakat dalam memperkuat infrastruktur sosial yang mendukung kesehatan. Ketiga, promosi kesehatan juga dapat berkontribusi pada aspek ekonomi dengan menghemat biaya, meningkatkan produktivitas, dan mengurangi dampak penyakit pada keluarga.

Namun, meskipun pentingnya vaksinasi telah terbukti secara ilmiah, Indonesia masih menghadapi tantangan dalam meningkatkan tingkat penerimaan vaksin. Salah satu faktor utama adalah keraguan terhadap vaksin di kalangan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk persepsi negatif tentang efek samping vaksin, kurangnya pemahaman akan manfaat vaksinasi, serta kekhawatiran terhadap bahan-bahan dalam vaksin yang berkaitan dengan keyakinan agama.

Keraguan terhadap vaksin tersebut memerlukan tindakan promosi kesehatan yang kuat untuk mengatasi tantangan tersebut. Hal ini mencakup upaya memperbaiki komunikasi, membangun kepercayaan, dan meningkatkan kesadaran akan manfaat vaksinasi. Para pakar juga menyoroti pentingnya melibatkan berbagai pihak, mulai dari industri, organisasi, komunitas, hingga pemerintah, dalam upaya promosi kesehatan ini.

Dalam mengatasi keraguan terhadap vaksin, “Ada tujuh strategi intervensi yang dapat dilakukan oleh promosi kesehatan, yaitu membangun kepercayaan, mengurangi kepuasan diri, menghilangkan kendala, memberikan informasi perhitungan risiko dan manfaat, menekankan tanggung jawab kolektif, memastikan kepatuhan, dan mengatasi teori konspirasi yang mungkin muncul,” jelas Prof. Yayi.

Selanjutnya, dengan mempresentasikan hasil penelitiannya ada sesi lecture kedua terkait vaccine hesitancy, Dr. Dra. Retna Siwi menjelaskan bagaimana situasi dan persoalan aktual terkait vaksin yang ada pada masyarakat hari ini. Menurutnya, memperbaiki keraguan terhadap vaksin tidaklah mudah dan memerlukan waktu serta kesabaran. Proses ini diakui sebagai perjalanan panjang yang membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, termasuk penerapan kearifan lokal dan pendekatan yang sesuai dengan budaya setempat.

Selain itu, perlunya pengelolaan trauma dan pengalaman buruk terkait vaksin dalam masyarakat juga menjadi fokus dalam upaya meningkatkan penerimaan vaksinasi. Dengan melibatkan berbagai pihak dan mengadopsi pendekatan yang holistik, diharapkan bahwa Indonesia dapat mengatasi tantangan yang terkait dengan keraguan terhadap vaksin dan membangun masyarakat yang lebih tangguh dalam menghadapi ancaman penyakit menular.

Berkaitan dengan kearifan lokal, Prof Julie pada lecture sesi ketiga, mengangkat salah satu budaya Jawa yakni aksesoris Sumping. Sumping adalah aksesoris penjepit telinga pada baju adat jawa. Telinga yang dijepit menggambarkan filosofi bahwa kita sebagai manusia tidak boleh mendengarkan dan mencerna sesuatu yang tidak baik mentah-mentah. Kehidupan manusia yang saling berdampingan mengharuskan untuk membentengi diri sendiri. Manusia pasti selalu mendengar hal yang baik ataupun buruk. Meskipun ucapan-ucapan buruk tidak bisa dihindarkan sepenuhnya dari pendengaran manusia. Tentunya harus bisa mengendalikan diri menanggapi apapun yang didengarnya.

Memanfaatkan petuah-petuah dan kearifan lokal yang memiliki arti dan kekuatan tersendiri dalam menggerakan masyarakat dinilai lebih efektif untuk membangun kebiasaan dan perspektif positif atas vaksin. Hal ini selaras dengan pendapat Nicholas J. Goodwin., PhD., pada lecture sesi terakhir, bahwa isu vaccine hesitancy dan rendahnya uptake vaksin bukanlah merupakan isu ringan melainkan sebuah isu perilaku yang harus diselesaikan secara bertahap dan konsisten. Memanfaatkan poin-poin budaya lokal, kepercayaan masyarakat, dan kearifan setempat dapat menjadi katalisator dalam mempercepat terbangunnya kepercayaan masyarakat, termasuk terhadap vaksin dan dampak positifnya dalam jangka panjang.

Kuliah tamu ini menjadi bagian penting bagi sivitas akademika yang nantinya terjun langsung ke masyarakat dalam memberikan pelayanan, khususnya mengedukasi manfaat adanya vaksin. Kegiatan ini selaran dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (SDGs) pada poin 3 Kehidupan Sehat dan Sejahtera dengan memberikan pelayanan dan edukasi kepada masyarakat tentang kebermanfaatan vaksin. (Reporter/Assyifa).

Berita Terbaru