Transformasi Kebijakan, Inovasi, dan Pemerataan Layanan Kanker di Indonesia

Berdasarkan data Indonesian Social Security Agency 2021, kanker menduduki peringkat pertama sebagai penyakit katastropik terbesar di Indonesia yang memiliki tingkat kematian dan pengeluaran tertinggi, disusul oleh stroke, penyakit kardiovaskular, dan penyakit uronefrologi. Kanker turut berkontribusi dalam merajai 80 persen pengeluaran kesehatan di Indonesia, sekaligus menjadi tantangan dalam menjunjung nilai-nilai keadilan dan inklusivitas sistem kesehatan Indonesia. Oleh karena itu, perlu dilakukan pendekatan secara sistematis, berbasis bukti, dan tetap berakar pada humanisme.

Kondisi itu menggarisbawahi urgensi untuk mencari solusi dalam memberikan layanan kanker secara terintegrasi. Dibutuhkan transformasi yang tidak hanya berkutat pada membangun fasilitas atau menyediakan peralatan baru, tetapi merancang kembali sistem, menciptakan jejaring yang berkelanjutan, dan memastikan bahwa layanan kanker tersebar merata di seluruh Indonesia.

Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Jenderal Kesehatan Lanjutan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia (RI), dr. Azhar Jaya, S.H, SKM, MARS, saat menjadi Keynote Speaker pada Pembukaan Summer Course Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada (UGM), 14 Juli 2025. dr. Azhar menyampaikan, dalam menilik peluang, tantangan, dan kebijakan manajemen kanker di Indonesia, transformasi kesehatan Indonesia diperlukan untuk membangun masyarakat yang setara, mandiri, dan produktif. Melalui Kemenkes RI, transformasi kesehatan Indonesia dibangun berdasarkan enam pilar, antara lain transformasi layanan primer, transformasi layanan rujukan, transformasi sistem ketahanan kesehatan, transformasi sistem pembiayaan kesehatan, transformasi sumber daya manusia (SDM) kesehatan, dan transformasi teknologi kesehatan.

Dalam keenam pilar tersebut, Direktorat Jenderal Kesehatan Lanjutan Kemenkes RI berperan dalam mengimplementasikan pilar kedua, yakni transformasi layanan rujukan yang berfokus memperkuat layanan yang maju, merata, dan terintegrasi untuk penyakit kanker dan penyakit katastropik lainnya.

“Kami meyakini bahwa transformasi tidak sekadar dalam dokumen kebijakan saja, tetapi juga harus dialami secara nyata oleh para pasien dan penyedia layanan kesehatan di kehidupan sehari-hari mereka,” kata Direktur Jenderal Kesehatan Lanjutan Kemenkes RI tersebut. 

Prioritas Penanganan Kanker pada Layanan Rujukan

Berdasarkan data epidemiologi dan beban kanker dari Global Cancer Observatory (Globocan) 2022, saat ini, pemerintah RI sedang memfokuskan penanganan pada lima jenis kanker, yaitu kanker payudara, kanker leher rahim atau serviks uteri, kanker paru-paru, kanker kolorektal, dan kanker pada populasi anak di bawah usia 18 tahun. Meskipun jumlah kasus kanker pada anak hanya sekitar 3-5 persen dari seluruh kasus kanker di Indonesia, kanker pada anak tetap menjadi prioritas karena jenis kanker yang umum diderita oleh anak dapat diobati melalui akses diagnostik, terapi yang adekuat, dan layanan dukungan yang memadai. Tingkat kesintasan kanker pada anak pun dapat mencapai 80 persen di negara maju sebagai hasil dari ketersediaan akses yang komprehensif, meskipun tingkat kesintasan kanker pada anak di beberapa negara miskin dan berkembang hanya sekitar 20 persen.

Dalam mempercepat peningkatan cakupan layanan rumah sakit kanker, Kemenkes RI menargetkan 514 kabupaten/kota di Indonesia memiliki minimal satu Rumah Sakit Madya, dan satu Rumah Sakit Utama di 34 provinsi di Indonesia pada 2027. Visi tersebut bertujuan untuk memastikan bahwa setiap masyarakat Indonesia memiliki akses pada kualitas layanan kanker, tanpa terkecuali. Pasalnya, faktor jarak dalam mendapatkan layanan mempengaruhi cepat atau lambatnya deteksi kanker, serta kemungkinan masih bisa tertangani atau sudah fatal.

“Pemerataan layanan rujukan mengurangi kesenjangan geografis dan meningkatkan tingkat kelangsungan hidup pasien, tanpa harus melakukan perjalanan jauh atau menanggung pengeluaran yang besar untuk dapat mengakses layanan kesehatan,” papar dr. Azhar.

Inovasi transformasi dalam rumah sakit jejaring rujukan di Indonesia diwujudkan melalui sistem pengampuan. Sistem tersebut dirancang untuk memastikan bahwa pengetahuan, standar klinis, dan operasional diturunkan dari tingkatan rumah sakit yang lebih tinggi, yaitu Rumah Sakit Paripurna dan Rumah Sakit Utama, ke tingkatan rumah sakit yang lebih rendah, yakni Rumah Sakit Madya dan Rumah Sakit Dasar. Mekanisme ini diharapkan dapat memberikan panduan teknis, pelatihan, dan pengawasan pada rumah sakit jejaring di daerah pedalaman atau wilayah yang kurang mendapatkan akses pelayanan kesehatan.

“Sistem ini tidak hanya membangun kapasitas institusional, tetapi juga memelihara budaya kolaborasi yang mendorong perbaikan berkelanjutan dan pemerataan dalam kualitas pelayanan. Melalui pendekatan ini, rumah sakit di daerah terpencil dapat secara bertahap meningkatkan kapabilitas mereka dan memberikan layanan kanker yang lebih komprehensif,” jelas dr. Azhar.

Dengan sistem tersebut, Rumah Sakit Dasar harus dapat melakukan deteksi dan bedah minor. Sementara itu, Rumah Sakit Madya harus memiliki layanan bedah dan terapi sistemik. Pada Rumah Sakit Utama, terdapat layanan terapi sistemik, bedah, dan radioterapi yang lebih maju. Sedangkan di Rumah Sakit Paripurna, rumah sakit harus memiliki layanan yang komprehensif dan mutakhir, termasuk layanan terapi seluler dan transplantasi. Keempat tingkatan rumah sakit tersebut harus dapat bekerja berdasarkan kapasitas masing-masing, sekaligus memastikan sistem rujukan yang terhubung dan terkoordinasi.

“Ini merupakan tindakan yang praktis untuk memeratakan sumber daya dan kapabilitas pemberi layanan kesehatan, dan menjadi landasan upaya kami untuk memberikan layanan onkologi yang terukur dan berkelanjutan di seluruh wilayah negeri ini,” kata dr. Azhar.

Kesenjangan dan Transformasi Layanan Rujukan

Untuk mendukung layanan rujukan, Kemenkes RI telah menyediakan hampir 700 peralatan medis mutakhir pada 2022-2023. Dana pengadaan berasal dari Bantuan Pemerintah, Dana Alokasi Khusus, dan kerja sama internasional, termasuk pinjaman luar negeri. Peralatan medis yang didistribusikan antara lain PET/CT, MRI, CT Scan, LINAC, SPECT/CT, Cath Lab, mikroskop bedah saraf, dan Brachytherapy.

Berbagai teknologi medis tersebut memastikan kesiapan rumah sakit dalam melakukan skrining, diagnosis, dan perawatan kanker secara aman dan efisien. Distribusi peralatan medis secara merata juga meningkatkan kualitas layanan kesehatan, khususnya untuk penyakit dengan kompleksitas yang tinggi seperti kanker.

Meskipun begitu, masih terdapat layanan kesehatan yang belum merata di Indonesia, seperti mamografi, patologi anatomi, terapi kanker sistemik, radiasi eksternal, dan pengobatan nuklir. Hingga pertengahan 2025, layanan mamografi untuk deteksi dini pada kanker payudara hanya tersedia di 175 dari 514 kabupaten/kota di Indonesia. Untuk meningkatkan harapan hidup pasien dengan kanker payudara, Kemenkes RI berfokus pada pemerataan distribusi mamografi dan pelatihan staf Radiologi.

Sementara itu, layanan patologi anatomi hanya tersedia di 235 kabupaten/kota di Indonesia. Tanpa patologi anatomi, kanker stadium awal mungkin tidak terdeteksi dan mengakibatkan keterlambatan penanganan. Memperluas akses layanan patologi anatomi membutuhkan tidak hanya peralatan dan infrastruktur laboratorium, tetapi juga keahlian patologis dan teknisi. Oleh karena itu, Kemenkes RI melakukan pengadaan peralatan medis, peningkatan kapasitas SDM kesehatan, dan kerja sama dengan rumah sakit strategis agar diagnosis kanker pada tingkat seluler dapat dilakukan dengan cepat dan presisi.

Di sisi lain, terapi sistemik juga menjadi landasan dalam perawatan berbagai kanker. Hanya 95 kabupaten/kota yang saat ini menyediakan layanan terapi kanker sistemik. Keterbatasan akses membuat pasien dan keluarga menempuh perjalanan jauh untuk mendapatkan layanan tersebut. Untuk itu, Kemenkes RI berupaya memperluas terapi sistemik di lebih banyak daerah di Indonesia, termasuk program peningkatan kapasitas untuk dokter onkologi, perawat, dan apoteker; maupun peningkatan manajemen rantai pasok untuk memastikan ketersediaan pengobatan yang vital.

Sementara itu, radioterapi eksternal merupakan modalitas penting untuk penanganan berbagai jenis tumor solid. Di Indonesia, hanya 23 provinsi yang memiliki akses pada layanan ini. Kemenkes RI memprioritaskan untuk memperluas distribusi radioterapi eksternal, khususnya LINAC, dan menyelenggarakan lebih banyak pelatihan onkologi radiasi dan fisika medis. Strategi ini memastikan agar lebih banyak pasien kanker yang menerima penanganan secara tepat waktu, serta perawatan yang efektif dan tepat di provinsi domisili mereka.

Kesenjangan layanan lainnya, yaitu pengobatan nuklir, turut memainkan peran penting dalam diagnosis kanker dan stadiumnya. Saat ini, layanan seperti SPEC/CT hanya tersedia di 10 provinsi di Indonesia. Kurangnya ketersediaan layanan ini dapat menghambat penilaian yang akurat dan keterlambatan penanganan. Untuk mengatasi ini, Kemenkes RI meningkatkan pengadaan pengobatan nuklir dan melatih spesialis dalam berkolaborasi dengan institusi internasional.

“Pada akhir 2025, kami berharap untuk membuat kemajuan yang substantif, meliputi layanan mamografi di 336 kabupaten/kota, layanan patologi anatomi di 261 kabupaten/kota, layanan terapi sistemik di 122 kabupaten/kota, layanan radioterapi eksternal di 27 provinsi, serta layanan pengobatan nuklir di 18 provinsi di Indonesia,” ujar dr. Azhar.

Strategi Pengembangan Layanan Kanker Saat Ini

Meninjau masih adanya kesenjangan layanan kanker di Indonesia, Pemerintah Indonesia sedang mengembangkan strategi berupa penguatan jejaring rumah sakit, pemberdayaan sumber daya manusia, dan distribusi peralatan medis yang vital. Tiga pilar tersebut bekerja secara sinergis agar semua wilayah dapat memberikan layanan kanker berkualitas tinggi yang efektif dan sedini mungkin.

Strategi tersebut kemudian diwujudkan melalui Extensive Community Health Outcome (ECHO). Extensive Community Health Outcome merupakan platform telementoring yang memungkinkan pembelajaran jarak jauh via web untuk mendapatkan pengetahuan teori dan praktik langsung dari para ahli, serta dapat diakses oleh para tenaga kesehatan di daerah-daerah terpencil di Indonesia. Dengan melibatkan 10 rumah sakit pengampu regional layanan kanker di Indonesia dan 19 program yang dijalankan, ECHO telah memiliki 5.000 partisipan. Platform ini tidak hanya memberikan edukasi, tetapi juga menciptakan sebuah komunitas di mana para profesional dapat belajar, berkonsultasi, dan bertumbuh bersama secara realtime.

Selain itu, Pemerintah Indonesia juga telah meluncurkan “Rencana Pencegahan dan Pengendalian Kanker Nasional 2024-2034”. Rencana tersebut memiliki strategi untuk memperkuat upaya pencegahan, deteksi dini, layanan diagnosis, peningkatan kapasitas SDM kesehatan, dan pembiayaan yang berkelanjutan. Rencana Kanker Nasional 2024-2034 juga memiliki target yang terukur dan mekanisme yang akuntabel untuk menjamin dampak jangka panjang melalui penyelarasan stakeholders di Pemerintah dan masyarakat, dengan tetap mengacu pada nilai-nilai yang berpusat pada pasien.

“Kanker itu kompleks dan berbahaya. Namun, itu merupakan tantangan yang menyatukan para profesional dan masyarakat. Ingatlah bahwa di balik setiap statistik, ada kehidupan masyarakat; seorang ibu, anak, ayah, atau teman kita. Tugas kita adalah memastikan bahwa mereka tidak hanya menerima perawatan yang layak, tetapi juga rasa hormat, harapan, dan kasih sayang. Dedikasi dan kerja sama kita semua akan membangun masa depan yang lebih sehat dan lebih merata untuk seluruh masyarakat Indonesia,” tutup dr. Azhar. (Penulis: Citra Agusta Putri Anastasia. Editor: Supriyati)