FK-KMK UGM. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM mengadakan konferensi pers bertajuk “10 Tahun Kebijakan JKN dalam 3 Periode” di Common Room Gedung Penelitian dan Pengembangan FK-KMK UGM pada Rabu (18/12). Acara ini menghadirkan Ketua PKMK, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD., yang mengupas isu-isu utama dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) selama satu dekade terakhir.
Prof. Laksono menyoroti tantangan pemerataan layanan kesehatan sebagai isu kunci yang perlu segera ditangani.
“Masalah utama yang dihadapi BPJS adalah pemerataan. Misalnya di Rote, pasien dengan penyakit mata harus terbang ke Kupang karena di sana tidak ada dokter mata. Padahal, biaya transportasi tidak ditanggung BPJS. Ini menjadi hambatan akses bagi masyarakat,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa pada 30 Desember mendatang, kebijakan untuk mengamankan pemerataan layanan kesehatan di wilayah kepulauan akan menjadi fokus utama. Kementerian Kesehatan telah menginisiasi berbagai program untuk penyakit kritis seperti jantung, kanker, urologi, dan stroke melalui program KJSU (Kesehatan Jantung Stroke dan Urologi) yang akan diperluas ke berbagai daerah.
Namun, kendala lain muncul dari perilaku masyarakat. “Ada masyarakat yang merasa semua layanan kesehatan sudah tercakup, tetapi mereka tetap merokok dan enggan membayar premi BPJS. Padahal, biaya pengobatan penyakit akibat rokok sangat besar,” kata Prof. Laksono.
Dari sisi keuangan, BPJS menghadapi ancaman serius. Selama pandemi COVID-19, anggaran kesehatan banyak disokong oleh pemerintah, bukan BPJS. Namun, pada 2023, BPJS mencatat defisit sebesar Rp7 triliun, yang diproyeksikan meningkat menjadi Rp15–17 triliun pada 2024.
“Untuk 2025–2026, kita harus mencari tambahan dana. Uang pemerintah semakin terbatas, bahkan mulai menambah utang untuk kebutuhan kesehatan,” jelas Prof. Laksono.
Ia juga menyebutkan kemungkinan kenaikan tarif untuk kelompok Pekerja Penerima Upah (PPU) dan pembenahan kebijakan subsidi untuk kelompok Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang dibiayai oleh APBD. Menurutnya, pengelolaan dana kesehatan harus lebih efektif dan efisien agar tidak semakin membebani pemerintah.
Prof. Laksono menegaskan bahwa BPJS harus tetap berfokus pada masyarakat menengah ke bawah.
“Pelayanan BPJS ke depan seharusnya memiliki kelas standar, di mana pasien berbagi ruang dengan maksimal tiga orang lainnya. Ini menunjukkan bahwa BPJS memang dirancang untuk mereka yang membutuhkan,” ujarnya.
Ia juga mengkritisi kebijakan Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah) yang kini tidak lagi diperbolehkan. Sebelumnya, pemerintah daerah memiliki peran lebih besar dalam menyediakan layanan kesehatan. Namun, dana yang disetorkan ke pusat seringkali tidak sejalan dengan kesiapan fasilitas kesehatan daerah.
Dalam penutupnya, Prof. Laksono mengingatkan agar ketidakpastian dalam implementasi kebijakan JKN tidak semakin meluas.
“Ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Jangan sampai masalah yang ada sekarang justru memperburuk kondisi,” tutupnya.
Melalui tindakan kritis ini, PKMK FK-KMK UGM terus berkomitmen untuk mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yakni Kehidupan Sehat dan Sejahtera (SDG 3), Pendidikan Berkualitas (SDG 4), Industri, Inovasi, dan Infrastruktur (SDG 9), Berkurangnya Kesenjangan (SDG 10), Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab (SDG 12) serta Kemitraan Untuk Mencapai Tujuan (SDG 17). (Isroq Adi Subakti/Reporter)