FK-KMK UGM. Terapi hutan atau forest wellness menjadi topik utama dalam sebuah seri webinar yang diselenggarakan pada awal 2025 oleh para akademisi dan praktisi kesehatan dari berbagai disiplin. Kegiatan ini membahas bagaimana pemanfaatan pemandangan alam—terutama kawasan hutan—dapat menjadi metode terapi inovatif untuk meningkatkan keseimbangan fisik, mental, dan emosional. Selain sebagai solusi untuk jeda dari kesibukan perkotaan, terapi hutan juga dilihat sebagai peluang pengembangan usaha wellness tourism yang berkelanjutan, khususnya bagi para operator layanan kesehatan non-BPJS di Indonesia.
Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D., membuka diskusi dengan menjelaskan bahwa forest wellness merupakan inovasi berbasis pemanfaatan lingkungan hidup yang menyentuh dua aspek utama: pelestarian hutan dan optimalisasi manfaat kesehatan dari kawasan hijau. Dalam konteks tantangan lingkungan saat ini, hutan tidak hanya berperan sebagai penjaga ekosistem, tetapi juga sebagai tempat rekreasi dan terapi. Menurutnya, taman nasional dan hutan lindung di berbagai wilayah Indonesia menyimpan potensi besar untuk dikembangkan sebagai lokasi terapi kesehatan dan pusat rekreasi alami, asalkan dikelola dengan prinsip kehati-hatian dan keberlanjutan.
Langkah awal menuju pengembangan forest healing adalah melakukan identifikasi lokasi yang tepat. Dr. Andry Edwin Dahlan menyampaikan bahwa kualitas tata kelola lingkungan turut menentukan efektivitas terapi. Jalur terapi ideal memiliki kemiringan landai (gentle slopes), bebas dari polusi, dengan intensitas suara maksimal 50 dB—kecuali suara alami seperti air terjun. Jalur harus cukup lebar, tidak menimbulkan rasa takut, dikelilingi vegetasi hijau abadi (evergreen), memiliki energi positif, serta dilengkapi fasilitas pendukung seperti toilet. Jarak tempuh ideal sekitar 2–3 km. Selain itu, perlu dipertimbangkan parameter lingkungan seperti suhu (20–26°C), kelembaban (maksimal 80%), intensitas cahaya, kecepatan angin, elevasi (maksimal 15%), keanekaragaman fauna, serta jenis aktivitas dan pemeriksaan kesehatan awal peserta.
Sesi selanjutnya diisi oleh dr. F.R. Herin Anggreni P., M.Biomed (AAM), yang menekankan bahwa terapi hutan tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik, tetapi juga emosional dan spiritual. Berdasarkan pendekatan mind-body-soul, terapi ini bertujuan untuk mengurangi stres, meningkatkan daya tahan tubuh, dan membantu individu mengembangkan kemampuan mengatasi tekanan hidup (coping). Terapi dilakukan melalui aktivitas seperti mindfulness walk, meditasi kesadaran, eksplorasi panca indera, dan rekoneksi dengan alam. Salah satu kunci penyembuhan adalah memusatkan energi pada jantung—yang memiliki hubungan elektromagnetik dengan otak—untuk mengaktifkan proses inner healing. Ini meliputi peningkatan kasih sayang terhadap diri sendiri, penyembuhan organ internal, hingga penguatan mimpi dan niat yang tertanam dalam bawah sadar.
Dalam perspektif keberlanjutan, pengembangan terapi hutan sejalan dengan pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya SDG 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera, SDG 13: Penanganan Perubahan Iklim terkait aksi terhadap perubahan iklim melalui pelestarian lingkungan, serta SDG 17: Kemitraan untuk Mencapai Tujuan. Sinergi antara sektor kesehatan, lingkungan, pariwisata, dan pendidikan tinggi sangat penting untuk menjadikan terapi hutan sebagai praktik yang berbasis bukti, aman, serta inklusif bagi masyarakat luas.
Dengan pendekatan holistik dan dukungan lintas sektor, forest wellness berpotensi menjadi gerakan baru dalam pelayanan kesehatan Indonesia—mengubah hutan bukan hanya sebagai paru-paru dunia, tetapi juga sebagai ruang penyembuhan jiwa dan raga. (Kontributor: Bestian Ovilia).