FK-KMK UGM. Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada (UGM) menyelenggarakan webinar Suara Bulaksumur yang membahas “Antara Etika, Regulasi, dan Hak Profesional: Masa Depan Praktik Kedokteran Indonesia” pada Senin (19/5/2025), via Zoom dan Live YouTube. Webinar tersebut dilaksanakan sebagai bentuk keprihatinan atas kondisi dunia kesehatan Indonesia terkini, utamanya terkait mutasi tiba-tiba tanpa alasan yang jelas dengan ancaman pencabutan Surat Tanda Registrasi (STR) dan pembekuan Surat Izin Praktik (SIP) jika menolak mutasi.
Suara Bulaksumur menghadirkan tiga narasumber, antara lain Prof. Dr. dr. Zainal Muttaqin, Ph.D., Sp.BS (Guru Besar Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro), Dr. dr. Darwito, S.H., Sp.B.Subsp.onk.(K) (Direktur Utama Rumah Sakit Akademik UGM), dan Dr. Rimawati, S.H., M.Hum. (Dosen Fakultas Hukum UGM). Beberapa topik yang dibahas yaitu penghentian kontrak atau kerja sama dokter dan ancaman pencabutan SIP atau STR, kewenangan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dalam menghentikan kontrak dokter dan pencabutan SIP/STR, serta aspek hukum dokter praktik di Indonesia.
Membuka sesi, dr. Darwito mengajak para dokter untuk mulai berani bersuara atas kondisi saat ini di dunia kesehatan. Menurut dr. Darwito, masing-masing pihak, baik dokter sebagai warga negara maupun pemerintah (dalam hal ini adalah Kemenkes) harus tahu posisi, hak, dan kewajiban masing-masing. Dokter sebagai warga negara mempunyai hak untuk memiliki pekerjaan yang telah diatur dalam Pasal 27 ayat 2 UUD 1945. Dalam pekerjaannya, dokter memiliki kompetensi dalam menjalankan praktik melalui dokumen legal berupa SIP dan STR yang termaktub dalam UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
“STR sebenarnya ibarat nyawa. Lewat perjuangan seorang dokter, lewat STR yang dikeluarkan lembaga resmi (dalam artian Kemenkes), maka ini (Kemenkes) bisa menerbitkan, dia juga yang mencabut. Tapi tolong, dalam pencabutan STR ini, betul-betul kita sikapi dengan bijak. Hal-hal yang memang standar operasionalnya bagus ya diterbitkan, tapi apakah kalau tidak sesuai (dengan Kemenkes), bisa dicabut (STR)? Itu yang mesti kita kritisi,” kata dr. Darwito.
dr. Darwito juga menyebut, pencabutan STR dapat termasuk ke dalam pelanggaran HAM apabila tidak melalui proses penegakan hukum yang adil dan dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas. “Tidak ada kesempatan bagi dokter untuk mengajukan keberatan atau banding; bersifat diskriminatif atau politis; melanggar asas proporsionalitas, misalnya kesalahan administratif kecil, tapi STR langsung dicabut secara permanen,” tambahnya.
Senada dengan dr. Darwito, Rimawati selaku dosen FH UGM turut mengungkapkan bahwa tidak ada ketentuan khusus dalam UU Nomor 17 Tahun 2023 yang memberikan kewenangan kepada Menteri Kesehatan untuk mencabut STR dan SIP dokter tanpa alasan yang jelas. Pencabutan STR dan SIP hanya dapat dilakukan berdasarkan pelanggaran ketentuan spesifik dalam UU Nomor 17 Tahun 2023, bukan karena hal lain di luar ketentuan peraturan UU.
“Banyak upaya hukum: mengajukan gugatan untuk memberikan perlindungan hukum sepanjang dia menjalankan profesinya, ada kemandirian praktik di dalam menjalankan standar itu sudah sesuai, secara hukum sudah terlindungi. Tapi kalau masih didiskreditkan, dalam hal ini upaya perlindungannya tidak diberikan, maka sebagai warga negara, profesi tadi bisa mengajukan upaya hukum untuk menegakkan hak-hak dari tenaga medis tersebut,” ujar Rimawati.
Pada sesi terakhir, Prof. Zainal Muttaqin berbagi cerita mengenai kronologi pemberhentiannya sebagai dokter dan pendidik dokter spesialis di RSUP Dr. Karyadi Semarang pada 2023 lalu. Prof. Zainal menjelaskan, kala itu, Menkes dr. Terawan mengungkapkan telah selesai melakukan uji klinis pertama vaksin Nusantara di RSUP Dr. Karyadi dan akan melangkah ke uji klinis kedua. Namun, Prof Zainal selaku dokter dan pendidik klinis di RSUP Dr. Karyadi saat itu tidak menemukan data terkait uji klinis vaksin Nusantara tahap pertama di RSUP Dr. Karyadi. Dan akhirnya, riset vaksin tersebut juga diberhentikan oleh BPOM karena tidak memiliki bukti uji klinis secara benar.
Hal tersebut menginisiasi Prof. Zainal untuk menghasilkan beberapa tulisan terkait kebijakan Menkes maupun kondisi dunia kesehatan saat itu. Hingga akhirnya, melalui kronologi yang ia sampaikan, pada 5 April 2023, Prof. Zainal diberhentikan sebagai mitra di RSUP Dr. Karyadi.
“Jadi, ini bukan mutasi biasa, pemberhentian biasa. Ada sequence, ada peristiwa yang mendahului, ada target-menarget orang tertentu, terutama orang yang berani memberikan pendapat beda atau berani memberikan kritik terhadap langkah-langkah salah dari Menkes,” terangnya.
Meskipun begitu, Prof. Zainal tetap menulis tanpa mengindahkan berbagai imbauan yang didapatkan, dengan tetap menjalin komunikasi yang baik dengan Rektor UNDIP kala itu. “Jadi, selama tulisan kita ada dasarnya, ada bukti bawah tulisan itu bukan hoaks, bukan fitnah, tulisan itu benar, maka itu layak. Itu sebagai bagian dari hak masyarakat untuk keterbukaan informasi publik,” tutupnya.
“Suara Bulaksumur” merupakan bentuk kepedulian dan keterlibatan FK-KMK UGM terkait kondisi dunia kesehatan saat ini, sekaligus turut mendorong tercapainya Sustainable Development Goals (SDGs), utamanya SDG 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera, SDG 4: Pendidikan Berkualitas, SDG 16: Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Tangguh, dan SDG 17: Kemitraan untuk Mencapai Tujuan. (Penulis: Citra/Humas).