FK-KMK UGM. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM menyelenggarakan diseminasi hasil riset terkait sistem layanan kesehatan primer di Soweto, Afrika Selatan, melalui tiga studi kolaboratif yang dipresentasikan pada bulan Juli 2025. Acara ini menghadirkan tiga peneliti internasional—Blaauw, Stacee, dan Mylene Lagarde—yang memaparkan temuan penting seputar efisiensi, kualitas, dan pilihan pasien terhadap penyedia layanan kesehatan di wilayah urban padat tersebut.
Dalam studi pertama bertajuk “Comparing the Quality and Efficiency of Primary Care Providers in Soweto,” Blaauw menemukan bahwa kualitas teknis layanan kesehatan tergolong rendah di semua sektor, baik publik maupun swasta. Hanya 40% kasus ditangani sesuai pedoman berbasis bukti. Dokter umum swasta menunjukkan tingkat penanganan benar sebesar 45,2%, sedikit lebih tinggi dibandingkan klinik publik (38,1%) dan penyedia MLW swasta (37,4%). Namun, inefisiensi terlihat jelas di penyedia swasta, dengan jumlah dan biaya obat yang diresepkan jauh lebih tinggi—termasuk obat yang tidak tepat.
Studi kedua oleh Stacee menyoroti asumsi dalam reformasi Asuransi Kesehatan Nasional (JKN) Afrika Selatan bahwa kompetisi pasar akan meningkatkan kualitas layanan. Melalui eksperimen lapangan yang melibatkan 850 rumah tangga, hasilnya menunjukkan bahwa kedekatan geografis lebih memengaruhi pilihan pasien ketimbang kualitas layanan. Bahkan ketika informasi mengenai kualitas penyedia terbaik diberikan, sebagian besar pasien tetap memilih fasilitas terdekat. Ini mengindikasikan rendahnya elastisitas permintaan terhadap kualitas dan besarnya proporsi kunjungan dengan nilai rendah (low-value visits) di fasilitas swasta.
Sementara itu, Mylene Lagarde dalam studi ketiganya menguji dampak akses gratis ke layanan swasta bagi 1.400 rumah tangga berpenghasilan rendah. Hasilnya menunjukkan peningkatan signifikan dalam jumlah kunjungan kesehatan sebesar 53%, terutama pada kelompok dengan penyedia swasta terdekat. Namun, hal ini tidak diiringi peningkatan efisiensi karena rasio antara kunjungan tepat dan tidak perlu tetap timpang (3:1). Selain itu, meski pengeluaran farmasi menurun, biaya transportasi tetap tinggi terutama pada kelompok yang jauh dari penyedia layanan.
Ketiga studi ini secara kolektif menggarisbawahi pentingnya intervensi berbasis sistem, bukan hanya kompetisi pasar. Diperlukan pendekatan yang mendorong value-based care, peningkatan kualitas teknis, efisiensi penggunaan sumber daya, serta pendekatan yang lebih berpusat pada pasien. Temuan ini sangat relevan dalam upaya pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya SDG 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera, SDG 4: Pendidikan Berkualitas, dan SDG 17: Kemitraan untuk Mencapai Tujuan melalui reformasi sistem kesehatan berbasis bukti. (Kontributor: M Faozi Kurniawan).