Strategi Ketahanan Sistem Kesehatan Menghadapi ‘Goncangan’

FK-KMK UGM. Sistem kesehatan memerlukan ketahanan (resiliensi) untuk menghadapi ‘goncangan’ yang tidak diprediksi sebelumnya, seperti bencana alam maupun pandemi. “Para pelaku kesehatan bisa mempersiapkan diri menghadapi goncangan dengan merespon segera, melakukan apasaja yang harus dikerjakan, termasuk menghadapi pandemi saat ini. Saat goncangan terjadi, akan muncul pertanyaan besar, apakah sistem kita memiliki ketahanan atau justru akan ambruk bersama?. Oleh karenanya, sistem ketahanan harus dipersiapkan dengan baik,” ungkap Staf Khusus Kementerian Kesehatan RI, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD., Rabu (19/5) saat mengisi bincang pagi di Radio Indonesia Sehat (RAISA) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM.

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang rentan. Wilayah geografis luas dalam ragam pulau secara tidak langsung menjadi ‘benteng’ tersendiri antar wilayah. “Bahkan sebelum pandemi, sistem kesehatan kita sudah rentan, pondasinya belum kuat,” tegas Prof. Laksono yang juga berstatus sebagai dosen di FK-KMK UGM.

Saat ditanya mengenai kesiapan vaksin Covid-19, menurut Prof. Laksono, Indonesia sudah mempersiapkan dengan baik, seperti melakukan sistem pemesanan untuk menjangkau cakupan vaksin bangsa Indonesia. “Anggaran Kemenkes untuk pembelian vaksin bisa mencapai 50 triliyun rupiah,” ungkapnya.

Sebelum pandemi, pemerintah Indonesia melalui Bapenas sudah menetapkan RPJMN 2020-2024 di sektor kesehatan. Dalam RPJMN tersebut, Kemenkes memiliki pekerjaan selain mengurangi dampak pandemi dan menggiatkan vaksinasi yakni mengatasi permasalahan stunting maupun penyakit tidak menular. Hal tersebut tentu tidak bisa diabaikan meskipun dalam kondisi pandemi seperti saat ini. Lalu apa yang dilakukan pemerintah dalam mengelola ketahanan sistem kesehatan di dalamnya?

Prof. Laksono menyebutkan ada beberapa hal terkait RPJMN tersebut. Pertama, RPJMN tetap dipertahankan dan tidak diubah meskipun Indonesia berada dalam kondisi ‘goncangan’, pandemi, darurat, ataupun bencana.  Kedua, Kementerian Kesehatan menetapkan program vaksinasi untuk 70% bangsa Indonesia sebagai strategi jangka pendek.

Ketiga, Kementerian Kesehatan menggiatkan kerja menghentikan pandemi. Keempat, Kementerian Kesehatan melakukan strategi reformasi kesehatan, dalam konteks ini, tujuan RPJMN bidang kesehatan tetap 5 poin. Hanya saja, Prof. Laksono menambahkan bahwa saat ini Kementerian Kesehatan sedang merevisi total renstra termasuk ketahanan sistem kesehatan yang sebelumnya belum begitu kuat. “Intinya program RPJMN yang sudah ada sebelum pandemi itu tetap jalan terus ,tetapi strateginya dirombak total,” tegasnya.

Lalu perombakan seperti apa yang dilakukan? Menanggapi pertanyaan tersebut, Prof. Laksono kembali menegaskan bahwa sistem kesehatan Indonesia akan berada dalam sebuah transformasi bagaimana memiliki program kesehatan yang terukur.

Selain itu, Prof. Lakono juga menyebutkan beberapa strategi yang perlu dilakukan untuk memperkuat masa depan sistem kesehatan. Pertama, memperkuat pelayanan primer termasuk program promosi kesehatan.

“Program promosi kesehatan harus memiliki SDM yang mampu mempersuasi berbagai kalangan, karena prevensi primer dan secondari prevensi sangat penting. Bagaimana puskesmas bisa melayani rujukan balik yang memerlukan pelayanan dokter. Oleh karenanya Dokter Layanan Primer menjadi kunci dalam pengembangan kemampuan dan kapasitas SDM itu sendiri,” paparnya.

Kedua, memperkuat kuratif, dengan meningkatkan mutu dan akses pelayanan rujukan yang kuat. Ketiga, manajemen bakat bangsa untuk kesehatan. Menurut Prof. Laksono, meningkatkan jumlah dokter maupun perawat penting untuk dilakukan agar Indonesia tidak mengalami kekurangan tenaga kesehatan saat menghadapi krisis. Keempat, memperkuat pondasi digitalisasi sitem kesehatan (internet of things), bisa menjadi strategi masa depan.

“Pergunakan kemampuan, bakat, dan pengetahuan kita untuk menghadapi pandemi ini. Ikhtiar kita berasal dari pemikian, dan mainkan peran masing-masing untuk melakukan tindakan yang terperinci,” pesan Prof. Laksono di penghujung diskusi.

Acara bincang pagi yang berlangsung selama 1 jam ini dimoderatori oleh dr. Tiara Marthias, MPH dan diikuti lebih dari 100 peserta. (Wiwin/IRO)

Berita Terbaru