Systemic inflammatory response syndrome (SIRS) adalah sindroma yang ditandai dengan 2 atau lebih dari tanda-tanda sebagai berikut: 1. Suhu >38oC atau <36oC, 2. Denyut jantung >90x/menit, 3. Frekuensi nafas >20 x/menit atau PaCO2 <32mmHg, 4. Jumlah angka leukosit >12000cell/mm3 atau presentasi neutrofil meningkat lebih dari 10% dari nilai normal (Muckard,1997), sesuai dengan disertasi Dr. dr. Supomo, Sp.B., Sp.BTKV pada Selasa lalu (11/8).
Penggunaan mesin jantung-paru sewaktu proses operasi bedah jantung terbuka merupakan penyebab utama timbulnya SIRS, dan perkembangan SIRS lebih lanjut sulit diprediksi, bisa ringan, bisa menjadi sepsis, septik syok, bahkan gagal multi organ yang berakhir dengan kematian. Berbagai upaya pencegahan telah dilakukan antara lain: pemberian metilprednisolon intraoperasi (dicampurkan dengan priming mesin jantung-paru), atau pemakaian hemofilter yang dipasang pada sirkuit mesin jantung-paru, tetapi hasilnya belum optimal, terutama pada pasien dewasa. Oleh karena itu dilakukan upaya lain yaitu dengan kombinasi pemberian metilprednisolon dan pemakaian hemofilter. Dengan tujuan untuk mengetahui efek pemberian kombinasi antara metilprednisolon praoperasi, metilprednisolon intraoperasi, dan hemofilter terhadap: kejadian SIRS, komplikasi pasca operasi, dan kejadian kematian pascaoperasi, pada pasien dewasa yang dilakukan operasi bedah jantung terbuka, lanjut dr. Supomo yang lulus dengan predikat sangat memuaskan.
dr. Supomo yang merupakan staf pendidik Bagian Ilmu Bedah FK UGM memaparkan presentasi dihadapan para pembimbing dan penguji menyampaikan bahwa selain kontaknya darah dengan lapisan dalam dari sirkuit mesin jantung- paru, penyebab lain terjadinya SIRS pada bedah jantung terbuka adalah: 1. ischemic-reperfusion injury, 2. endotoksin, dan 3. trauma operasi (Wan, 1997; Paparella, 2002). Sampai saat ini banyak penelitian-penelitian yang menyimpulkan bahwa masih ada kekurangan-kekurangan dari protokol tersebut diantaranya, penelitian Chaney (2002) yang melaporkan bahwa pemberian metilprednisolon intraoperasi dapat menyeimbangkan mediator proinflamasi dan mediator anti inflamasi sehingga timbulnya SIRS dapat diminimalkan, tetapi secara klinis tidak terbukti mencegah penurunan fungsi paru, dan juga tidak terbukti memperbaiki edema sistemik, justru meningkatkan kadar gula darah pascaoperasi, serta memperlama penyembuhan luka operasi, sehingga morbiditas maupun mortalitas belum bisa diminimalkan. Sedang Robertson-Malt (2007), melaporkan bahwa profilaksi metilprednisolon intraoperasi pada pasien bedah jantung anak tidak terbukti menurunkan komplikasi pembedahan.
Oleh karena itu untuk mengatasi kekurangan-kekurangan dari protokol tersebut, dipikirkan alternatif lain diantaranya, selain pemberian metilprednisolon intraoperasi perlu ditambah dengan pemberian metilprednisolon praoperasi yang bertujuan mencegah timbulnya SIRS yang disebabkan oleh trauma operasi, dan pemakaian hemofilter di sirkuit mesin jantung paru yang bertujuan memfiltrasi mediator-mediator proinflamasi yang diakibatkan oleh proses sirkulasi luar tubuh. Beliau adalah doktor ke-178 di FK UGM dan ke-2731 se- UGM. Bertindak sebagai promotor adalah Prof. Dr. dr. Teguh Aryandono, Sp.B(K)Onk.
Kombinasi antara pemberian metilprednisolon praoperasi, metilprednisolon intraoperasi dan hemofilter, secara bermakna dapat menurunkan kejadian SIRS pascabedah jantung terbuka di 3 jam dan di 24 jam pascaoperasi, dan secara bermakna dapat menurunkan kejadian komplikasi pascaoperasi. Kombinasi ini cenderung menurunkan kejadian kematian pascaoperasi, tetapi secara statistik tidak bermakna. Ada kecenderungan kenaikan kadar TNFα di pengamatan segera setelah mesin-jantung paru dihentian pada kelompok A (kelompok yang memakai hemofilter, diberi metilprednisolon praoperasi dan metil prednisolon intraoperasi) lebih kecil dibanding pada kelompok B (kelompok yang diberi metilprednisolon intraoperasi), tetapi secara statistik tidak berbeda bermakna. (Dian/IRO)