FK-KMK UGM. Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (FK-KMK UGM) turut meliput sesi ilmiah bertajuk “Measuring Complexity: Multimorbidity, Loneliness, and Cross-Cultural Challenges in Health Outcomes Research” yang diselenggarakan pada Rabu, 23 Juli 2025 WITA di Bali International Convention Centre, Bali. Sesi ini merupakan bagian dari rangkaian konferensi internasional yang menghadirkan berbagai ilmuwan lintas negara dengan moderator Rebecca Prah dari London School of Hygiene and Tropical Medicine.
Dalam sesi ini, Ewan Tomeny dari Liverpool School of Tropical Medicine memaparkan tantangan dalam penggunaan Disability-Adjusted Life Years (DALYs) untuk mengukur beban penyakit dalam konteks multimorbiditas. Ia menekankan bahwa berbagai pendekatan penggabungan disability weights seperti metode aditif, multiplikatif, hingga model non-linear ternyata belum seluruhnya konsisten secara logis, terutama ketika digunakan untuk tiga kondisi penyakit atau lebih. Studi yang juga melibatkan data uji coba MULTILINK di Malawi dan Tanzania ini menunjukkan bahwa metode alternatif berpotensi lebih mencerminkan kondisi kualitas hidup pasien. Diperlukan validasi lanjutan agar penggunaan DALYs tetap relevan dalam evaluasi cost-effectiveness, terutama di negara berkembang.
Selanjutnya, Tamrat Befekadu Abebe dari Monash University menggunakan pendekatan Mendelian randomisation (MR) dalam mengkaji hubungan kausal antara tekanan darah sistolik dan kualitas hidup berdasarkan QALYs. Dengan data dari UK Biobank yang mencakup lebih dari 288 ribu peserta, ditemukan bahwa kenaikan 10 mmHg tekanan darah berkaitan dengan penurunan QALYs sebesar 1,17% per tahun. Meskipun data genetik menunjukkan heterogenitas tinggi, MR dianggap sebagai metode menjanjikan dalam mengurangi bias estimasi pada penelitian kesehatan populasi.
Presentasi ketiga oleh Ishani Majmudar dari Deakin University menyoroti sensitivitas instrumen EQ-5D-5L dan EQ-HWB dalam mengukur dampak kesepian terhadap health-related quality of life (HRQoL). Penelitian di Australia menunjukkan bahwa EQ-HWB, terutama versi sosialnya (EQ-HWB-S), lebih mampu menangkap nuansa psikososial dari kesepian dibandingkan EQ-5D-5L. Temuan ini memunculkan perhatian terhadap pentingnya alat ukur yang inklusif secara mental dan sosial, termasuk mempertimbangkan variabel budaya dan gender.
Sesi ini memberikan implikasi penting bagi Indonesia yang tengah menghadapi tantangan serupa, seperti meningkatnya multimorbiditas di tengah populasi lansia serta kesepian yang kian menjadi isu kesehatan masyarakat. Ke depan, Indonesia diharapkan dapat mengadopsi instrumen-instrumen yang lebih akurat dan relevan, seperti EQ-HWB-S dalam versi bahasa Indonesia, guna mendukung kebijakan berbasis bukti yang menyentuh aspek fisik dan sosial masyarakat secara lebih komprehensif.
Rangkaian diskusi ini sejalan dengan komitmen global untuk mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya SDG 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera, SDG 4: Pendidikan Berkualitas, dan SDG 17: Kemitraan untuk Mencapai Tujuan melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan kolaborasi riset lintas negara. (Kontributor: Hafidz Firdaus).