FK-KMK UGM. Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM menyelenggarakan Seminar Rabuan dengan topik Dampak Disinformasi dalam Pelaksanaan Program Kesehatan pada Selasa (7/5) secara daring dan disiarkan langsung Youtube Kanal Pengetahuan.
Seminar rabuan pekan ini, diisi oleh dr. Citra Indriani., MPH., Tim Pusat Kedokteran Tropis UGM dan Asistensi Teknis Pilot Project Wolbachia KEMENKES RI di 5 kota. Dalam pemaparannya, Dokter Citra menjelaskan dampak disinformasi terhadap pelaksanaan pilot project wolbachia yang dilaksanakan beberapa waktu lalu. Digadang sebagai solusi baru yang efektif dalam menangani angka penyebaran demam berdarah, wolbachia adalah bakteri alami, simbion yang umum ditemukan di hewan arthropoda, dengan mekanismenya yang mampu menghambat replikasi virus dengue.
Dari penelitian telah dilakukan berupa implementasi wolbachia di Yogyakarta, wolbachia mampu menurunkan 77% incidence rate (IR) Dengue. Keberhasilannya mendorong Kementerian Kesehatan RI untuk mengadopsi teknologi Wolbachia ini dengan dengan mengeluarkan Kepmenkes Nomor 1341 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Pilot Project Teknologi Wolbachia di 5 kota yaitu Semarang, Bontang, Jakarta Barat, Kupang dan salah satunya adalah Bandung.
Namun, ternyata masyarakat belum sepenuhnya siap untuk menerima dan mencerna kebijakan ini. Atas terselenggaranya pilot project tersebut, timbul disinformasi-disinformasi di masyarakat terkait dengan wolbachia, misalnya kabar bahwa wolbachia dapat menyebabkan gangguan orientasi seksual, wolbachia membuat masyarakat terserang nyamuk dalam waktu yang bersamaan dengan jumlah banyak, wolbachia merupakan rekayasa genetik yang berbahaya, hingga kabar bahwa wolbachia justru dapat menimbulkan penyakit lain seperti javanicus encepaly.
Menurut Dokter Citra, kini disinformasi menjadi faktor pengaruh perubahan sosial yang sangat kuat di era transformasi digital. Hal ini dilatarbelakangi oleh mudahnya jangkauan akses informasi secara masif, tetapi belum diimbangi dengan tercukupinya kapasitas pengetahuan masyarakat untuk memfilter informasi yang sesuai dan tidak sesuai. Hal ini dapat menjadi ancaman karena dapat menyebabkan terjadinya krisis informasi sehingga menurunkan kredibilitas dan kepercayaan masyarakat terhadap badan otoritas kesehatan, partisipasi masyarakat akan program-program kesehatan menurun, penurunan angka vaksinasi, outbreak dan resurgensi, hingga dampak sosial dan ekonomi dalam jangka panjang.
Dalam pemaparannya, Dokter Citra menyimpulkan beberapa langkah yang dapat diupayakan untuk mencegah sekaligus mengatasi adanya disinformasi. “Penerimaan publik dengan publikasi sosial dan legal secara lengkap, detail, dan menyeluruh. Dengan dukungan pemerintah dan komunitas. Dari segi penyiapan bisa kita kuatkan pada sistem peringatan dini (preparedness), kampanye secara inklusif, serta penguatan koordinasi lintas sektor. Berkaca pada program kesehatan yang dominansinya di aspek kesehatan, sistem koordinasi baik ke masyarakat komunitas, lembaga swadaya, hingga universitas juga harus diperkuat dan dimitigasi sejak dini. Terakhir, adalah menyediakan respon yang tepat waktu dengan sistem yang memadai untuk menghindari terjadinya krisis informasi secara berkepanjangan,” jelas Dokter Citra.
Dengan adanya pembahasan terkait dampak disinformasi terhadap implementasi program kesehatan, seminar rabuan pekan ini mengadaptasi Poin 3 dan 4 dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Poin 3 SDGs menyoroti kebutuhan akan kehidupan sehat dan sejahtera bagi semua orang, sementara Poin 4 SDGs menekankan pentingnya pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan. Disinformasi dapat menghambat upaya untuk mencapai kedua tujuan tersebut dengan menyebarkan informasi yang salah tentang kesehatan dan pendidikan, sehingga mempengaruhi keputusan dan perilaku masyarakat. Seminar ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang dampak disinformasi serta mengidentifikasi strategi untuk mengatasinya guna mencapai tujuan kesehatan dan pendidikan yang berkelanjutan. (Assyifa/Reporter).