Manipulasi Sel, Cegah Penyakit dan Kelainan Lahir

FK-KMK UGM. Mengapa seorang wanita mempunyai batasan umur untuk memiliki anak? Mengapa harus ada titik aman yang dianjurkan agar para wanita yang sudah terlalu tua sebaiknya tidak merencanakan kehamilan lagi? Memang benar bahwa selain dari gen ibu, telur yang dibuahi juga mendapatkan gen dari ayah. Akan tetapi, saat suatu kromoson ditemukan abnormal, 95% kasus tersebut diturunkan dari sel telur ibu. Faktanya, insiden ini meningkat secara dramatis seiring bertambahnya usia seorang wanita. Kehamilan yang menghasilkan anak dengan sindrom Down misalnya, risiko kelainan kromosom trisomi 21 tersebut tercatat naik drastis pada wanita sejak usia 35 tahun ke atas. Profesor Mary Herbert dari Newcastle University, dalam kuliah tamu berjudul “Germline Inheritance and Prevention of Mitochondrial Mitochondrial DNA Disease” menjelaskan bahwa hal tersebut terjadi karena penurunan kualitas telur sehingga anak yang dilahirkan oleh wanita-wanita usia tua lebih berisiko memiliki anomali kongenital atau kecacatan sejak lahir.

Dalam salah satu rangkaian agenda Continuing Medical Education, Kamis lalu (02/08) yang digelar di Departemen Obstetri dan Ginekologi RSUP dr. Sardjito, pakar biologi reproduksi tersebut memaparkan bahwa normalnya, ikatan kromosom bivalen distabilkan oleh Rec8 yang mengandung kompleks kohesin pada saat rekombinasi meiotik. Seiring bertambahnya usia wanita, jumlah protein kohesin tersebut mengalami penurunan sehingga kohesi antar sentromer yang terjadi dapat menghilang secara prematur.

Di sisi lain, seiring bertambahnya usia wanita, folikel primordial dalam ovarium juga makin menurun jumlahnya. Atas dasar ini, Profesor Herber mencoba memicu penuaan ovarium untuk meneliti kontribusi kondisi ovarium terhadap hilangnya kohesi yang dipengaruhi oleh usia. Hasilnya, penurunan folikel primordial yang telah dipercepat ternyata tidak memicu penurunan protein kohesin. Oleh karena itu, meskipun keduanya sama-sama terjadi seiring berjalannya waktu, penuaan ovarium dan penurunan kohesin merupakan dua proses mandiri yang tidak saling mempengaruhi. “Seperti dua buah jam yang masing-masing berdetik sendiri,” tambah Profesor Herber memberi analogi.

Selain itu, Profesor Herber menerangkan bahwa bayi yang lahir cacat atau memiliki penyakit yang diturunkan dapat terjadi dari sebuah fenomena mutasi mitochondrial DNA (mtDNA). Mutasi ini terdeteksi 1 dari 200 bayi baru lahir yang sebagian besar berada pada level ‘very low’. Prevalensi penyakit yang baru muncul sendiri diperkirakan dapat mencapai 1 dalam 5.000.

Wanita yang membawa mutasi mtDNA menghasilkan sel telur dengan ‘muatan’ yang sangat bervariasi. Jika muatan mutasinya rendah, telur yang sudah dibuahi sperma dapat diidentifikasi menggunakan Preimplantation Genetic Diagnosis (PGD) sebagai deteksi awal untuk mengurangi risiko munculnya penyakit mtDNA. Sayangnya, cara ini tidak terlalu bermanfaat untuk sel telur yang bermuatan mutasi tinggi.

Seorang wanita bisa saja memutuskan untuk tidak pernah menjadi ibu sama sekali saat mengetahui dirinya memiliki penyakit yang mungkin dapat diturunkan pada generasi yang kelak dia lahirkan. Wanita dengan mtDNA termutasi tentu memiliki kemungkinan risiko semacam itu jika dia melahirkan seorang anak. Akan tetapi, hal tersebut dapat dicegah dengan manipulasi sel yang ditemukan oleh Profesor Herbert dan timnya. Prinsipnya, mitokondria yang didapat dari donor sehat akan menggantikan posisi mitokondria pasien yang sudah termutasi. Dengan begitu, penyakit yang menurun dalam keluarga terkait pewarisan DNA tidak lagi muncul.

Meskipun riset Profesor Herber telah menghasilkan penemuan yang luar biasa, isu etik dan legal sempat menjadi masalah untuk diaplikasikan di beberapa negara. Di Inggris sendiri, setelah melewati beberapa debat parlemen, Human Fertilisation and Embryology Authority (HFEA) akhirnya memberi izin berlisensi bagi Newcastle Fertility Centre untuk memberikan terapi ‘mitochondrial replacement’ agar transmisi mutasi mtDNA dapat dicegah.

Tujuan Profesor Herber terkait penelitian yang dia lakukan tentang mtDNA dan risiko penyakitnya adalah berupa target muatan mutasi <18% agar kemungkinan gejala penyakit yang muncul menjadi rendah. Kemungkinan transmisi ke generasi selanjutnya juga diharapkan dapat turun hingga angka <5%. Jika terapi ini dikembangkan, masa depan ketika penyakit mtDNA terleminasi dapat segera tercapai dan generasi baru akan terlahir dengan kualitas hidup yang lebih sehat. (Fildzah/Reporter)