FK-KMK UGM. Meningkatnya penggunaan obat-obatan, baik karena pengobatan sendiri (self–medication), polifarmasi pada lansia, maupun peningkatan kasus human immunodeficiency virus/acquired immunodeficiency syndrome (HIV/AIDS) diperkirakan akan meningkatkan kejadian efek samping obat (ESO) atau adverse drug reactions (ADR). Kulit merupakan salah satu organ yang paling sering terlibat pada ESO. Insiden adverse cutaneous drug reactions (ACDR) atau efek samping obat pada kulit (ESOK) dilaporkan sekitar 2-8% dari seluruh kunjungan di Poliklinik Kulit dan sekitar 1-3 % penderita rawat inap. Data di RSUP Dr. Sardjito menunjukkan bahwa manifestasi ESOK ringan terbanyak berupa erupsi makulopapular dan urtikaria, sedangkan ESOK berat terbanyak berupa Sindrom Stevens-Johnson (SSJ), nekrolisis epidermal toksik (NET), drug rash with eosinophilia and systemic symptoms (DRESS) dan acute generalized exanthematous pustulosis (AGEP) yang dapat mengancam jiwa dan menyebabkan waktu rawat inap lebih lama. Sayangnya, data ESO, terutama manifestasinya pada kulit, dalam skala nasional hingga saat ini belum ada.
Data monitoring efek samping obat (MESO) yang dirintis oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) masih belum mencerminkan keadaan sebenarnya, karena tidak banyak dokter atau praktisi yang berpartisipasi untuk mengisi form yang diberikan. Selain itu, manifestasi ESO pada populasi khusus seperti populasi imunokompromais, anak, maupun geriatri belum dilaporkan dengan baik. Hal ini juga dikaitkan dengan konsumsi bahan obat lebih banyak, baik yang diresepkan dokter atau dibeli sendiri (over the counter).
Perkembangan imunologi, biologi molekular, dan farmakogenomik saat ini makin berkembang pesat. Efek samping pada kulit akibat tindakan kemoterapi, radioterapi, maupun radiodiagnostik juga makin sering dijumpai. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka diperlukan continuing medical education untuk memperbaharui ilmu tentang alergi obat atau efek samping obat. Continuing medical education dalam bidang alergi obat atau efek samping obat memungkinkan praktisi medis untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan dalam mendiagnosis, mengelola, dan mencegah reaksi alergi atau efek samping obat, yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas perawatan pasien dan kesejahteraan mereka hal ini guna tercapainya tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (SDGs) poin ke 3 mengenai good health and well-being.
Dengan tujuan tersebut, Departemen Dermatologi dan Venereologi bekerja sama dengan Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (Perdoski) cabang Yogyakarta mengadakan simposium dan workshop. Kegiatan yang mengangkat tema “Updates on Adverse Cutaneous Drug Reactions: From Basic to Clinic” ini diselenggarakan dalam rangka rangkaian acara Dies Natalis Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK KMK), Universitas Gadjah Mada (UGM) ke-77.
Kegiatan yang dilaksanakan dari tanggal 17-19 Maret 2023 ini dibuka dengan sambutan dari ketua panitia, yaitu dr. Sri Awalia Febriana, M.Kes, Sp.KK(K), Ph.D. Dalam sambutannya, beliau menekankan kembali penerapan pharmacovigilance untuk menjamin keamanan obat yang beredar. Beliau juga menyampaikan bahwa saat ini, Indonesia sedang dalam tahap mempersiapkan registri nasional dengan nama InaSCAR (Indonesian severe cutaneous adverse reactions) yang akan menjadi pusat data epidemiologi, diagnostik, manajemen, dan prognostik. Selain registri nasional tersebut, diharapkan juga mulai terbentuk support group pasien dengan kondisi yang sama, seperti komunitas lupus yang merupakan support group untuk pasien dengan penyakit autoimun lupus eritematosus. Dengan adanya support group pada ESO, pasien dapat saling berdiskusi dan bertukar pikiran mengenai gejala dan dampak pada kualitas hidup pasien dengan ESO.
Kemajuan teknologi dalam berbagai bidang keilmuan telah mengubah perilaku profesional dalam dunia kedokteran dan kesehatan pada umumnya. Selain itu, terjadi pula perubahan pada tuntutan pasien terhadap penyedia layanan kesehatan. Dokter harus selalu mengutamakan pelayanan yang terbaik pada pasien. Dalam melayani pasien, dokter harus selalu berusaha secara optimal, sejak proses penegakan diagnosis hingga penatalaksanaan pasien dan perawatan lanjut. Dokter juga harus mengusahakan yang terbaik dengan bersikap profesional dan mengutamakan keselamatan pasien karena dokter merupakan komponen utama dalam sistem layanan kesehatan. Tanggung jawab dokter sangat besar secara hukum sehingga penulisan medical record (MR) harus dilakukan dengan baik sebagai bukti hukum. “The Right Dose of the Right Drug for the Right Indication for the Right Patient at the Right Time.”
Klasifikasi ESO terbaru dibagi menjadi dua tipe reaksi, yaitu reaksi tipe A (on-target) dengan efek samping yang umum ditemukan dan dapat diprediksi, seperti yang sudah tercantum dalam kemasan obat yang sudah beredar, dan reaksi tipe B (off-target) dengan efek samping yang tidak umum dan tidak dapat diprediksi, seperti hipersensitivitas obat. Di Indonesia, data dari BPOM menunjukkan bahwa manifestasi ESO pada kulit merupakan manifestasi yang tersering (sekitar 35%) diikuti dengan gejala sistemik (sekitar 20%), dan saluran cerna (sekitar 17%).
Manifestasi klinis ESOK dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu yang ringan/tidak mengancam jiwa dan berat/mengancam jiwa. Kelompok ESOK dengan manifestasi ringan adalah erupsi makulopapular, urtikaria, dan erupsi obat fikstum, sedangkan kelompok ESOK dengan manifestasi berat adalah SSJ-NET, AGEP, dan DRESS. Efek samping obat pada kulit dapat terjadi dimulai dari hitungan jam hingga beberapa bulan setelah konsumsi obat yang dicurigai. Sebagian besar ESOK bersifat ringan, tetapi sekitar 1 dari 1000 pasien dapat mengalami gejala yang berat dan mengancam jiwa. Data yang dikumpulkan dari beberapa rumah sakit pendidikan di Indonesia dari tahun 2015-2017 menunjukkan bahwa 67% dari ESOK terjadi pada pasien dewasa (berusia 19-54 tahun), diikuti oleh lansia (berusia lebih dari 55 tahun), dan anak-anak (berusia 0-18 tahun). Dalam mendiagnosis, ESOK dapat ditegakkan dengan penggalian riwayat kesehatan, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan histopatologi, dan pemeriksaan penunjang lain. Uji tusuk merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering digunakan untuk menunjang diagnosis.
Pada tahun 2050, diperkirakan persentase populasi usia lanjut di atas 60 tahun adalah di atas 21%. Hal ini berkaitan juga dengan peningkatan penggunaan obat-obatan yang berkaitan dengan penyakit yang diderita populasi geriatri, seperti hipertensi, hiperlipedemia, diabetes melitus, kanker, gangguan kardiovaskuler, sendi, dan gangguan mental. ESOK pada geriatri dipengaruhi oleh komorbiditas, faktor lingkungan, dan juga faktor sosial yang juga bergantung pada jenis kelamin, status imun, serta genetik pasien. Kondisi usia lanjut juga memperberat ESOK karena penggalian riwayat kesehatan pasien yang lebih kompleks dan pasien seringkali mengonsumsi banyak obat (polifarmasi) yang sering terjadi sehingga dapat menjadi tantangan dalam pengobatan.
Berbeda dengan populasi geriatri, sebagian besar dari ESOK pada anak disebabkan oleh obat anti-infeksi. Pada umumnya, tanda klinis pada anak yang disebabkan oleh ESO dapat berupa muntah, ruam kulit, pusing, dan diare. Diagnosis dini, penghentian obat yang menyebabkan ESOK berat, serta edukasi kepada orang tua dan pengasuh sangat krusial dalam tatalaksana kasus ESOK pada anak. Penegakan diagnosis ESOK pada anak terutama disebabkan karena manifestasi klinis yang dapat menyerupai ruam karena infeksi virus.
Beberapa obat yang digunakan untuk pengobatan penyakit HIV (termasuk untuk terapi infeksi oportunistik terkait) dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas obat. Reaksi tersebut bervariasi dari segi tingkat keparahan, manifestasi klinis, dan frekuensi. Antiretroviral drugs atau obat antiretroviral untuk penderita HIV/AIDS seringkali mengkombinasikan beberapa obat untuk meningkatkan efektivitas dan menurunkan mortalitas. Walaupun demikian, hal ini juga namun dapat juga dapat meningkatkan risiko terjadinya adverse reactions, salah satunya alergi. Faktor resiko terjadinya alergi ini mencakup polifarmasi, jenis kelamin, usia, diet, indeksi masa tubuh, infeksi, genetik, dan lingkungan.
Efek samping obat pada kulit juga dapat terjadi pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi akibat politerapi. Setiap obat kemoterapi dapat memiliki efek samping dengan tanda klinis yang berbeda-beda, seperti kerontokan rambut, kulit yang menjadi kehitaman, kuku yang menjadi kehitaman, peradangan mukosa, dan kulit kering.
Radiologi merupakan tindakan medis yang penting dalam penegakan diagnosis dan penatalaksanaan penyakit. Kegiatan simposium ini juga membahas mengenai reaksi kulit akibat tindakan radioterapi yang dibagi menjadi beberapa derajat sesuai dengan keparahannya. Sekuens radioterapi sangat penting untuk menentukan terapi. Pencegahan reaksi kulit akibat efek samping radioterapi tersebut dapat dilakukan dengan menghindari gesekan dengan menggunakan baju yang longgar, menghindari paparan sinar matahari yang ekstrem, membilas/mencuci dengan air hangat (suam kuku) dan pH netral atau non-alkali, serta menjaga kelembaban pada daerah yang sedang dilakukan radiasi.
Beberapa penyakit autoimun juga dapat memiliki tanda klinis pada kulit yang dapat dicetuskan oleh konsumsi obat, seperti psoriasis vulgaris, pemfigus, pemfigoid bulosa, dan lupus eritematosus. Kondisi ini termasuk dalam ESO tipe B yang tidak dapat diprediksi. Pasien sering terpajan berbagai obat sedangkan beberapa obat mungkin memiliki periode laten yang panjang antara pajanan dan timbulnya penyakit. Diagnosis yang akurat dan terapi yang memadai sangat penting dalam mengelola penyakit autoimun yang diinduksi oleh obat. Sesuai dengan petunjuk dokter, penghentian obat penyebab yang dicurigai dapat meringankan gejala kulit pada pasien tersebut.
Setelah luka maupun bercak kulit akibat ESOK membaik, kulit akan menyembuh dan meninggalkan bekas kehitaman. Hal ini dapat terjadi pada erupsi obat fikstum, SSJ, dan NET. Kejadian ini dapat terjadi pada semua warna kulit, tetapi lebih sering terjadi pada pasien dengan warna kulit yang lebih gelap. Bercak kehitaman ini memiliki dampak psikososial dan kosmetik yang signifikan. Penggunaan tabir surya untuk proteksi sinar ultraviolet (UV) sangat penting pada kondisi ini.
Kegiatan simposium dan workshop tahun ini berjalan dengan lancar dan diikuti oleh lebih dari 500 dokter umum, residen, dan dokter spesialis. Melalui penyelenggaraan kegiatan ini, diharapkan dokter umum dan dokter spesialis lebih memahami mengenai efek samping obat pada kulit serta memberikan edukasi yang tepat bagi masyarakat luas sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas. (Kontributor: dr. Agnes Rosarina Prita Sari, M.Phil;Editor/Dian).