FK-KMK UGM. Epilepsi merupakan penyakit neurologis yang sering ditemui. Sebagian besar pasien epilepsi akan bebas kejang setelah mendapatkan terapi obat anti-epilepsi (OAE) yang tepat.
Hasil penelitian yang kontroversial mengenai terapi pasien epilepsi menjadi latar belakang penelitian yang digiatkan oleh pakar Saraf dan juga Staf dari Departemen Ilmu Kesehatan Saraf Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, dr. Atitya Fithri Khairani, MSc., Sp.S(K)., dengan promotor Prof. Dr. dr. Sri Sutarni, Sp.S(K)
Melalui penelitiannya berjudul “Hubungan Hubungan Polimorfisme SCN1A dengan Respons Terapi Pasien Epilepsi dengan Fenitoin”, berhasil mengantarkan dr. Atitya meraih gelar Doktor Ilmu Kedokteran dan Kesehatan FK-KMK UGM, Rabu (3/8).
“Epilepsi merupakan penyakit neurologis yang sering ditemui. Sebagian besar pasien epilepsi akan bebas kejang setelah mendapatkan terapi obat anti-epilepsi (OAE) yang tepat,” tuturnya.
Mekanisme epilepsi resistan obat masih belum dapat dijelaskan karena respons individu terhadap OAE dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya faktor genetik. Dengan menyitir salah satu artikel ilmiah, dr. Atitya menyatakan bahwa faktor genetik tidak hanya berperan pada epilepsi, tetapi juga dalam farmakokinetika dan farmakodinamika OAE.
“Mekanisme kerja sebagian besar OAE pada Voltage-Gated Sodium Channels (VGSC), sehingga mutasi pada gen yang mengkode saluran natrium berperan penting dalam epilepsi dan respons OAE, termasuk resistansi OAE. Karbamasepin dan Fenitoin merupakan OAE yang bekerja pada VGSC,” imbuh Doktor ke- 5.574 UGM ini.
Penelitian yang melibatkan 120 subjek dan dilakukan dalam durasi waktu Desember 2019-Maret 2021 ini berhasil menyimpulkan bahwa analisis haplotipe menunjukkan bahwa kombinasi SCN1A rs3812718-rs2298771 memiliki hubungan signifikan dengan respons pengobatan pasien epilepsi dengan Fenitoin, meskipun tidak ada hubungan antara gen SCN1A rs3812718 dan rs2298771 dengan respons Fenitoin apabila dianalisis masing-masing. (Wiwin/IRO)