
Sidang Umum PBB Terkait Masalah Narkoba: Melipatgandakan Upaya Dan Memperkuat Kerjasama Internasional
Pada tanggal 19-21 April yang lalu, telah berlangsung Sidang Umum PBB Sesi Khusus (UN – General Assembly Special Session – UNGASS) terkait masalah narkoba dunia. Sidang Umum adalah forum tertinggi yang dihadiri seluruh Negara anggota PBB. Prof. Dr. Sri Suryawati, dosen Fakultas Kedokteran UGM berpartisipasi dalam Sidang tersebut, dalam kapasitasnya sebagai First-Vice President International Narcotics Control Board (INCB) yang berkedudukan di Wina Austria. INCB adalah lembaga di bawah Sekretaris Jenderal PBB yang diberi mandat untuk memantau dan membantu Negara dalam mengimplementasikan ketentuan-ketentuan pengawasan internasional yang digariskan dalam Konvensi narkotika dan psikotropika.
Secara umum, disepakati untuk melipatgandakan upaya nasional dan penguatan kerjasama internasional, melalui pendekatan yang berimbang, terintegrasi, dan berbasis bukti ilmiah berdasarkan prinsip tanggungjawab bersama. Negara-negara juga menegaskan kembali bahwa ketiga Konvensi Internasional, yaitu Konvensi Tunggal Narkotika 1961, Konvensi Psikotropika 1972, dan Konvensi Internasional Prekursor 1988 tetap menjadi pegangan utama dalam menyelesaikan masalah penyalahgunaan obat-obat terlarang. Ketiga Konvensi tersebut tujuan utamanya adalah untuk mencapai masyarakat yang bebas dari ketergantungan obat melalui pencegahan dan penyembuhan (demand) serta menekan peredaran gelap (supply) narkoba, dengan tetap memperhatikan bahwa narkotika dan psikotropika yang sangat diperlukan dalam medis harus terjamin ketersediaannya.
Secara spesifik, UNGASS menghasilkan berbagai kesepakatan yang terbagi dalam beberapa isu, yaitu terkait rekomendasi langkah-langkah operasional untuk menurunkan demand melalui pencegahan dan pengobatan penderita ketergantungan, penjaminan ketersediaan narkotika dan psikotropika yang dibutuhkan untuk medis dengan disertai pengawasan terhadap kemungkinan penyimpangannya, langkah-langkah operasional untuk menurunkan supply melalui pengetatan dan penguatan kerjasama internasional untuk menghadapi kejahatan terkait narkoba, pencucian uang, dan kerjasama judisial.
Hasil Sidang juga menggarisbawahi pentingnya memperhatikan semua komponen masyarakat yang membutuhkan pertolongan medis karena ketergantungan tanpa diskriminasi, dengan perhatian khusus pada kesetaraan akses terhadap pelayanan pengobatan pada kelompok-kelompok rentan seperti wanita dan anak-anak, serta penderita ketergantungan yang sedang menghadapi masalah hukum. Selain itu, hasil Sidang juga merumuskan rekomendasi terhadap berbagai masalah dan tantangan baru, misalnya munculnya zat-zat psikoaktif baru, ATS, precursor dan pre-prekursor, dengan memperkuat kerjasama internasional di berbagai aspek pengaturan dan pengawasan.
Masa tugas Prof Suryawati selesai Mei 2017, siapa berikutnya?
First-Vice President International Narcotics Control Board (INCB) saat ini adalah Prof. Dr. Sri Suryawati, guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Beliau telah bertugas selama hampir sepuluh tahun dalam dua periode pemilihan, yaitu 2007-2012 dan 2013-2017. Masa tugasnya akan berakhir bulan Mei tahun depan. Akankah Indonesia mampu mendudukkan wakil berikutnya di sana?
INCB, atau Dewan Pengawas Narkotika Internasional, adalah suatu lembaga quasi-judicial yang secara organisasi berada di bawah kantor Sekjen PBB. Lembaga tersebut bertugas mengawal dan memonitor implementasi Ketiga Konvensi Internasional untuk Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor oleh seluruh Negara di dunia, bukan hanya Negara anggota PBB saja. Dewan beranggotakan 13 orang yang bertindak secara independen, dipilih melalui secret ballot oleh Negara-negara anggota ECOSOC (Economic and Social Concil) PBB. Sepuluh orang dipilih dari daftar yang dinominasikan Negara, dan tiga orang dipilih dari daftar yang dinominasikan oleh Dirjen WHO-Geneva.
Untuk memenangkan pemilihan di ECOSOC, kompetisinya ketat sekali. INCB adalah multidisiplin, kebanyakan anggotanya adalah ambassador retired, mantan menteri, mantan jaksa agung, mantan kepala polisi, dll. Jadi bukan domain kesehatan saja. Perjuangannya lumayan berat bagi kesehatan untuk masuk ke sana, padahal pemenuhan kebutuhan controlled medicines untuk medis teramat sangat penting.
Prof Suryawati menjadi anggota INCB melalui jalur pengusulan oleh Direktur jenderal WHO. Nama beliau diperhitungkan oleh WHO karena pengalaman internasionalnya di bidang manajemen obat, obat esensial, kebijakan obat, dan promosi penggunaan obat rasional di banyak negara. Suryawati diangkat sebagai Penasehat Ahli WHO untuk Medicine Policy and Management sejak 1999, dan menjadi anggota berbagai Komite Ahli WHO, diantaranya Komite Ahli Pemilihan Obat Esensial WHO (2000-2007) dan Co-Chair Komite Ahli Obat-obat yang Menyebabkan Ketergantungan (2003-2006). Kegiatan yang terakhir inilah yang mengangkat namanya, dan selanjutnya dinominasikan oleh Dirjen WHO untuk dipilih oleh ECOSOC dalam pemilihan anggota INCB.
Walaupun dinominasikan oleh WHO, Prof Suryawati merasakan dukungan yang sangat besar dari Pemerintah Indonesia, khususnya oleh PTRI Wina dan PTRI New York. Walaupun eksistensi perseorangan merupakan modal yang mutlak diperlukan, untuk menduduki jabatan strategis di skala internasional diperlukan negosiasi diplomatik agar Negara-negara anggota ECOSOC memperhitungkan kandidat yang diajukan. Jadi, siapa berikutnya? (Suryawati/Farklin)