FK-KMK UGM. Penyakit jantung rematik (Rheumatic Heart Disease/RHD) merupakan salah satu penyakit kronis yang masih menjadi perhatian serius di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh demam rematik akut (Acute Rheumatic Fever/ARF) yang terjadi akibat infeksi bakteri Streptococcus grup A pada tenggorokan.
Untuk menyingkap isu tersebut, Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (FK-KMK UGM) menggelar Simposium bertajuk “Jogja Cardiovascular Epidemiology and Prevention Forum 2024” pada Kamis (16/10) di UC Hotel UGM.
Simposium ini menghadirkan tiga pembicara ternama, salah satunya Prof. Ganesan Karthikeyan, MBBSM, MD, DM, M.Sc., seorang Biotechnology Research and Innovation Council (BRIC) – Translational Health Science and Technology Institute (THSTI) India, yang sekaligus mengisi rangkaian Visiting Professor and Guest Lecture Program 2024 di FK-KMK UGM.
Dalam presentasinya, Prof. Karthikeyan menyampaikan bahwa sekitar 40-60% anak yang mengalami ARF akan berkembang menjadi RHD.
“Pencegahan penyakit ini harus dimulai sejak dini, terutama dengan diagnosis dan penanganan yang tepat terhadap infeksi Streptococcus,” ungkapnya.
Demam rematik akut merupakan salah satu konsekuensi autoimun dari infeksi Streptococcus grup A pada tenggorokan, yang dapat menyebabkan inflamasi sistemik, menyerang otak, sendi, kulit, dan jaringan subkutan, serta jantung.
Jika tidak mendapatkan penanganan secara intensif, demam rematik dapat mengakibatkan kerusakan permanen pada katup jantung – kondisi ini dikenal sebagai penyakit jantung rematik.
“Seringkali, penyakit ini tidak terdeteksi pada tahap awal dan baru disadari ketika pasien mengalami gagal jantung, di mana satu-satunya pilihan pengobatan adalah operasi,” jelas Prof. Karthikeyan.
Ia juga menambahkan bahwa pencegahan dan deteksi dini merupakan kunci utama dalam menurunkan angka kejadian penyakit ini.
Penjelasan senada, disampaikan oleh Prof. dr. Indah Kartika Murni, M.Kes., Sp.A(K)., Ph.D., Dokter Ahli Jantung Anak RSUP Dr Sardjito. Beberapa komplikasi serius dari RHD mencakup fibrilasi atrium, stroke iskemik, gagal jantung, dan endokarditis infektif.
Fibrilasi atrium menyebabkan detak jantung tidak teratur yang dapat memicu pembentukan gumpalan darah, meningkatkan risiko stroke. Selain itu, penyakit ini juga dapat menyebabkan gagal jantung, yang ditandai dengan sesak napas, kelelahan, dan pembengkakan pada tungkai.
Lebih lanjut, endokarditis infektif merupakan infeksi bakteri yang menyerang katup jantung yang rusak, dan sering terjadi pada pasien RHD dengan kebersihan gigi yang buruk. Oleh karena itu, menjaga kesehatan gigi dan mulut menjadi salah satu langkah penting dalam mencegah komplikasi ini.
Oleh karena itu, pencegahan penyakit jantung rematik dapat dilakukan dalam beberapa tingkatan.
Pencegahan primordial mencakup perbaikan kondisi perumahan dan sanitasi yang dapat menurunkan risiko infeksi Streptococcus grup A. Sementara itu, pencegahan primer melibatkan pengobatan infeksi tenggorokan dengan antibiotik seperti penicillin untuk mencegah berkembangnya ARF.
“Penicillin intramuskular tetap menjadi standar dalam pencegahan demam rematik akut,” kata Prof. Indah, merujuk pada efektivitas antibiotik dalam menurunkan risiko ARF hingga 70%.
Untuk pasien yang telah terdiagnosis ARF, pencegahan sekunder dilakukan dengan pemberian antibiotik secara rutin untuk mencegah kambuhnya infeksi tenggorokan dan membantu pemulihan katup jantung.
“Pencegahan sekunder sangat penting bagi anak-anak yang pernah mengalami demam rematik, karena setiap episode berulang dapat memperburuk kondisi katup jantung,” tambahnya.
Salah satu tantangan terbesar dalam penanganan RHD di Indonesia adalah hilangnya pasien dari pantauan setelah diagnosis awal. Berdasarkan studi retrospektif di RSUP Dr. Sardjito pada 127 anak yang baru terdiagnosis RHD antara tahun 2013-2020, sebanyak 30,7% pasien tidak lagi melakukan kontrol setelah satu tahun.
“Kehilangan jejak pasien ini memperburuk prognosis mereka, karena tanpa pemantauan dan pengobatan yang berkelanjutan, penyakit ini akan terus berkembang,” jelas Prof. Indah.
Masa tindak lanjut yang lebih lama menunjukkan bahwa angka kelangsungan hidup satu tahun pasien dengan RHD mencapai 93,6%, namun menurun drastis menjadi 60,1% pada tahun kedelapan.
Simposium ini menjadi salah satu bentuk komitmen FK-KMK UGM terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yakni SDG 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera, SDG 4: Pendidikan Berkualitas, SDG 9: Industri, Inovasi, dan Infrastruktur, SDG 10: Berkurangnya Kesenjangan, SDG 12: Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab, serta SDG 17: Kemitraan Untuk Mencapai Tujuan. (Isroq Adi Subakti/Reporter).