Indonesia saat ini sedang mengalami masalah double-burden nutrition dimana masalah malnutrisi masih menjadi tantangan utama dalam pembangunan kesehatan selama beberapa dekade belakangan. Stunting masih menjadi PR besar Pemerintah Republik Indonesia. Pemerintah telah mengambil langkah cepat dengan meluncurkan Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting atau yang lebih dikenal dengan STRANAS Stunting yang terdiri dari intervensi gizi spesifik dan gizi sensitif.
Kedua intervensi ini dalam implementasinya melibatkan semua stakeholder baik itu di tingkat nasional maupun tingkat provinsi. Namun demikian, intervensi ini masih berjalan lambat karena beberapa faktor termasuk rendahnya komitmen dari Pemda, keterbatasan pendanaan, dan kegagalan dalam penanggulangan faktor risiko. Berbagai daerah menargetkan penurunan stunting di wilayahnya, tak terkecuali Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Pemerintah Yogyakarta saat ini tengah mengupayakan perwujudan Gerakan Zero Stunting. Baru-baru ini Ketua DPRD Kota Yogyakarta Danang Rudyatmoko menyatakan, data stunting di Kota Yogyakarta. “Analisa data akhir Maret yang dilakukan melalui kerja sama dengan UGM, Kedokteran UGM, ada sekitar 1132 kasus balita dengan gradasi yang perlu dicermati,” ujarnya dilansir dari portal resmi pemerintah Yogyakarta jogjakota.go.id (1/4).
Wilayah lain seperti NTT juga masih memiliki masalah yang sama dalam penanganan stunting. Data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukan peningkatan yang cukup signifikan pada prevalensi stunting di NTT dengan angka 50.6%. Secara kasar, angka ini berarti 5 dari 10 anak di NTT menderita gangguan akibat dari gagal tumbuh atau stunting yang disebabkan karena kurangnya asupan nutrisi pada masa kehamilan dan perinatal. Kondisi ini akan menambah besar kesenjangan atau inequality antara NTT
dengan provinsi lainnya di Indonesia.
Berdasarkan masalah diatas, Save the Children mencoba untuk membuat analisis kebijakan yang terkait dengan intervensi gizi di NTT terutama yang berfokus pada pencegahan stunting. Salah satu opsi yang ditawarkan adalah dengan integrasi program kesehatan masyarakat dengan program sosial dan ekonomi. Walaupun program kesehatan masyarakat merupakan intervensi utama untuk mencegah stunting, faktor sosial dan ekonomi menjadi hal yang penting untuk dipertimbangkan. Intervensi yang terintegrasi akan memberikan dampak bagi komunitas dalam mendukung program kesehatan yang berbasis komunitas dan berkelanjutan. Pemerintah Provinsi NTT harus mampu untuk mengarahkan pelayanan kesehatan primer untuk lebih fokus pada 1.000 hari pertama kehidupan atau golden period. Selain itu, edukasi kepada remaja putri, perempuan, dan orang tua sangat dibutuhkan terutama yang berkaitan dengan inisiasi menyusui dini dan asupan gizi.
Integrasi program kesehatan masyarakat dapat dimulai dari program keluarga berencana untuk mempersiapkan remaja putri dan pasangan usia subur dalam memasuki rumah tangga dan memiliki anak. Keluarga miskin perlu didukung dengan bantuan tunai yang bersifat terbatas dalam arti bantuan tersebut hanya dapat dibelanjakan untuk hal-hal yang mendukung kesehatan keluarga seperti membeli makanan yang sehat, air, sanitasi, dan kebutuhan kebersihan atau hygiene.
Penguatan komitmen dari Pemerintah Daerah juga menjadi hal yang penting mulai dari Pemerintah Provinsi sampai dengan Kabupaten/Kota bahkan Desa. Komitmen ini tidak hanya untuk mendukung program penanggulangan stunting namun juga untuk perencanaan dan alokasi anggaran kesehatan. Lebih jauh lagi penguatan komitmen ini untuk mejamin adanya kolaborasi antara stakeholder dalam bekerja bersama-sama menanggulangi masalah stunting ini.
“Transformasi kebijakan kesehatan terutama di bidang kesehatan masyarakat dan gizi merupakan hal yang penting dalam pencegahan stunting. Penyusunan kebijakan kesehatan harus melibatkan semua pihak baik di sektor kesehatan maupun di luar sektor kesehatan untuk mempromosikan kolaborasi yang efektif dalam pembanguan sosial dan ekonomi untuk melawan stunting,” menurut Stevie Nappoe.
Upaya perlawanan stunting yang patut dicontoh misalnya yang dilakukan oleh Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Hasil penelitian di Yogyakarta pada 2021 yang dilakukan oleh World Bank memberikan pembelajaran bahwa penanganan stunting tidak hanya diselesaikan dari aspek kesehatan tetapi juga dapat melalui pengembangan pertanian. Kabupaten Sleman melakukan upaya bertani dan budidaya ikan di sawah yang telah terbukti menjadi strategi unggulan untuk meningkatkan gizi, kesehatan hingga pendapatan masyarakat. Strategi ini menghidupkan kembali metode kuno untuk meningkatkan produksi beras lokal. Kemudian budidaya ikan membantu menyuburkan padi dan menjadi protein yang sangat bernilai bagi keluarga hingga dapat dijual di pasar untuk menambah penghasilan. Upaya ini menjadi bentuk strategi yang dapat dikembangkan dalam mengatasi masalah gizi, karena akan melibatkan penciptaan sistem pertanian-budidaya yang lebih fokus pada gizi sensitif. (PKMK UGM)