Pionir Farmakologi Indonesia: Prof. Mustofa dan Perannya dalam Meningkatkan Kemandirian Indonesia dalam Produksi Obat

FK-KMK UGM. Sebagai salah satu peneliti di Departemen Farmakologi dan Terapi, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada (FK-KMK UGM), yang menjadi pionir bidang farmakologi, Prof. Dr. apt. Mustofa, M.Kes. telah melakukan banyak penelitian sejak pertama kali bergabung dengan FK-KMK UGM pada tahun 1987. Lebih dari 100 karya ilmiah tentang penemuan dan pengembangan obat (drug discovery and development) telah dipublikasikan di jurnal internasional bereputasi dan lebih dari 25 Kekayaan Intelektual (KI) bersama kolega dan anak bimbingnya. Hingga saat ini, lebih dari 50 Doktor diluluskan di bawah bimbingannya. Beberapa di antara anak bimbingnya bahkan sudah meraih Guru Besar dan menduduki jabatan struktural di institusi masing-masing.

Beberapa hasil penelitiannya terutama tentang tanaman obat Indonesia telah berhasil dihilirisasi dan dimanfaatkan oleh masyarakat seperti Asilact® untuk memperlancar produksi ASI dan AGFit® untuk memperbaiki memori pasien pasca stroke. Pengembangan tanaman obat asli Indonesia menjadi fitofarmaka menarik perhatian Prof. Mustofa, karena potensi sumber daya tanaman obat Indonesia yang melimpah sebagai bahan baku fitofarmaka. Hal ini akan sangat mendukung kemandirian Indonesia di bidang farmasi dan alat kesehatan.

Melalui rekam jejaknya dalam dharma penelitian, Prof. Mustofa dipercaya untuk mengawal kegiatan penelitian UGM 2017-2022 sebagai Direktur Penelitian. Semasa menjabat sebagai Direktur Penelitian beberapa prestasi telah berhasil diperoleh di antaranya adalah memperoleh pengakuan sebagai perguruan tinggi dengan kinerja penelitian terbaik selama 2018-2022 dari Kemenristekdikti/Kemendikbutristek. Selain itu selama menjabat Direktur Penelitian, literasi Kekayaan Intelektual (KI) kepada peneliti dan mahasiswa diperkuat melalui Sentra KI UGM. Hasilnya terlihat dari meningkatnya pengajuan pendaftaran KI dengan pesat hingga 150 pendaftaran per tahun dari yang tadinya tidak lebih 10 pendaftaran per tahun. Pengajuan KI akhirnya menjadi budaya bagi para peneliti di lingkungan UGM, yang tadinya tidak mengerti KI sekarang berbondong-bondong mengajukan KI seperti paten, merk, desain industri, hak cipta dan lain sebagainya. Prof. Mustofa juga mengawal pembentukan Komsi Etik Penelitian di tingkat universitas selama bertugas di Direktorat Penelitian.

Selepas selesai tugasnya sebagai Direktur Penelitian UGM, Prof. Mustofa kembali ke habitatnya sebagai peneliti. Saat ini masih ditugaskan untuk mengawal dan mengembangkan beberapa kelompok riset di UGM seperti, Gugus Tugas One Health UGM, Gugus Tugas Kosmopolis Rempah UGM, dan Pusat Kolaborasi Riset Biofilm. Gugus tugas dan Pusat Kolaborasi ini diharapkan bisa berkembang menjadi pusat unggulan (center of excellent) yang dimiliki UGM untuk meningkatkan reputasi UGM.

Sejak bergabung dengan FK-KMK UGM, Prof. Mustofa telah dibimbing oleh para senior dan mentor serta kolega yang concern terhadap pengembangan penelitian dosen. Bimbingan dan dukungan tersebut, tanpa disadari, telah menumbuhkan minatnya untuk terus melakukan penelitian sebagai salah satu dari Tri Dharma perguruan tinggi. “Meski awalnya hanya mengikuti arahan dan bimbingan dari mentor, namun saya menyadari penelitian juga memerlukan passion dan komitmen yang tinggi,” tambah Prof. Mustofa.

Dalam perjalanannya sebagai seorang peneliti selama lebih dari 35 tahun, Prof. Mustofa memahami betul tantangan yang dihadapi seorang peneliti agar hasil-hasil penelitiannya tidak hanya untuk kepentingan akademik tetapi bisa dihilirkan untuk kemanfaatan masyarakat luar. Keterbatasan fasilitas dan dana penelitian, rumitnya pertanggung jawaban penelitian bisa mematahkan semangat melakukan penelitian. Namun semua itu bisa diatasi kalau peneliti punya passion, daya juang, komitmen, dan visi untuk mewujudkan impiannya sebagai seorang peneliti. “Dengan daya juang dan komitmen yang tinggi apa yang menjadi keinginan peneliti bakal terwujud. Permasalaha pasti selalu mucul dalam penelitian, akan tetapi jalan keluar pasti ada,” jelasnya.

Sebagai peneliti senior, Prof. Mustofa memiliki harapan supaya hasil penelitian bisa dihilirasi tidak hanya berakhir untuk kepentingan akademik berupa publikasi di jurnal-jurnal ilmiah.  Namun, sampai saat ini hilirisasi hasil-hasil penelitian masih menghadapi banyak tantangan baik dari internal peneliti sendiri atau lingkungan eksternal. Oleh karena itu, perlu ditekankan betapa pentingnya memberikan pemahaman dan dorongan kepada peneliti muda agar tidak hanya mempertimbangkan kepentingan akademik semata saat memulai penelitian, tetapi juga memikirkan bagaimana hasil penelitian dapat bermanfaat bagi masyarakat luas. UGM memiliki potensi besar untuk bisa mencari solusi dan jalan keluar terkait hilirisasi ini, sehingga UGM bisa bersaing tidak hanya di tingkat nasional tetapi juga di tingkat global. (Nirwana/Reporter)