Peringati Hari TBC Sedunia, Peneliti UGM Kembangkan AI sebagai ‘Senjata’ Baru Eliminasi TBC di Indonesia

FK-KMK UGM. Teknologi artificial intelligence (AI) dapat digunakan untuk membantu deteksi dini penyakit tuberkulosis (TBC). Namun saat ini Indonesia belum memiliki teknologi AI (untuk membaca rontgen dada) tersebut. Bahkan pemerintah Indonesia membeli teknologi ini dari luar negeri untuk melaksanakan penemuan kasus TBC secara aktif (active case finding/ACF). “Padahal kita punya kemampuan (mengembangkan teknologi) itu, kita juga punya kasus yang banyak,” jelas dr. Antonia Morita I. Saktiawati, PhD, Principal Investigator Project KONEKSI pada siniar (podcast) TropmedTalk yang dilaksanakan pada Jumat, 21 Maret 2025 petang yang disiarkan melalui live Instagram di akun centertropmed.

Pada siniar tersebut, dr. Morita menjelaskan bahwa tim yang ia pimpin tengah melakukan penelitian untuk mengembangkan perangkat lunak computer-aided detection (CAD) berbasis AI. “Teknologi ini berguna untuk membantu membaca foto rontgen dada dalam rangka skrining TBC,” jelas dr. Morita. Sejatinya penelitian ini telah dimulai beberapa waktu yang lalu dengan dana terbatas. Kini pihaknya mendapat dukungan dana dari program KONEKSI yang diinisiasi oleh Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT) Australia. Kegiatan ini melibatkan peneliti dari Universitas Gadjah Mada, University of Melbourne, Monash University Indonesia, Universitas Sebelas Maret, Pusat Rehabilitasi YAKKUM, Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA) dan Yayasan Pengembangan Kesehatan dan Masyarakat Papua (YPKMP). Kolaborasi ini mencermikan SDG 17: Kemitraan untuk Mencapai Tujuan.

Masyarakat memperingati Hari TBC Sedunia (HTBS) tiap 24 Maret. TBC masih menjadi permasalahan kesehatan di Indonesia, bahkan secara global. Indonesia menempati peringkat kedua sebagai negara dengan beban kasus TBC tertinggi di dunia. “Selain kasusnya yang tinggi, di Indonesia masih terjadi gap diagnosis,” ungkap dr. Morita. Dari estimasi sekitar 1.060.000 kasus TBC, baru 81 persen yang terdiagnosa. Sementara target yang dibebankan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) adalah 100 persen dengan menganjurkan penggunaan alat deteksi dini CAD.

Deteksi dini penyakit TBC merupakan hal yang penting dilakukan. Karena jika tidak terdeteksi, orang-orang yang terkena TBC akan berpotensi melewatkan pengobatan yang berisiko hingga kematian. Selain itu, mereka masih bisa menularkan TBC ke orang lain. Dengan demikian, eliminasi TBC akan sulit diwujudkan. Hal lain yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah memastikan akses layanan untuk semua. “Kami juga menyasar kelompok yang rentan terkena TBC dan rentan tidak mendapatkan layanan yang baik,” jelas dr. Morita. Kegiatan ini sejalan dengan SDG 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera, SDG 4: Pendidikan Berkualitas, dan SDG 9: Industri, Inovasi, dan Infrastruktur.

Kelompok tersebut, lanjut dr. Morita, meliputi perempuan, anak-anak, penyandang disabilitas dan orang yang tinggal di wilayah terpencil. Tidak dapat dipungkiri masih berlaku budaya patriarki di berbagai wilayah di Indonesia. Hal ini menyebabkan akses perempuan terhadap diagnosis dan layanan TBC biasanya lebih rendah dibanding laki-laki. Adapun kelompok rentan lainnya mempunyai ketergantungan kepada orang lain untuk dapat mengakses diagnosis dan layanan TBC. Karenanya, di dalam riset ini para peneliti berkomitmen untuk melibatkan kelompok-kelompok tersebut untuk meningkatkan akses pelayanan kesehatan yang setara dengan masyarakat umum.

Terkait upaya eliminasi TBC yang dilakukan pemerintah, dr. Morita mengapresiasi langkah Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI yang melakukan ACF di 25 kabupaten/kota. Dari kegiatan tersebut, angka deteksi kasus di 2024 bisa meningkat 2-7 persen. “Harapan kami adalah kegiatan tersebut dapat diperluas cakupannya terutama untuk menjangkau kelompok-kelompok rentan dan masyarakat di wilayah terpencil,” harap dr. Morita. Hasil penelitian berupa teknologi yang dapat membantu tenaga kesehatan dalam membaca foto rontgen dada ini diharapkan dapat berkontribusi dalam upaya yang dilakukan pemerintah tersebut. Menurutnya, teknologi ini akan sangat berdampak di wilayah-wilayah terpencil atau wilayah dengan keterbatasan tenaga kesehatan, khususnya radiolog. (Kontributor: Muhammad Ali Mahrus).