Perilaku Merokok dan Tantangan Promosi Kesehatan

FKKMK-UGM. Perilaku merokok sudah dianggap sebagai penyakit, yakni penyakit kecanduan akibat zat. Saat ini, perilaku merokok pun sudah masuk dalam daftar International Classification of Disorder (ICD) 10 dan Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorder (DSM) V. Indonesia juga sudah menempati posisi negara keempat dengan jumlah perokok terbanyak di dunia dan peringkat ketujuh tertinggi di dunia untuk jumlah produksi rokok. Selain itu, proporsi perokok laki-laki usia muda di Indonesia merupakan yang tertinggi di Asia. Bahkan perokok usia sekolah 15–19 tahun meningkat dua kali lipat dalam sepuluh tahun terakhir dan perokok laki-laki meningkat empat kalinya selama 20 tahun terakhir.

Badan kesehatan dunia (WHO, 2016) menyebutkan bahwa selama 15 tahun terakhir, penyakit tidak menular (PTM) di Indonesia telah menggeser penyakit menular dan menjadi penyebab utama kematian. Kebiasaan merokok, merupakan salah satu faktor risiko penyakit tertentu untuk PTM, seperti halnya penyakit jantung. Pada tahun 2016 kelompok diagnosis penyakit jantung kardiovaskuler memberikan beban JKN sebesar Rp 7,4 triliun.

Sejak tahun 2016, Indonesia sejatinya telah memperkenalkan gerakan masyarakat sehat (GERMAS) untuk pengendalian PTM yang berfokus pada tiga kegiatan. Pertama, melakukan aktivitas fisik 30 menit per hari. Kedua, mengkonsumsi buah dan sayur. Ketiga, memeriksakan kesehatan secara rutin. Ironinya, pengendalian merokok belum menjadi kegiatan awal GERMAS, meskipun rokok telah menjadi faktor risiko utama PTM di Indonesia.

Pertama, meski ikut merumuskan, Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Pasifik yang belum menandatangani Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), yang merupakan konvensi negara-negara anggota WHO sebagai dasar pengembangan kebijakan pengendalian tembakau melalui beberapa strategi dan telah ditandatangani oleh 173 negara. Kedua, banyaknya industri rokok di Indonesia membuat kebijakan dan regulasi pengendalian rokok menjadi lambat. Indonesia belum meratifikasi FCTC, sehingga rokok dijual cukup murah bila dibandingkan dengan negara tetangga. Indonesia juga merupakan negara yang masih membolehkan penjualan rokok batangan.

Ketiga, Indonesia adalah negara yang masih menyiarkan iklan rokok di media massa, termasuk elektronik, media digital dan luar ruang, sementara lebih dari 140 negara sudah melarang iklan rokok dalam semua bentuk. Sponsorship pada kegiatan olah raga dan seni yang melibatkan anak muda menyebabkan rokok semakin erat dengan remaja. Keadaan seperti inilah yang menyebabkan rokok mudah diakses dan jumlah perokok meningkat, terutama di kalangan usia muda.

Keempat, Pelaksanaan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) juga belum sepenuhnya berjalan dengan optimal. Selain implementasi belum optimal, baru seperempat kabupaten atau kota saja yang menerapkan kebijakan KTR. Kelima, untuk meningkatkan implementasi provisi WHO FCTC, pada tahun 2008 WHO mengembangkan cara praktis dan efektif biaya yang berorientasi pada pengurangan demand, yaitu MPOWER (Monitor penggunaan tembakau dan pencegahannya; Perlindungan terhadap asap tembakau; Optimalkan dukungan untuk berhenti merokok; Waspadakan masyarakat akan bahaya tembakau; Eliminasi iklan, promosi dan sponsor terkait dengan tembakau; dan Raih kenaikan cukai tembakau). Indonesia telah menjalankan MPOWER, tetapi menurut WHO masih belum optimal pencapaiannya.

Penyakit kecanduan merokok kini telah menjadi tantangan penggiat pelayanan kesehatan, terutama layanan promosi kesehatan. Promosi kesehatan merupakan proses untuk mendorong orang meningkatkan kendali dan meningkatkan keadaan kesehatannya. Prinsip pertama, pelibatan seluruh populasi dalam konteks kehidupan mereka sehari-hari dan mendorong mereka untuk bertanggung jawab terhadap kesehatan. Kedua, mengatasi penentu kesehatan dengan pendekatan ke hulu yang berarti usaha bekerja sama dengan berbagai sektor pada setiap tingkatan, dari lokal ke nasional. Ketiga, menggunakan pendekatan, metode yang bervariasi, komplementer dari intervensi legislasi dan fiskal, perubahan organisasi dan pengembangan komunitas melalui pendidikan dan komunikasi yang dalam perkembangan multiintervensi ini menjadi socioecological model. Keempat, partisipasi publik efektif, yang membutuhkan pengembangan individu dan kapasitas komunitas, serta. Dan prinsip kelima, peran dari profesi kesehatan dalam pendidikan dan advokasi untuk kesehatan.

Beberapa kajian tersebut dipaparkan oleh Prof. Dra. R.A. Yayi Suryo Prabandari, MSi., PhD., dalam pidato pengukuhan Guru Besar pada Kamis, (15/2) di Balai Senat UGM dengan judul, “Promosi Kesehatan dalam Pengendalian Perilaku Merokok di Indonesia: Antara Fakta dan Harapan”. Pendalaman keilmuan, pengajaran, serta kegiatan yang terkait dengan pengendalian tembakau di Indonesia yang telah digeluti selama lebih dari 20 tahun ini berhasil mengantarkan Profesor Yayi Suryo mencapai gelar akademis tertinggi sebagai ilmuwan sosial/perilaku, yang memperoleh gelar Guru Besar pertama di Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) UGM maupun di Fakultas Kedokteran se-Indonesia. (Wiwin/IRO; Foto/Dian)