FK-UGM. Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI) angka kematian akibat resistensi antimikroba sampai dengan 2014 sebesar 700.000 per tahun. Depkes RI tahun 2015 juga menyebutkan bahwa pada tahun 2050 diperkirakan angka kematian akibat resistensi antibiotik akan mencapai 10 juta jiwa per tahun, lebih besar dibanding kematian yang diakibatkan oleh kanker yang hanya 8,2 juta jiwa per tahun. Hal tersebut bisa menyebabkan dampak kerugian global mencapai USD 100 triliun. Sedangkan, di Amerika Serikat, diperkirakan sekurang-kurangnya 23.000 orang meninggal setiap tahun akibat infeksi. Lebih dari dua juta orang mengalami infeksi serius akibat bakteri yang resisten terhadap lebih dari satu antibiotik. Jika masalah ini terus dibiarkan, maka hal ini akan semakin berdampak buruk pada dunia kesehatan di masa mendatang.
Pencegahan dan penanganan masalah resistensi antibiotik ini bukan hanya menjadi tanggung jawab dokter saja, akan tetapi seluruh komponen kesehatan salah satunya adalah perawat. Meskipun seorang perawat tidak memiliki wewenang untuk meresepkan obat pada pasien, di mana kewenangan ini diampu oleh dokter, tetapi ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh perawat dalam kasus resistensi antibiotik.
Khudazi Aulani, S.Kp. M.Kes, dari Program Studi Ilmu Kesehatan (PSIK) FK UGM menjelaskan hal tersebut dalam kegiatan Annual Scientific Meeting (ASM) Pokja Keperawatan di Auditorium Gedung Ismangoen Fakultas Kedokteran UGM (15/3). Dalam paparannya Aulani menyebutkan bahwa terdapat dua hal yang bisa dilakukan oleh seorang perawat dalam mengatasi permasalahan tersebut, yang pertama adalah mengontrol infeksi yang terjadi pada pasien dan yang kedua menjaga kebersihan lingkungan agar tetap higenis. Dalam seminar ASM yang bertema ‘Peran dan Tantangan Perawat dalam Upaya Pencegahan dan Pengendalian Resistensi Antibiotik’ ini, Elsi Dwi Hapsari, S.Kep. M.S. D.S., menambahkan bahwa resistensi antimikroba memerlukan perhatian serius terutama saat masa transmisi infeksi, jangan sampai menyebar.
Lebih lanjut lagi, tentu saja banyak tantangan yang dialami seorang perawat saat mengatasi permasalahan mengenai hal tersebut. Tantangan dan hambatan yang biasa dialami perawat adalah kondisi klinis pasien yang sudah resisten terhadap antibiotik, pemasangan alat invasive, tindakan risiko tinggi, dokter yang sering berganti, ketersediaan perbekalan farmasi dan penempatan pasien yang adekuat.
“Perawat juga perlu memperhatikan tentang kebersihan tangan sebelum dan sesudah merawat pasien, jangan sampai bakteri yang ada tersebar ke tempat lain. Apalagi jika penyebarannya sampai kepada keluarga perawat sendiri,” papar Tim PPI RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta, Sri Purwaningsih, S.Kep. Ns. Pada akhir sesi, Sri juga mengajak semua peserta untuk praktik cuci tangan yang benar dan meminta beberapa perwakilan untuk maju ke depan. (Siti Rohmah Megawangi/Kontributor)