FK-UGM. Di Indonesia, selama ini masih fokus dalam meningkatkan layanan kesehatan sekunder (rumah sakit), yang banyak menghabiskan anggaran kesehatan negara dan berimbas pada banyaknya masyarakat yang berobat di rumah sakit. Di dunia internasional rata-rata angka rujukan ke layanan sekunder hanya 5%, sedangkan di Indonesia sebesar 80% (berdasarkan hasil penelitan). Di ASEAN, status kesehatan Indonesia dibawah Vietnam, setara dengan Laos, Myanmar, Kambodia dan Timor Leste.
Pokja Nasional Dokter Layanan Primer menyelenggarakan kegiatan International Seminar on Primary Care Medicine Indonesia to Strengthen The Universal Coverage (Jaminan Kesehatan) Nasional-JKN Indonesia di Ballroom 1 Hotel Tentrem (3/4). Ketua Panitia, dr. Mora Claramita, MHPE.,Ph.D memaparkan bahwa tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mempelajari tentang implementasi JKN di Indonesia, mempelajari tentang peran dokter professional atau Dokter Layanan Primer (DLP) sebagai tenaga kesehatan, dan mempersiapkan pendidikan lanjutan untuk dokter yang akan bekerja di layanan primer.
Tugas tenaga kesehatan-khususnya Dokter, tidak hanya mengobati, tetapi bertugas sebagai advokat di bidang kesehatan bagi pasien. Dokter menjadi pendamping bagi pasien, memberikan edukasi, menjelaskan dengan detil apa saja yang akan dilakukan oleh dokter terhadap pasien sampai pasien paham, memberikan informasi, memberikan support, memberdayakan pasien, mengajari problem solving skills, pendekatan kepada pasien, keluarga pasien, dan komunitasnya. Selain itu, mampu secara holistik melihat pasien secara keseluruhan biopsikososialculturalspiritual. Tidak hanya memeriksa, memberikan resep dan memberi obat, tetapi juga berinteraksi berbagai faktor munculnya penyakit, dampak penyakit bagi pasien dan keluarganya. Dokter tersebut juga mampu menangani pasien secara komprehensif yaitu promotive, preventive, curative, rehabilitative dan palliative care. Palliative care untuk pasien terminal (yang tidak bisa disembuhkan) bertujuan untuk mempertahankan kualitas hidup dan mencapai good death, hingga memberikan konseling duka cita. Dokter ini berkerja di komunitas dan secara berkesinambungan serta berkelanjutan mengikuti perjalanan kesehatan pasien. Tentunya bekerjasama dengan primary care, secondary care dan tertiary care. Sehingga pasien yang belum sakit bisa dilakukan upaya promotif dan preventif, ketika sudah sakit dapat dirujuk dengan tepat. Pasien menjadi lebih puas dengan layanan kesehatan primer dan biaya kesehatan bisa ditekan.
Rektor UGM, Prof. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D. pun menegaskan bahwa Universitas Gadjah Mada sebagai institusi pendidikan akan berkontribusi untuk mewujudkan Universal Health Coverage (UHC), terutama dalam layanan kesehatan primer. “Dekan Fakultas Kedokteran telah meluncurkan sebuah program aplikasi kesehatan NusaHealth yang berbasis android untuk memberi akses pada masyarakat dalam hal pendidikan dan kesehatan,” ujarnya.
Menteri Kesehatan, Prof. Nila F. Moeloek, SpM (K) menjelaskan bahwa sampai saat ini sudah 60% masyarakat miskin yang telah mendapatkan JKN dan 9,2 juta jiwa di Indonesia preminya dibayar oleh pemerintah. Bahkan, sekitar 192,600 jiwa sudah menggunakan JKN untuk mendapatkan fasilitas kesehatan. Sayangnya, hal tersebut berdampak pada pembengkakan pengeluaran negara yang pada tahun 2015, anggaran untuk kesehatan bertambah menjadi US$ 4,2 juta. Dengan anggaran yang besar tersebut, pemerintah Indionesia terus berusaha untuk meningkatkan layanan kesehatan terutama dalam hal Sumber Daya Manusia (SDM), sarana dan prasarana sehingga terjadi pemerataan di sejumlah wilayah di Indonesia terhadap kualitas layanan kesehatan. “Sistem penguatan kesehatan yang dilakukan oleh kementerian kesehatan adalah memberi akses yang mudah ditempat-tempat pelayanan kesehatan, mendukung fasilitas kesehatan yang berkualitas, memberi layananan kesehatan primer kepada masyarakat, melakukan advokasi dan regulasi di tingkat daerah maupun nasional terkait dengan JKN,” tambahnya. Hal tersebut agar masyarakat Indonesia dapat mencapai 12 indikator keluarga sehat yang diantaranya adalah partisipasi keluarga dalam KB, pemberian fasilitas untuk ibu melahirkan, pemberian imuniasasi pada bayi, pemberian ASI eksklusif selama enam bulan, memberi pelayanan kesehatan standar bagi penderita Tuberkulosis (TB), memberi pengobatan bagi penderita hipertensi, tidak megabaikan orang yang sakit jiwa, tidak ada yang merokok dalam keluarga, pemberian akses pada air bersih, menggunakan toilet dengan benar, dan menjadi anggota JKN. Dalam hal ini, DLP berperan penting dalam meningkatkan mutu dan kualitas Puskesmas.
“Pelayanan kesehatan primer yang sudah dilakukan di beberapa negara mampu mengurangi angka kematian sampai 6%. WHO berharap melalui program yang sedang dijalankan ini, dunia dapat mencapai UHC dalam upaya mewujudkan UN SDG’s nomor tiga mengenai hidup sehat dan kesejahteraan bagi setiap orang,” ujar Jihan Tawilah yang merupakan perwakilan WHO untuk Indonesia.
Meski begitu, Kepala Kesehatan Manajemen Vivre VI dr. Elke Winasari menjelaskan bahwa dalam pengimplementasian JKN, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) mengalami berbagai tantangan seperti beban keuangan yang tinggi, ketersediaan dari dokter dan staf medis yang tersebar di seluruh Indonesia, komitmen dari pemegang kebijakan dalam pengimplementasian layanan kesehatan primer, akses terhadap layanan kesehatan terutama untuk wilayah tertinggal, dan saat ini Indonesia masih berfokus paada usaha penyembuhan penyakit daripada pencegahannya.
Persoalan kesehatan lain di Indonesia adalah patient trust. Dengan ditetapkannya semua orang berkewajiban mempunyai iuran BPJS maupun BPJS Ketenagakerjaan, akan menjamin masyarakat untuk datang ke layanan kesehatan. Konsekuenasinya pelayanan kesehatan harus berbenah, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap layanan kesehatan di Indonesia akan meningkat.
Anggota Komisi Ilmu Kedokteran Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Prof. Dr. dr. Med. Akmal Taher, SpU(K) memaparkan bahwa dalam dunia pengobatan saat ini sedang dikembangkan personalized medicine, yaitu pengobatan yang didasarkan pada data genom. Data genom ini kemudian akan dijadikan acuan dalam pelayanan kesehatan primer untuk menentuan pengobatan apa yang seharusnya dilakukan terhadap pasien. Sehingga nantinya pasien akan mendapatkan pengobatan terbaik.
Keberadaan DLP semakin menemui titik terang karena pada 1 April 2017 dalam pertemuan di London yang dilakukan oleh The World Organization of Family Doctors (WONCA) menyetujui adanya DLP di Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Prof. Michael Kidd, yang merupakan president WONCA.
Di tambah lagi, adanya dukungan DPR RI terutama Komisi X terhadap program studi DLP meski awalnya menuai kontroversi. Bahkan, Menteri Riset dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir pun mengatakan bahwa DLP ada untuk menjawab tantangan kesehatan di masa kini yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan pelayann primer dan hal ini diajukan oleh Menteri Kesehatan berdasarkan UU Nomor 20 tahun 2013 tentang Pendidikan kedokteran.
Anggota DPR RI Komisi X, Dr. Marlinda Irwanti menuturkan S.E. M.Si., Pada 16 Januari 2017 DPR RI bersama beberapa perwakilan Fakultas Kedokteran di Indonesia mensepakati bahwa program DLP bukanlah sesuatu yang wajib tetapi pilihan. Tetapi sebenarnya kebutuhan akan DLP ini begitu besar, diperkirakan pada tahun 2019 penyediaan layanan kesehatan primer akan dilakukan oleh DLP dan bukan oleh dokter umum seperti saat ini. Lebih jauh lagi kebutuhan DLP dalam JKN setidaknya 40 DLP untuk setiap 100.000 penduduk Indonesia berdasarkan rasio dokter saat ini. Dengan jumlah penduduk yang mencapai 225 juta, dibutuhkan sedikitnya 100.000 DLP. “Komisi X memberikan dukungan penuh terhadap program DLP untuk kepentingan mensejahterakan masyarakat Indonesia,” tutupnya. (Siti Rohmah Megawangi/Reporter)