Penyakit Jantung dan Kanker 25 Persen Duduki Pembiayaan BPJS Kesehatan

FK-KMK UGM. Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK) UGM mengadakan diskusi seri 2 Forum Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Pendanaan Kesehatan Mendatang: Apakah Prinsip Keadilan Sosial Semakin Diperlukan? pada Rabu 16 Juni 2021. Diskusi seri 2 yang berlangsung kurang lebih selama 1,5 jam ini mengusung topik “Penggunaan APBN dan BPJS Kesehatan Dalam Perspektif Keadilan Sosial: Studi Kasus PBI APBN, Defisit dan Pengeluaran Untuk Penyakit Jantung, Kanker, dan SC”. Narasumber dalam diskusi ini adalah Peneliti Kebijakan Pembiayaan Kesehatan dan JKN PKMK FK – KMK UGM, M. Faozi Kurniawan, SE., Akt., MPH dan Peneliti Pusat Kebijakan dan Manajemen Asuransi Kesehatan (KPMAK), Vini Aristianti, SKM., MPH AAK.

Untuk membuka sesi diskusi seri 2 ini, Dosen Departemen Manajemen Kebijakan Kesehatan dan Peneliti Pusat KPMAK FK-KMK UGM, Dr. Drg. Julita Hendrartini, AAK., M.Kes menyampaikan situasi pembiayaan kesehatan saat ini. “Kenaikan Gross Domestic Product (GDP) dari tahun ke tahun. Namun, share GDP untuk kesehatan menurun. Jika dibanding negara lain, share GDP untuk pembiayaan kesehatan cenderung rendah,” ujar Julita.

Julita menyatakan belanja kesehatan Indonesia dari publik dan non publik menurun dan nilainya hampir sama. Hal ini menunjukkan ada potensi pendanaan dari sektor non-publik. Pembiayaan untuk JKN saat ini Rp 112,1 T dan adanya penambahan dana JKN ialah pembiayaan untuk Penerima Bantuan Iuran (PB)I. Sisa dana PBI setiap tahun digunakan subsidi silang untuk Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU)/Informal. Sektor informal inilah yang paling besar mengalami defisit.

“(Di dalam) Sektor informal ada orang mampu namun menurut data dari KPMAK juga ada yang kemampuan finansial terbatas”, ujar Julita. Julita menyoroti bahwa dana JKN sebagian besar digunakan untuk kuratif dan ketidakmerataan penggunakan dana JKN membuat equity sulit terwujud.

Julita menyampaikan banyak pertanyaan kebijakan dalam penyelenggaraan JKN. Terlebih pembiayaan kesehatan ke depannya mengalami banyak tantangan misalnya mengatur bagaimana proporsi pendanaan publik atau swasta, besarnya pembiayaan dari sisi kuratif, dan bagaimana dengan aspek promotif dan preventif. Julita memberikan gambaran mengenai alternatif yang bisa dikembangkan di berbagai negara adalah implementasi urun biaya, co-payment, co insurance, coordination of benefit, dan coordination of payers.

Sesi penyampaian materi diawali dengan presentasi oleh M. Faozi Kurniawan membahas mengenai cost sharing dalam pembiayaan kesehatan di Indonesia serta bagaimana pembiayaan untuk penyakit katastropik. Peneliti yang akrab disapa Faozi menyampaikan beban biaya katastropik penyakit Jantung menjadi biaya tertinggi dalam beban layanan JKN pada 2016 – 2019. “Penyakit jantung kanker menduduki biaya katastropik pertama dan kedua, yakni 18,5 % pembiayaan kesehatan untuk katastropik pada tahun 2019,” ujar Faozi.

Faozi memaparkan saat ini kepemilikan layanan katerisasi Jantung terbatas antar daerah sehingga terjadi kesenjangan. Bedasarkan data sampel Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) tahun 2015 – 2018, pembiayaan pelayanan jantung tertinggi di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, DKI Jakarta, Sumatera Utara, sedangkan Provinsi di Bagian Timur cenderung lebih rendah. Biaya pelayanan jantung tinggi ini ada pada kelompok PBPU – Pekerja Penerima Upah (PPU) – Bukan Pekerja (BP).

Untuk penyakit kanker, data sampel BPJS tahun 2015 – 2018, menunjukkan pembiayaan pelayanan kanker tertinggi pada Provinsi Jawa Tengah, DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Selatan, sedangkan Provinsi di Bagian Timur cenderung lebih rendah. Biaya pelayanan kanker tinggi pada kelompok PBPU – PPU – BP.

Dengan     keadaan     seperti     ini     Faozi     menyatakan     Potensi     Cost     Sharing     untuk mengurangi ketimpangan antar peserta dan wilayah sehingga memberikan kesempatan masyarakat untuk mendanai sendiri kesehatannya. Adapun hal yang perlu dilakukan selanjutnya adalah memperbaiki Pasal 22 dalam UU SJSN da melengkapi PMK 51/2018, peraturan teknis/ pedoman cost sharing untuk penyakit katastropik bagi peserta JKN kelompok Mandiri yaitu PBPU.

Lebih lanjut, Vini Aristianti, SKM., MPH AAK memberikan paparan mengenai kasus Sectio Caesarea (SC). Vini menjelaskan, rate nasional persalinan SC untuk peserta JKN adalah 28,98%, meningkat 4,26 kali lipat dibandingkan dengan 2010 di mana 75% dari penggunanya adalah peserta JKN Non-PBI yaitu peserta PPU dan peserta PBPU.

Vini memaparkan, saat ini cesar ringan merupakan kode Case-Based Groups (CBGs) terbanyak kedua untuk klaim rawat inap dengan jumlah kasus sebanyak 221.968 kasus dengan total biaya terbesar dibanding klaim CBGs rawat inap lainnya sebesar Rp 1,035 T. Proporsi terbesar yang melakukan klaim persalinan SC di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) adalah PBI Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diikuti oleh PPU.

Data yang dihimpun Vini menunjukkan klaim persalinan tertinggi di FKTP terjadi di di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Adapun proporsi SC di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) pada 2017 sebesar 37% dibandingkan persalinan normal di FKRTL dan proporsi ini menurun, 2018 menjadi sebesar 24%..

Data yang dihimpun Vini menunjukkan proporsi PPU tertinggi untuk klaim persalinan baik normal dan SC terjadi di FKRTL. Klaim persalinan normal di FKRTL paling banyak oleh kelompok PPU, diikuti PBPU, dan meningkat jumlahnya dari 2017 ke 2018.

Ada pertanyaan mendasar yakni apakah SC dapat dikenakan Cost Sharing? Vini menyampaikan penelitian dari BPJS Kesehatan pada 2016 mengenai kemauan dan kemampuan peserta Non PBI membayar urun biaya pada pelayanan Sectio Caesarea menunjukkan bahwa jumlah urun biaya yang bersedia dibayarkan oleh rata -rata responden adalah sekitar 3,35% dari total belanja rumah tangga tahunan. Besar urun biaya yang direkomendasikan berada pada rentang 22%-29%. Peserta dengan Kelas/Pendapatan yang berbeda memiliki kemauan dan kemampuan bayar yang berbeda sehingga pengenaan urun biaya sebaiknya memperhatikan hal tersebut. Prevalensi operasi sesar ini pun memiliki hubungan negatif dengan kemauan bayar namun memiliki hubungan positif dengan kemampuan bayar. Pengenaan urun biaya juga dapat lebih tinggi di daerah dengan prevalensi SC yang tinggi.

Terkait paparan narasumber, Doni Arianto perwakilan dari Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan (PPJK) Kemenkes mengarisbawahi bahwa masalah utama di Indonesia adalah ketimpangan dan pelayanan. Doni sepakat pelayanan jantung dan kanker lebih banyak dilakukan di kota besar dibanding dengan di Indonesia Timur. Daerah tertentu yang di kota besar saja yang menikmati pelayanan jantung. Doni juga menenkankan, penting untuk melihat JKN tidak secara segmented. Sistem JKN ini menyadarkan semua pihak bahwa akses menjadi hal yang harus diperhatikan. “Tidak cukup jaminan finansial, jaminan pelayanannya bagaimana?,” ujar Doni menanggapi penyelenggaraan JKN saat ini,

Terkait cost sharing, Doni menyampaikan inti terselenggaranya cost sharing hanya bisa dilakukan dengan mengubah regulasi dasar. Doni menekankan regulasi sekarang tidak memungkinkan untuk menerapkan cost sharing. Doni menyampaikan bahwa saat ini semua pihak sudah sepakat cost sharing perlu segera diterapkan. Terkait praktik kalim SC dalam sistem JKN, masalah utamanya ialah membuktikan moral hazard sehingga perlu perubahan regulasi besar.

Perwakilan Pusat Kebijakan Sektor Keuangan, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Ronald Yusuf juga menanggapi isu cost sharing, co-payment, iur biaya yang sudah sering dibahas di berbagai kesempatan. Berbeda dengan Doni, Ronald menyatakan masih ada peluang menerapkan cost sharing jika melihat UU SJSN. Ronald menjelaskan penerapan cost sharing, co-payment perlu untuk mengurangi kejadian moral hazard dan cost sharing ini bisa diterapkan di semua jenis penyakit. Ronald menekankan dari beberapa diskusi yang diikuti, ada satu isu yang perlu dijawab mengenai perbedaan mis-use dan bukan mis-use seperti apa?

Perwakilan Dewan Jaminan Sosial Nasional, Fery Ferdiansyah menyatakan kebijakan ke depan yang sedang dibahas Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) saat ini adalah perumusan kelas rawat inap standar dan bagaimana peta jalan yang diharmonisasikan dengan Kebutuhan Dasar Kesehatan (KDK) yang di- arrange oleh Kemenkes. “DJSN sedang menyusun pokok pikiran terkait revisi UU SJSN dan BPJS. Tantangan saat ini kompleks sehingga, konten regulasi itu perlu disesuaikan”, ujar Fery.

Akar masalah saat ini antara lain; terjadi disharomonisasi peraturan perudangan baik vertikal dan horisontal, inkonsistensi kebijakan jaminan sosial, maturitas kelembagaan SJSN, DJSN mendeteksi besaran iuran perlu disesuaikan, pekerja sektor informal yang tidak mau membayar iuran sangat banyak, budaya hukum dan kemampuan BPJS menegakkan hukum reltif rendah, tingginya ekspektasi masyarakat terhadap jaminan social (jamsos) namun compliance relatif rendah. Atas dasar hal tersebut, DJSN ingin perbaikan UU Jamsos.

Direktur Eksekutif Prakarsa Ah Maftuchan menyatakan apa yang disampaikan Fery DJSN untuk menengahkan diskusi UU SJSN dan BPJS sangat relevan dari sisi waktu 6 tahun pelaksanaan BPJS Kesehatan (BPJS-K) dan BPJS Ketenagakerjaan (BPJS-TK). Jika kita bicara cost sharing dan coordination of benefit yang ditengahkan adalah pendekatan padu antara pihak pemerintah – swasta – lembaga asuransi – lembaga keuangan untuk punya satu goals pembangunan kesehatan dan kesejahteraan jangka menengah – panjang.

“Di BPJS-TK ada jaminan kecelakaan kerja yang memiliki hubungan langsung dengan treatment kesehatan. Prakarsa setuju dengan ide menengahkan COP. Hal ini merupakan upaya memberikan ruang bagi yang mampu untuk memiliki kepesertaan lebih,” ujar Ah Maftuchan.

Dari segi pelaksana JKN, Agus Mustopa perwakilan BPJS Kesehatan (BPJS-K) menceritakan kondisi BPJS-K pada awal tahun diberitakan mengalami surplus. Namun Agus menekankan, faktanya BPJSK belum bisa disebut dalam kondisi surplus. Tahun ini BPJSK terus memantau kondisi keuangannya. Dikaitkan dengan topik cost sharing, BPJS-K mendukung upaya eksplorasi sumber pembiayaan yang membuat beban APBN tidak tambah berat. Kondisi keuangan per akhir 2020 belum dapat dikategorikan sehat. Iuran saat ini menjadi sumber pendanaan, tapi juga kenaikan iuran juga menjadi beban masyarakat.

Menambahi pernyataan Agus, perwakilan BPJS-K, Elsa Novelia memaparkan bahwa berdasarkan data sampel hingga 2018 dinamikanya masih sama dengan data 2020, yakni penyakit katastropik mengambil proporsi 25% pembiayaan kesehatan. Oleh karena itu, perlu diskusi pembiayaan untuk katastropik. “Ketika penyelenggaraan Askes, ada regulasi yang memisahkan pembiayaan umum dan katastropik. Di era JKN tidak membedakan segmentasi apapun,” jelas Elsa.

Jika dilihat dari kunjungan primer, saat ini masih didominasi PBI APBN. Untuk layanan rujukan didominasi PBPU. Kunjungan untuk Katastropik saat ini 25% dari proporsi biaya kesehatan sedangkan jantung 63% pembiayaan JKN. Untuk SC dalam beberapa tahun terakir mengisi top 10 pembiayaan kesehatan.

Terkait cost sharing, Elsa menyatakan dalam mengembangkan cost sharing dan memilih sebuah layanan ini apakah dibiayakan dalam cost sharing apa tidak akan pada marwah JKN yakni finansial protection. Elsamenekankan bahwa biaya yang besar jika tidak dijaminkan maka memiskinkan peserta.

Memilih menjaminkan adalah perkara sulit karena harus meninjau kembali indikasi medisnya. Elsa mencontohkan pertanyaan – pertanyaan seperti, sampai stand keberapa operasi jantung akan dijamin dan operasi mana saja yang dijaminkan. Demikian dengan SC, saat dilihat ke dalam indikasi medis, yang disepakati saat ini adalah indikasi adanya bekas Sectio. Namun melihat kasus apakah SC merupakan permintaan pasien sendiri atau karena indikasi medis masih menjadi tantangan. Selanjutnya sampai anak keberapa SC bisa dijaminkan dan apakah tidak meningkatkan mortality.

“Kunci maslaah saat ini adalah medical audit untuk menentukan apakah layanan financial protect akan di – cost sharing – kan,” tegas Elsa. (Kontributor: PKMK FK-KMK UGM)