Peningkatan Continuing Education Bagi Dokter yang Bekerja di Indonesia

dr. WahyudiPelayanan kesehatan di tingkat primer di Indonesia termasuk tertinggal dari negara lain di wilayah ASEAN. Tahun 2015, The ASEAN Free Trade Area (AFTA) secara efektif akan berlaku bagi Negara ASEAN termasuk Indonesia yang dalam kondisi apapun wajib mengikuti. Bila AFTA sudah berjalan maka “olimpiade” persaingan kualitas dokter di layanan primer, sekunder bahkan tersier akan terjadi.

Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada tahun 2013 dan UU Pendidikan Dokter Nomor 20 Tahun 2013 Pasal 7 dan 8, yang didalamnya tertuang tujuan perbaikan kuelitas pelayanan dokter di layanan primer. Hasil penelitian Dr. dr. Wahyudi Istiono, M.Kes pada ujian promosi doktor hari ini (30/3) di FK UGM, menggambarkan suatu fenomena kesenjangan yang sangat menarik untuk dikaji demi perbaikan kualitas pelayanan dokter yang bekerja di layanan primer dan relevan dalam mendukung pelaksanaan UU Pendidikan Dokter 2013, yang sampai saat ini belum terwujud.

Berdasarkan penelitian dr. Wahyudi, di Indonesia belum ada standarisasi dokter pelayanan primer. Prinsip penanganan kasus tidak dilakukan secara komprehensif. Dari tujuh prinsip pelayanan primer, baru satu prinsip yang dijalankan, sehingga menyebabkan dokter pelayanan primer merasa tugasnya hanya pada saat merujuk dan merasa melimpahkan tanggungjawab pada dokter fasilitas kesehatan sekunder. Koordinasi antar tim pelayanan primer pun belum tampak secara kolaboratif, tidak berkelanjutan mulai dari lahir sampai meninggal dan tidak berbasis perjalanan alamiah penyakit. Secara holistic, konsep sehat dan sakit tidak terlihat dalam rekam medis termasuk latar belakang psikososiokulturalspiritual. Jumlah pasien yang terlalu banyak menyebabkan dokter tidak spesifik dalam mengidentifikasi pasien lebih lanjut. Upaya pencegahan penyakit terbatas pada penyuluhan masyarakat, belum berorientasi pada komunitas.

Dalam disertasinya, dr. Wahyudi juga membahas tujuh prinsip penting dalam pelayanan primer, yaitu: general, continuity of care, comprehensiveness, coordination of care, collaborative, community oriented dan family oriented. Namun tujuh prinsip yang tertuang pada EURACT tahun 2005 ini belum ada di Indonesia. Budaya pencegahan dan penyembuhan penyakit di layanan primer sangat tergantung dengan peran personal keluarga, dan masyarakat sekitar.

“Di Indonesia, dokter yang bekerja di layanan primer berfokus pada layanan kuratif. Waktu pendidikan yang terbatas menyebabkan pola pikir dengan prinsip dokter layanan primer belum kuat. Sarana prasarana dan fasilitas kesehatan pelayanan primer belum memadai. Dokter yang bekerja di pelayanan primer belum diakui dalam sistem kesehatan nasional sebagai gate keeper,” seperti yang disampaikan dr. Wahyudi dalam ujian promosi doktor. “Di Belanda, 95% kasus diselesaikan di pelayanan primer,” tambah beliau.

Diperlukan peningkatan continuing education bagi dokter yang bekerja di layanan primer yang diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi, perbaikan kualitas manajemen pelayanan, standarisasi fasilitas dan sarana prasarana serta sebagai gate keeper dalam sistem pelayanan kesehatan berjenjang.

dr. Wahyudi lulus dengan predikat sangat memuaskan, doktor ke-150 di FK UGM dan 2.527 se-UGM. Ditemani istri dan putrinya, dr. Wahyudi menerima ucapan selamat dari para penguji dan tamu undangan yang hadir dalam ujian promosi doktornya. Berlaku sebagai promotor beliau adalah Prof. Dr. dr. Soenarto Sastrowijoto, Sp.THT. (Dian/IRO)