FK-KMK UGM. Dosen Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, Prof. Dr. dr. Irianiwati Widodo, Sp.PA(K), berhasil dikukuhkan menjadi Guru Besar Bidang Anatomi, Kamis (11/8) di Balairung UGM.
Melalui pidato pengukuhan berjudul “Diagnosis Molekuler Patologi Anatomi pada Era Personalized Medicine Kanker Payudara”, Prof. Irianiwati menegaskan bahwa Patologi Anatomi berperan besar pada diagnosis kanker payudara yang komprehensif mulai dari morfologi secara histopatologi sampai ke tingkat molekuler, terutama untuk terapi kanker payudara yang pada saat ini bersifat personalized medicine yang berbasis pada profil molekuler tumor atau pasien.
“Kanker payudara merupakan kanker terbanyak di Dunia. Data dari the International Agency for Research on Cancer (IARC) GLOBOCAN Cancer Statistic 2020 menunjukkan 2,26 juta kasus baru kanker payudara pada wanita dengan kematian sebesar 865,000 secara global,” ungkapnya.
Dirinya bahkan juga menuturkan bahwa diperkirakan pada tahun 2030 jumlah kasus baru kanker payudara di seluruh dunia mencapai 2,7 juta per tahun dengan angka kematian mencapai 870.000.
“Kanker payudara di Indonesia sebagian besar didiagnosis sudah dalam stadium lanjut yaitu kanker berukuran besar dan sudah dengan metastasis jauh, sehingga angka kematian tinggi. Sebagian besar kematian akibat kanker di negara berkembang seperti Indonesia, disebabkan karena kesadaran yang rendah akan kanker payudara, kurang ketersediaan pelayanan medis, dan stigma kanker, yang dipengaruhi oleh budaya, kepercayaan dan rendahnya metode skrining”, imbuh Prof. Irianiwati dalam pidatonya.
Prof. Irianiwati juga mengungkapkan bahwa pada era Personalized Medicine, analisis molekuler subtipe kanker payudara berkembang pesat. Personalized medicine kanker payudara berbasis pada korelasi antara subtipe molekuler kanker dengan outcome klinis dan terapi yang ditargetkan. Subtipe molekuler kanker payudara ditentukan berdasarkan profil ekspresi gen pada sel kanker. Beberapa tes dapat digunakan untuk menentukan profil ekspresi gen seperti Oncotype DX, PAM50 dan MammaPrinth.
“Penelitian bahkan telah membuktikan bahwa profil ekspresi gen bisa ditentukan dengan pemeriksaan imunohistokimia yang lebih murah, reliabel dan secara teknis lebih mudah dikerjakan,” tuturnya.
Kanker subtipe TNBC, menurutnya diketahui mempunyai prognosis buruk, namun jumlah sel-sel imun pada kanker ini tinggi. Kanker payudara subtipe TNBC ternyata erat hubungannya dengan mutasi gen BRCA 1 dan 2, dengan prevalensi 10-20%.
“Penelitian kami di Yogyakarta mendapatkan frekuensi kanker payudara subtipe TNBC tinggi yaitu 25% dengan usia rerata pasien adalah 51,42 tahun, ukuran rerata tumor 5,4 cm, dan 70% sudah dengan metastasis limfonodi”, ujar Prof. Irianiwati.
Pendekatan diagnosis sampai saat ini menurutnya diperoleh dari sampel biopsi jaringan kanker payudara yang merupakan tindakan invasif. Metode liquid biopsy merupakan metode baru yang non invasif dan menjanjikan.
“Adanya teknologi advance seperti Next-Generation Sequencing (NGS) dan analisis berbasis PCR berperan sangat penting pada keberhasilan analisis ctDNA. Penelitian telah membuktikan bahwa level ctDNA pada plasma darah pasien kanker stadium advance lebih tinggi daripada kanker stadium awal”, katanya.
Di penghujung paparannya, Prof. Irianiwati mengungkapkan bahwa Perkembangan pesat bidang molekuler pada kanker, termasuk kanker payudara, berperan besar pada penegakan diagnosis, terapi, prognosis, skrining dan deteksi dini kanker. Pemeriksaan komprehensif kanker payudara dari pemeriksaan morfologi dan pemeriksaan berbasis molekuler bahkan menurutnya sudah dapat dilakukan di laboratorium Patologi Anatomi di Indonesia, namun masih terbatas pada beberapa senter besar.
“Dibutuhkan sarana, prasana dan sumber daya manusia dan teknologi terkini yang tentu saja berimbas kepada pembiayaan besar. Sebagian pemeriksaan molekuler sudah ditanggung oleh Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), sebagian lain dibantu oleh swasta dan masih banyak yang swadana dari pasien. Peran swasta dalam pemeriksaan molekuler umumnya dilakukan oleh perusahaan swasta yang mengeluarkan terapi targetnya atau imunoterapi. Terapi tersebut sebagian besar masih belum tercakup dalam JKN, sehingga hanya pasien yang mampu membeli yang akhirnya menggunakannya,” pungkasnya. (Wiwin/IRO; Foto: Firsto/Humas UGM).