Penguatan Shelter dan Prokes, Memutus Mata Rantai Covid-19

FK-KMK UGM. Dekan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., PhD., SpOG(K) membuka webinar “Pelaksanaan Protokol Kesehatan dan Pelayanan Isolasi Mandiri dalam Mencegah Penularan Covid-19”, yang diselenggarakan oleh Kagamadok, Sabtu (21/8) secara daring.

Prof. Ova menyampaikan bahwa penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) sejak bulan Juli 2021 lalu masih berlangsung hingga saat ini. Perpanjangan dari waktu ke waktu pun terus dilakukan. Selain itu, dinamika peningkatan kasus di beberapa wilayah pun kini sudah mulai menunjukkan tren yang baik.

“PPKM tentu tidak bisa diterapkan secara terus menerus karena akan berdampak kurang baik terhadap kegiatan ekonomi. Sudah saatnya, upaya menggiatkan pelaksanaan protokol Kesehatan harus ditumbuhkan dan digaungkan kembali untuk menjaga masyarakat dari meluasnya paparan risiko transmisi Covid-19 di kemudian hari. Upaya tersebut juga bisa dikatakan sebagai bagian integral dari tindakan preventif bersama untuk mencegah terjadinya lonjakan kasus berikutnya”, paparnya.

Selain itu, Prof. Ova juga menekankan mengenai kesiapan sistem kesehatan yang komprehensif harus mulai untuk diwujudkan. Keterlibatan negara, pemerintah, dan masyarakat bisa mewujud dalam sinergi kerja yang baik. Seperti halnya inisiasi pendirian shelter wilayah sebagai tempat isolasi mandiri bagi masyarakat yang terpapar virus layak untuk diapresiasi.

“Bagaimanapun masyarakat yang terinfeksi semestinya dipisahkan dari komunitas untuk mencegah penularan, serta dipantau dengan baik oleh petugas kesehatan untuk mempercepat pemulihan,” imbuhnya.

Direktur RSA UGM, Dr. dr. Darwito, SH., Sp.B(K). Onk dalam webinar kali ini menekankan mengenai pentingnya shelter sebagai salah satu upaya memutus mata rantai Covid-19. “Gagasan shelter memiliki makna bagaimana upaya memproteksi penularan supaya orang yang terinfeksi tidak menularkan pada yang lain dan memproteksi diri dari orang yang bisa menularkan,” ungkapnya.

Dr. Darwito juga menambahkan bahwa perkembangan shelter yang kini disebut isolasi mandiri sudah mulai dibangun di tingkat desa, kecamatan maupun kabupaten. “Satu hal yang harus diingat dalam pembuatan shelter adalah ia harus terhubung dengan fasyankes,” tegasnya.

Lalu bagaimana mengatasi hambatan sosial budaya masyarakat dalam pelaksanaan protocol keseahatan? Mengapa ada orang yang patuh dan tidak patuh protocol Kesehatan? Pakar antropologi Kesehatan, Dr. Dra. Retna Siwi Padmawati, MA dalam hal ini menegaskan bahwa telah terjadi culture shock atau kejutan budaya di masyarakat akibat pandemi Covid-19.

“Kalau masyarakat bisa mengatasi kejutan ini maka mereka akan bisa beradaptasi dengan cepat. Ada proses internalisasi diri, untuk menyesuaikan kebiasaan-kebiasaanya. Tetapi kemudian terjadi kebosanan setelah terjadi beberapa lama, ada yang terjadi kebosanan dengan cepat memang belum bisa move on, ada yang kemudian langsung mengadaptasi itu dengan baik. Kalau melihat fenomena ini berarti masyarakat sangat berbeda-beda, ada yang bisa move on cepat karena fasilitas kenyamanan, tidak perlu pergi dari rumah namun masih bisa melakukan aktualisasi diri, namun ada juga masyarakat yang tidak bisa melakukannya.  Culture shock bisa disikapi berbeda-beda dan bisa menimbulkan dampak berbeda pada msayarakat”, paparnya.

Menanggapi hal ini, Prof. Dra. Yayi Suryo Prabandari, MSi., PhD., justru menggarisbawahi mengenai apa yang harus dilakukan kemudian jika terjadi penolakan masyarakat terhadap kepatuhan dan kesadaran penerapan protokol Kesehatan.

“Memahami masyarakat, dialog, penerapan aturan/kebijakan baik tingkat daerah ataupun nasional, mengundang keterlibatan masyarakat, memberikan kesempatan pada masyarakat untuk melanjutkan kehidupan dengan mengurangi risiko paparan virus, menjadi ragam upaya yang bisa ditempuh untuk mengintervensi masyarakat,” paparnya.

Prof. Yayi juga menegaskan bahwa, pertama, perlunya kajian kebutuhan sebelum intervensi dilakukan, karena intervensi tidak bisa hanya satu untuk semua. Kedua, diperlukan kearifan loka untuk bisa meningkatkan kesadaran masyarakat. Ketiga, kreatif dan menggunakan intervensi multi tahap maupun metode. Keempat, perubahan perilaku membutuhkan kolaborasi tidak hanya sector Kesehatan, namun juga swasta, tatanan dan masyarakat.

“Mulailah dengan mengubah pesan ‘jangan’ menjadi ‘lakukan dengan cara berbeda’ dan hindari menghakimi maupun menyalahkan,” pungkasnya. (Wiwin/IRO)