FK-UGM. Dampak penggunaan obat tidak rasional sangat luas dan merugikan masyarakat dari aspek klinis maupun ekonomis. Hal ini merupakan permasalahan global yang sangat kompleks dan terjadi di negara maju maupun berkembang. Padahal, salah satu tujuan dari Kebijakan Obat Nasional adalah penggunaan obat yang mengutamakan kemanfaatan yang maksimal dan efek samping yang minimal.
Melalui penelitiannya, dengan promotor Prof. Dr. Dra. Sri Suryawati, Apt., Mahasiswa program studi pendidikan Doktor Fakultas Kedokteran UGM, dr. Sunartono, M.Kes., menyimpulkan bahwa pembudayaan merupakan kunci sukses penggunaan obat rasional (POR).
“Sesuai ajaran masyarakat Jawa, pembudayaan dilakukan melalui empat tahap yaitu dipeksa (dipaksa), kepeksa (terpaksa), kulina (terbiasa) dan budaya (membudaya),” ungkapnya, Senin (15/1), saat mengikuti ujian terbuka program Doktor di Fakultas Kedokteran UGM.
Doktor ke -3800 UGM dengan predikat Cumlaude ini menyatakan bahwa proses POR sudah berhasil dilakukan di Kabupaten Gunungkidul dan Sleman. Data di Gunungkidul menunjukkan prosentase pasien penerima antibiotik turun menjadi 24,1 persen di tahun 2014 yang 20 tahun lalu masih di angka 52,1 persen. Sedangkan di Sleman, penggunaan antibiotika juga menurun menjadi 20 persen di tahun 2014 dari angka 44,31 persen.
“Proses pembudayaan merupakan kunci sukses dan memerlukan komitmen tinggi dari penentu kebijakan kesehatan kabupaten untuk menerapkan prinsip pengobatan berbasis bukti disertai dengan evaluasi dan monitoring,” tegas Sunartono.
Berkaca pada keberhasilan POR di Gunungkidul dan Sleman, maka perlu untuk mengeksplorasi faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi program agar bisa dipelajari dan direplikasi di kabupaten kota lain.
Selain melalui proses pembudayaan, keberhasilan proses internalisasi program POR ditentukan oleh: pertama, informasi yang akurat tentang masalah penggunaan obat yang terjadi dan pemilihan metode intervensi yang tepat. Kedua, komitmen dan keberanian penentu kebijakan kesehatan Kabupaten dalam pengambilan keputusan untuk mengatasi masalah yang dihadapi oleh organisasi. Ketiga, keterlibatan para pelaku pengobatan sebagai anggota tim sejak awal proses penyusunan program POR. Dan yang keempat, dukungan dari internal anggota organisasi Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. (Wiwin/IRO).