Penderita Penyakit Jantung di DIY Masih Tinggi

FK-KMK UGM. Data Riskesdas (2018) menunjukkan bahwa angka kejadian penyakit jantung di Indonesia meningkat semakin tinggi dari tahun ke tahun dengan prevalensi 1,5%. Hal tersebut berarti bahwa 15 dari 1.000 orang di Indonesia menderita penyakit jantung. Dari data Riskesdas ini juga menyebutkan bahwa DIY menempati urutan tertinggi kedua setelah Kalimantan Utara dengan prevalensi 2%.

Paparan data tersebut diungkapkan oleh pakar kesehatan jantung FK-KMK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Prof. Dr. dr. Budi Yuli Setianto, Sp.PD, K-KV, Sp.JP(K)., saat peringatan hari jantung sedunia, Rabu (29/9). “Penyakit jantung menjadi penyebab hampir setengah dari semua kematian Non-Communicable Disease sehingga menjadikannya sebagai pembunuh nomor satu di dunia,” tegasnya saat ditemui secara daring.

Lalu bagaimana dengan data dunia tentang penyakit kardiovaskular? Penyakit kardiovaskular sendiri menurut Prof. Budi Yuli menjadi pembunuh nomor 1 di dunia yang mengakibatkan 18,6 juta kematian per tahun. Banyak pemicu angka kejadian tersebut mulai dari merokok, diabetes, tekanan darah tinggi, kegemukan maupun polusi udara.

“Data WHO tahun 2015 bahkan menunjukkan 70% dari 3,5 juta kematian di dunia disebabkan oleh penyakit tidak menular atau NCD. Dari jumlah tersebut, 45% berasal dari penyakit jantung dan pembuluh darah,” imbuhnya.

Prof. Budi Yuli juga menuturkan bahwa Federasi Jantung Dunia (WHF) melalui kampanye peringatan jantung sedunia yang jatuh setiap tanggal 29 September ini berupaya untuk menyatukan semua negara dari beragam latar belakang agar bersama-sama mengurangi beban penyakit jantung atau Cardio Vascular Disease (CVD) burden serta mendorong aksi internasional dengan menggitakan gerakan jantung sehat sedunia.

“Tema Use Heart to Connect ini harapannya masyarakat bisa menggunakan hati, rasa atau perasaan untuk saling terhubung, karena saat kondisi krisis perawatan kesehatan hari ini akibat pandemi Covid-19 mampu membuka mata kita semua untuk menemukan cara yang berbeda dan inovatif untuk saling peduli satu sama lain demi kesehatan jantung, terutama untuk daerah dengan sumber daya kurang memadai. Kehadiran telehealth memiliki peran besar dalam kondisi krisis hari ini,” paparnya.

Secara umum, tema peringatan hari jantung sedunia tahun 2021 menurut Prof. Budi Yuli juga mengandung pesan untuk mengajak masyarakat agar menggunakan pengetahuan serta kasih sayang, dan berperan untuk memastikan bahwa orang-orang yang disayangi atau masyarakat sekitar mampu menerima kesempatan terbaik untuk kesehatan jantungnya.

“Melalui peringatan hari jantung sedunia ini kita mampu menggunakan kekuatan digital untuk menghubungkan rasa perasaan dan memastikan atau mengajak lingkungan terdekat maupun masyarakat agar menjalankan pola hidup sehat. Seperti halnya menghindari rokok, alkohol, menjaga pola makan, rajin olah raga, cek darah rutin, mengelola stres dengan baik untuk mencegah kematian dini,” tegasnya.

 

Pandemi dan Kerentanan Jantung

Penyakit jantung yang paling berbahaya adalah serangan jantung atau sindrom koroner akut. Prof. Budi Yuli dalam hal ini menjelaskan bahwa serangan jantung menjadi sebuah kondisi medis yang mengancam jiwa karena mengingat bahwa jantung adalah organ untuk memompa darah ke seluruh tubuh, sehingga saat aliran darah ke jantung tersumbat dan mengakibatkan kerusakan otot jantung mampu mengganggu fungsi jantung bahkan sampai henti jantung.

Pertanyaan yang sering muncul kemudian adalah berapa lama orang setelah mendapatkan serangan jantung atau menderita penyakit jantung bisa kembali rutin bekerja? Prof. Budi Yuli menegaskan tergantung kondisi keparahan penderita saat mengalami serangan jantung.

Seperti halnya yang terjadi pada penderita penyakit jantung dengan infeksi Covid-19 tingkat keparahannya akan lebih berat dibandingkan dengan penderita serangan jantung tanpa adanya infeksi Covid-19. Dan kondisi ini bisa memberikan dampak kematian lebih tinggi.

Sedangkan untuk kembali kepada rutinitas harian Prof. Budi Yuli menjelaskan bahwa secara umum penderita penyakit jantung memerlukan waktu 2 minggu pertama, jika penyakit jantung bisa tertangani dengan baik. Aktivitas bisa dimulai dari aktifitas fisik ringan dan setelah mencapai 4 minggu, penderita penyakit jantung bisa kembali beraktifitas seperti sebelum terjadi serangan jantung.

“Yang jadi masalah itu kalau sudah terjadi serangan jantung berarti terjadi Cardio Vascular Disease, yang penting jangan sampai terulang (serangan lagi),” tegasnya.

 

Perhatian Utama

Prof. Budi Yuli menyebutkan beberapa langkah yang harus ditempuh agar seseorang terhindar dari CVD atau serangan jantung. Pertama, langkah pencegahan primer, yakni melalui upaya pencegahan seperti gaya hidup sehat yang telah disebutkan sebelumnya.

Kedua, pencegahan sekunder, yang dilakukan saat seseorang telah memiliki pengalaman terkena serangan jantung, maka harus melakukan tindakan pencegahan agar tidak terjadi serangan kembali. Adapun cara yang ditempuh adalah dengan memahami faktor risiko yang membuat seseorang mengalami serangan jantung dan mengendalikannya.

Seperti halnya mengontrol tekanan darah maksimal 130/80, dan untuk usia di atas 60 tahun tekanan darah maksimal 140/90. Selain itu, kontrol gula darah harus berada dalam rentang 130-200. Prof. Budi Yuli juga menambahkan untuk rerata gula darah 3 bulan (HbA1C) harus berada di bawah angka 6,5-7.

Kolesterol pun harus diturunkan sampai mencapai target. Hal ini tidak cukup hanya dengan meminum obat kolesterol tanpa melihat hasil atau evaluasinya. Adapun kadar kolesterol terutama yang diperhatikan adalah LDL yakni harus di bawah angka 100 mg/dl.

Langkah ketiga adalah rehabilitasi jantung, yakni saat seseorang sudah mengalami serangan jantung dan harus mendapatkan latihan fisik agar bisa kembali beraktifitas seperti sediakala.

Gejala serangan jantung disebut-sebut memiliki kekhasan nyeri dada. Lalu nyeri seperti apakah yang dimaksud? Saat dikonfirmasi mengenai hal tersebut, Prof. Budi Yuli menjelaskan bahwa manifestasi penyakit jantung koroner dibedakan menjadi 2 yakni stable dan unstable (sindrom koroner akut). Kedua manifestasi itu disebutnya memiliki nyeri dada akibat terjadi penyempitan pembuluh koroner yang mengaliri (mensuplai/ memasok) darah ke otot jantung.

Penyempitan yang mengganggu aliran koroner jantung disebut iskemia atau mismatch antara kebutuhan dan pemasokan hingga mengakibatkan sakit. Sakit akibat adanya penyempitan karena iskemia itu disebut Prof. Budi Yuli sebagai angina. “Hampir mungkin lebih dari 80% keluhan jantung koroner adalah angina, dengan keluhan nyeri dada spesifik,” tegasnya.

Ciri keluhan nyeri dada yang dimaksud bisa dilihat dari: pertama, lokasi, umumnya berada di belakang tulang atau dinding dada depan. Kedua, waktu kemunculan nyeri saat beraktifitas fisik atau psikis. Ketiga, peredanya adalah dengan istirahat. Adapun sifat nyeri yang harus diperhatikan adalah rasa dada seperti tertindih, akan meledak atau pecah, dan sesak seperti terhimpit.

“Kalau bisa kita jangan sampai terkena CVD, pencegahan lebih bagus. Namun jika terkena CVD jangan sampai penyakit ini memberikan dampak atau sisa di kemudian hari seperti payah (gagal) jantung karena akan menjadi beban tersendiri. Angka harapan hidup penderita gagal jantung selama 5 tahun itu kurang dari 40%, lebih buruk daripada kanker payudara. Oleh karenanya, jika ada keluhan jantung makin cepat diatasi makin bagus. Dalam penanganan penyakit jantung, faktor kecepatan sangat penting,” papar Prof. Budi Yuli.

Di penghujung wawancara, Prof. Budi Yuli mengungkapkan harapannya dalam peringatan hari jantung sedunia di era digital maupun pandemi saat ini. “Terdapat tiga pilar penanganan penyakit jantung yang harus dilihat yakni: use hearth to connect every heart (equity), use heart to connect with your hearth (prevention), dan use hearth to connect people with heart (community),” harapnya (Wiwin/IRO).