Penderita Kelainan Jantung Masih Tinggi

FK-UGM. Data penelitian pendahuluan terhadap 123 pasien baru dengan diagnosis Defek Septum Atrium (DSA) di poliklinik jantung RSUP Sardjito periode Juli 2012-Desember 2013 tergolong cukup tinggi.

DSA merupakan suatu kelainan jantung kongenital, dimana terdapat lubang pada dinding jantung yang memisahkan atrium kiri dan atrium kanan. Bahkan Sekitar 74 persen pasien diantaranya sudah mengalami Hipertensi Arteri Pulmonal (HAP) dengan angka 43,1 persen sudah mengalami HAP berat.

 Di negara Perancis diperkiraan insidensi Hipertensi Pulmonal (HP) sekitar 2,4 kasus per satu juta setiap tahun dan prevalensi 15 kasus per satu juta. Prevalensi global untuk kasus ini masih sulit untuk diperkirakan karena penegakan diagnosis sulit dan akses menuju pelayanan kesehatan terbatas di banyak negara.

Setidaknya data tersebut telah dipaparkan oleh staf Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler Fakultas Kedokteran UGM/RSUP Dr. Sardjito, dr. Lucia Kris Dinarti, SpPD., SpJP(K), Senin (27/2) saat mengikuti ujian terbuka Program Doktor di Auditorium Fakultas Kedokteran UGM.

Hipertensi pulmonal merupakan kondisi naiknya tekanan di dalam pembuluh arteri paru akibat terhambatnya aliran darah yang melalui paru. Kondisi ini jika tidak segera ditangani bisa mengakibatkan otot jantung bagian kanan melemah sehingga mengalami gagal fungsi. “Kurang lebih 15 persen kematian disebabkan karena keterlambatan penanganan kasus,” ungkap peraih gelar Doktor ke-3.505 UGM ini.

Penelitian yang dipromotori oleh Prof. Dr. dr. Abdus Samik Wahab, SpA (K)., Sp.JP (K) ini diharapkan bisa memberikan manfaat untuk mengetahui biomarker manakah yang paling berperan pada kejadian HAP berat dan sindroma Eisenmenger pada pasien Defek Sentrum Atrium (DSA) yang saat ini tidak dapat dilakukan koreksi penutupan baik dengan bedah maupun device sehingga dapat memberikan kontribusi pertimbangan terapi HAP yang paling tepat seuai dengan derajat HAP.

“Harapannya, dengan penelitian ini kita mampu meningkatkan skrining Penyakit Jantung Bawaan (PJB) pada usia dini secara nasional sehingga bisa dilakukan penanganan lebih awal dan kejadian HAP akibat keterlambatan deteksi PJB bisa dicegah atau minimal dikurangi,” pungkas Kris Dinarti.  (Wiwin/IRO)