One Health dan Pengendalian Resistensi Antimikroba

FK-UGM. Sekitar 350 peserta dari dari instansi Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Dinas Kesehatan baik Kabupaten maupun Provinsi, dokter, perawat, apoteker, Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan,
maupun dari kalangan mahasiswa Pascasarjana Kedokteran menghadiri kegiatan Annual Scientific Meeting (ASM) tahun 2017. ASM 2017 dengan tema Pencegahan dan Pengendalian Resistensi Antimikroba ini merupakan salah satu rangkaian Dies Natalis yang diselenggarakan dalam rangka menyambut 71 tahun Fakultas Kedokteran UGM, 5 tahun Rumah Sakit UGM dan 35 tahun RSUP DR. Sardjito.

Dekan Fakultas Kedokteran UGM, Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., PhD., SpOG(K) menegaskan bahwa sudah saatnya dunia kesehatan menggiatkan kegiatan one health, meliputi upaya kesehatan manusia, kesehatan hewan dan pangan, maupun kesehatan lingkungan. Ketiga komponen tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan. Bagaimana mewujudkannya? “Pertama, perlu peran masing-masing institusi untuk menterjemahkan global plan dari WHO. Kedua, mempersiapkan dokter dan perawat untuk mengembangan pengetahuan dan surveillance,” papar Prof. Ova saat membuka agenda kegiatan ASM, Sabtu (4/3) di gedung Auditorium Fakultas Kedokteran UGM.

Staf Ahli Menteri Bidang Teknologi Kesehatan dan Globalisasi, Kementrian Kesehatan RI, dr. Slamet, MHP dalam Keynote Speech-nya mengungkapkan bahwa implikasi penting dari adanya antibiotik adalah tidak selayaknya anak Indonesia yang kini telah menjadi middle income country meninggal karena penyakit-penyakit yang dapat dicegah dan diobati dengan obat di luar antibiotik. Mengapa mikroba menjadi resisten?. Staf ahli kementrian kesehatan tersebut memaparkan bahwa pertama, akibat penggunaan pengobatan manusia yang tidak tepat (tidak patuh untuk penggunaan antibiotik). Kedua, penggunaan antibiotik yang tidak tepat pada hewan. Sedangkan alasan yang ketiga, akibat pembuangan limbah antimikroba yang tidak tepat.

Pada tahun 2015-2019, Kementerian Kesehatan menekankan sebuah paradigma sehat yakni memusatkan pada upaya preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif secara terstruktur, sistematis dan masif. Untuk mewujudkannya tentu tidak cukup dengan upaya kuratif saja, akan tetapi perlu peran serta sektor yang lain. “Sektor kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan memiliki tanggung jawab bersama untuk mengatasi resistensi anti mikroba,”tegasnya.

Pembahasan mengenai kebijakan pengawasan peredaran antimikroba d Indonesia, tantangan yang tengah dihadapi dalam kasus resistensi antimikrobial dalam perspektif global dan regional serta informasi teraktual keberadaan kita dalam dunia antimikrobial yang disampaikan oleh Prof. dr. Hari Kusnanto Josep, SU, Dr.PH pada sesi pertama sukses menggiring anstusiasme para audience. Sesi ini menghadirkan 3 pembicara ahli yakni Dr. Ir. Penny Kusumastuti Lukito, MCP., Dr. Budiono Santoso, SpFK, PhD dan Prof. dr. Iwan Dwiprahasto, M.Med.Sc, PhD. Antusiasme peserta dibuktikan dengan adanya diskusi yang cukup hangat dari beberapa peserta yang bertanya pada sesi diskusi baik dari peserta internal maupun peserta webinar dari Jepang.

Materi pada sesi kedua disajikan oleh Prof. Dr. Kuntaman, dr. MS, SpMK(K), kemudian dilanjutkan dari pihak BPJS Kesehatan yang mengangkat isu mengenai pengaturan obat antimikroba dalam formulatorium nasional untuk pencegahan dan pengendalian resistensi antimikroba dengan moderator Dr. Tri Wibawa, PhD, SpMK. Staf ahli dari Fakultas Farmasi UGM, Prof. Dr. Zullies Ikawati, Apt juga hadir untuk menyempurnakan pembahasan mengenai peran farmasis dalam pencegahan dan pengendalian resistensi antimikroba.

Dr. Purnamawati, SpA(K) dari Yayasan Orang Tua Peduli menutup sesi ini dengan bahasan mengenai perilaku dan perlindungan konsumen dalam penggunaan antimikroba di masyarakat. Pembahasan dalam sesi ini menekankan bahwa masyarakat harus secara bijak dan selektif menggunakan antimikroba untuk menghindari adanya resistensi dan perpanjangan masa perawatan akibat penyakit-penyakit yang sifatnya self limiting disease karena kacamata ekonomi, kasus resistensi antimikroba di Indonesia menimbulkan kerugian hingga 36 triliyun/tahun.

Berbeda dengan pemaparan dua sesi sebelumnya. Pada sesi ketiga ini, Dr. Budiono Santoso, SpFK, PhD memimpin diskusi panel dengan topik Peran Pemangku Kepentingan dalam Pencegahan dan Pengendalian Resistensi Antimikroba dan Upaya Tindak Lanjut. Empat orang panelis dalam sesi ini terdiri dari staf Ikatan Dinas Kesehatan seluruh Indonesia, Dr. Yulianto Prabowo, M.Kes ; Tenaga Kesehatan Dokter, Dr. Dr. FX. Wikan Indarto, SpA., Tenaga Kesehatan Perawat, Dr. Ibrahim Rakhmat, S.Kp, M.Kes ; staf Ikatan Apoteker Indonesia Yogyakarta, Yulianto, S.Farm, MPH, Apt dan perwakilan praktisi kesehatan dan keilmuan di lingkungan Fakultas Kedokteran UGM, Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., PhD, SpOG(K).

Diskusi panel sesi ketiga lebih menekankan pada poin pentingnya peran berbagai stakeholder yang terlibat dalam penggunaan antimikroba agar penggunaannya di masyarakat dapat semakin terawasi dan bijaksana.  Harapannya, praktisi kesehatan tidak lagi meresepkan antibiotik secara bebas hanya dengan pemeriksaan anamnesis terhadap pasien. Begitu pula dengan para apoteker yang harus dapat lebih tegas menghindari penjualan antimikroba kepada masyarakat luas. Dengan upaya yang menyeluruh dari semua pihak inilah diharapkan regulasi mengenai penggunaan antimikroba bisa benar-benar dijalankan untuk mencegah terjadinya kasus resistensi dan kematian akibat penggunaan yang berkepanjangan. (Fitria/Reporter; Wiwin/IRO)