FK-KMK UGM. Sudah 76 tahun merdeka, Indonesia masih menghadapi berbagai permasalahan gizi, termasuk anemia dan stunting hingga sekarang.
Dari beragam upaya yang telah dilakukan, belum semua intervensi anemia dan stunting mampu memberikan dampak positif yang signifikan. Bersama anemia, stunting menjadi permasalahan prioritas yang perlu diselesaikan sesegera mungkin demi menyambut Indonesia Emas 2045.
Kompleksitas permasalahan dalam penanggulangan gizi anemia dan stunting memerlukan kolaborasi dari berbagai pihak. Tidak hanya melibatkan satu institusi atau satu jenis intervensi, upaya ini memerlukan komitmen seluruh multisektor. Mulai dari pemerintah pusat dan daerah, lembaga non pemerintah, tenaga kesehatan, peneliti, akademisi, sektor swasta, komunitas hingga setiap individu di masyarakat.
Merespon permasalahan tersebut, Pusat Kesehatan dan Gizi Manusia (PKGM), Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK) UGM menginisiasi pembentukan Indonesia Nutrition University Network (NATURE), dengan menggandeng kerjasama dengan Perguruan Tinggi dan lembaga akademik lain di Indonesia, November 2021 lalu. Jejaring Lembaga akademik ini memiliki komitmen bersama untuk membantu penurunan masalah anemia dan stunting di Indonesia.
Kegiatan pembentukan jejaring ini melibatkan perwakilan 27 lembaga akademik yang terdiri perwakilan 25 perguruan tinggi yang berasal dari 21 provinsi di Indonesia, dan 2 di antaranya berasal dari perwakilan Lembaga Eijkman, dan perwakilan Tim Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (Stunting). Kegiatan yang dimulai sejak Juli-November 2021 ini terdiri dari tiga fase yakni: sosialisasi, diskusi, dan pembentukan kesepakatan.
Pada fase pertama, diperoleh beberapa rekomendasi terkait stunting dan anemia di Indonesia. Khusus untuk kasus stunting, Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS dari Institut Pertanian Bogor merekomendasikan bahwa pencegahan stunting sebaiknya berfokus mulai dari calon pengantin hingga anak lahir berusia 2 tahun sesuai keunikan tumbuh kembang masing-masing.
“Tidak cukup hanya 1.000 hari pertama kehidupan karena calon orangtua harus diberi bekal mengenai optimalisasi gizi keluarga sejak akan menikah. Rekomendasi kedua, perlu penguatan kebijakan penurunan angka stunting. Kebijakan yang sudah ada saat ini sudah baik, namun lemah dalam upaya konvergensi terutama tatanan kabupaten/kota sampai desa dan RW,” paparnya.
Sedangkan untuk kasus anemia, Prof. Mohammad Juffrie, M.Med, Ph.D, Sp.A(K) (UGM); Prof. Indrawati Liputo, MD, Ph.D, Sp.GK (UNAND); dr.M.Med Agussalim Bukhari, Ph.D, Sp.GK(K) (UNHAS); Idrus Jus’at, Ph.D (UEU); drh. Safarina G Malik, MS., Ph.D (Lembaga Eijkman) memaparkan berbagai hasil kajian mengenai anemia gizi dan non gizi di Indonesia. Menurut mereka, anemia tidak hanya disebabkan oleh kekurangan zat besi saja, namun penyakit infeksi seperti malaria, tuberkulosis, hingga genetik dapat menjadi penyebabnya. Sama seperti stunting, program penanganan anemia tidak bisa disamaratakan, dan perlu melihat hal utama yang menjadi penyebab kasus anemia di setiap daerah.
Rekomendasi lain juga datang dari Dokter Spesialis Gizi Klinik dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dr. Widjaja Lukito, Ph.D, Sp.GK. Ia menjelaskan pentingnya pendekatan ekonutrisi, yaitu menilik bagaimana lingkungan, kesehatan, dan status gizi saling berhubungan. Beliau juga kembali menekankan pentingnya kolaborasi dalam penanganan anemia dan stunting.
Pada sesi sosialisasi pakar di fase kegiatan kedua yang diadakan 8 September 2021, membahas rekomendasi bahwa untuk penuntasan masalah anemia gizi, anemia non-gizi, dan stunting perlu melibatkan semua pihak. Rujukan berjenjang perlu dilakukan baik pada tingkat komunitas melalui posyandu, puskesmas maupun rumah sakit dengan inovasi berbasis potensi lokal hingga pemberian PKMK (Pangan Olahan untuk Keperluan Medis Khusus).
Prof. Dr. Ali Agus dari UGM juga menceritakan pengalamannya dalam melakukan kolaborasi antara Fakultas Peternakan dan FK-KMK UGM dan Dinas Kesehatan Kab Sleman dalam kegiatan “Penggunaan Telur Fungsional dalam Program Pecah Ranting (Pencegahan Rawan Stunting) di Kabupaten Sleman”. Dalam penelitian itu, ia membuat kegiatan terintegrasi antara pangan – kesehatan – kesejahteraan masyarakat. Telur dipilih karena kandungan gizinya yang lengkap, terjangkau, relatif diterima masyarakat dan bisa dikonsumsi harian.
Di sisi lain, Dr. dr Vivien Novarina Kasim, MKes dari Universitas Negeri Gorontalo menceritakan penelitiannya di daerah terpencil di Kabupaten Boalemo, Gorontalo dan menemukan bahwa riwayat ASI eksklusif, pendapatan keluarga, dan sanitasi lingkungan berhubungan signifikan dengan kejadian stunting di wilayah tersebut. Faktor ekonomi dan kesadaran masyarakat mengenai kesehatan dan kebersihan yang rendah merupakan masalah utama program penurunan stunting. Oleh karena itu, perlu intervensi holistik dan kolaboratif untuk meningkatkan keberhasilan program.
Kegiatan tahap ketiga yang dilakukan pada 12-13 November 2021 merupakan pengerucutan komitmen seluruh peserta untuk bersama-sama bergabung dalam jejaring lembaga akademik dan membantu penuntasan masalah anemia gizi, anemia non-gizi, dan stunting di Indonesia dengan mengambil nama NATURE – Indonesia Nutrition University Network.
Pada tingkat nasional, perwakilan BKKBN sebagai kepala komando penurunan stunting di Indonesia menyatakan bahwa pelibatan perguruan tinggi untuk penurunan stunting telah mulai digencarkan. Perguruan tinggi dengan Tri Dharma memiliki posisi yang strategis sebagai mitra pendamping pemerintah maupun lembaga lain untuk mengatasi permasalahan gizi di Indonesia. Sehingga, kehadiran NATURE disambut sebagai suatu hal yang baik.
Harapannya, kehadiran NATURE mampu berperan untuk memperkuat kapasitas anggota baik sebagai akademisi, peneliti, dan pendamping bagi daerah untuk melaksanakan kegiatan pendidikan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, dan pendampingan dalam upaya menurunkan kejadian masalah gizi di Indonesia, secara khusus anemia dan stunting, selaras dengan tujuan pembangunan yang telah dicanangkan oleh pemerintah.