Mutasi D614G Virus SARS-CoV2: Tetap Terapkan Protokol Kesehatan

FK-KMK UGM. Pokja Genetik Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM dan tim telah berhasil mengidentifikasi Whole Genome Sequencing (WGS) empat isolat dari Yogyakarta dan Jawa Tengah, dan telah dipublikasikan di Global Initiative on Sharing All Influenza Data (GISAID), tiga di antaranya mengandung mutasi D614G dari virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan COVID-19.

“Saat ini, mutasi D614G pada virus SARS-CoV-2 yang mempunyai daya infeksius 10x lebih tinggi telah tersebar hampir di seluruh pelosok dunia, yaitu 77.5% dari total 92.090 isolat mengandung mutasi D614G. Sedangkan, di Indonesia sendiri sudah dilaporkan sebanyak 9 dari 24 isolat yang dipublikasi di GISAID mengandung mutasi D614G. Sepertiganya terdeteksi di Yogyakarta dan Jawa Tengah,” ungkap Ketua Pokja Genetik FK-KMK UGM, dr. Gunadi, SpBA., PhD.

“Hal ini merupakan suatu upaya yang luar biasa bahwa identifikasi WGS ini sangat penting terutama dalam menyikapi suatu penyakit yang memang kita belum banyak mengerti. Tentunya ini berguna untuk melihat bagaimana penyebarannya dan apakah mutasinya lebih ganas, sehingga akan berkaitan dengan upaya-upaya ke depan untuk pengembangan vaksin dan terapi. Apa yang telah dilakukan oleh tim ini menjadi suatu modal dasar untuk pengembangan vaksin dan terapi ke depannya”, ungkap Dekan FK-KMK UGM, Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., SpOG(K)., Ph.D., saat jumpa pers Rabu (2/9) di ruang Fortakgama UGM.

Pada kesempatan yang sama, dr. Gunadi juga menyampaikan bahwa mutasi D614G ini paling bisa beradaptasi dengan sistem imum host-nya yaitu manusia dan seperti bersembunyi dari sistem imun manusia. Akan tetapi hasil penemuan ini belum dapat menggambarkan penyebab persebaran kasus COVID-19 di DIY yang begitu tinggi, “Bisa jadi iya, bisa jadi tidak, tetapi tidak bisa disimpulkan karena masih hanya empat isolat”.

Kepala Laboratorium Diagnostik COVID-19 FK-KMK UGM, dr. Titik Nuryastuti, M.Si., Ph.D., Sp.MK(K), yang juga hadir dalam jumpa pers, mendukung pernyataan dr. Gunadi bahwa hal tersebut belum dapat disimpulkan. Beliau juga mengungkapkan, walaupun memang kenyataannya disampaikan bahwa virus ini lebih infeksius tetapi juga banyak teori mengatakan bahwa keterkaitan klaim ini dengan keparahan pada pasien belum ada buktinya. “Kita tidak perlu berasumsi terlalu jauh untuk mengaitkan ini dengan keparahan atau klinis dari pasien, tetapi memang harus diwaspadai bahwa transmisi dari mutasi ini lebih tinggi.”

Dengan fakta terdeteksinya virus SARS-CoV-2 dengan mutasi D614G di Indonesia tersebut, masyarakat dihimbau untuk tidak panik dan sudah seharusnya semua pihak lebih disiplin untuk menerapkan protokol kesehatan, seperti cuci tangan, menggunakan masker, hindari kerumunan, dan lain sebagainya. “Apa yang dihimbau oleh pemerintah dengan melakukan cuci tangan, menggunakan masker, menjaga jarak, itu adalah yang paling baik. Kita semua harus mawas diri dan yang paling penting mengubah cara hidup kita sehari-hari dengan adaptasi kebiasaan baru”, tegas Prof. Ova.

Sampai hari ini, jumlah populasi yang terinfeksi COVID-19 di seluruh dunia sebesar 26.177.535 kasus dengan angka kematian sebesar 867.347 kasus. Di Indonesia sendiri, sejak diumumkannya pasien pertama COVID-19 pada bulan Maret 2020, per tanggal 3 September 2020 terdapat 180.646 kasus COVID-19 (urutan 23 terbanyak di dunia) dengan 7.616 pasien meninggal. Namun, sayangnya data WGS SARS-CoV-2 dari Indonesia yang dipublikasi di GISAID sangat minimal yaitu 24 full-genomes dibandingkan 92.090 full-genomes dari seluruh dunia (1 September 2020). Padahal, data WGS sangat penting untuk mengetahui epidemiologi (persebaran) virus termasuk jenis mutasi (clade) nya di masyarakat, hubungannya dengan derajat keparahan pasien COVID-19, pengembangan vaksin dan/atau terapi COVID-19 di masa yang akan datang, khususnya di Indonesia. Sehingga, data WGS dari isolat Indonesia merupakan suatu keharusan dan bentuk kemandirian jati diri bangsa Indonesia. (Wiwin & Vania Elysia/Reporter)

Berita Terbaru