FK-KMK UGM. Pusat Kedokteran Tropis (PKT) UGM menyelenggarakan “TropmedAsk” yang merupakan media untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan maupun komentar mengenai riset di bawah PKT UGM yang paling sering ditemukan di media sosial. Kali ini “TropmedAsk” mengangkat topik mengenai teknologi Wolbachia dengan menghadirkan peneliti yang terlibat dalam riset nyamuk ber-Wolbachia. “TropmedAsk” dapat disaksikan pula melalui Kanal Youtube “Center for Tropical Medicine.”
TROPMEDask episode 1 mengundang dr. Riris Andono Ahmad, MPH., PhD. sebagai salah satu peneliti dari riset nyamuk ber-Wolbachia di PKT UGM. Salah satu komentar yang direspon adalah tentang masih ditemukannya kasus DBD di wilayah pelepasan di Yogyakarta meski telah dilakukan pelepasan nyamuk ber-Wolbachia. Menanggapi hal tersebut, dr. Donnie, panggilan akrabnya, menyampaikan bahwa teknologi Wolbachia tidak menyebabkan DBD akan hilang sama sekali, terutama di wilayah dengan mobilitas yang tinggi. Bisa jadi penderita DBD tersebut tertular DBD dari wilayah lain yang tidak dilepasi nyamuk ber-Wolbachia.
Lebih lanjut beliau menyampaikan bahwa Wolbachia akan mengurangi potensi penularan lokal DBD di wilayah yang telah dilepasi nyamuk ber-Wolbachia.Hasil 11 tahun penelitian nyamuk ber-Wolbachia menunjukkan bahwa metode ini terbukti efektif mengurangi 77% kasus dengue dan menurunkan 86% insidensi perawatan di rumah sakit karena dengue.
Menjawab pertanyaan netizen selanjutnya adalah yang memiliki kekhawatiran Indonesia akan berakhir seperti Srilanka yang kasus DBDnya melonjak hingga 300% tiga tahun setelah menerapkan teknologi Wolbachia. Ini menjadi alasan yang sama mengapa Singapura sebatas menguji di laboratorium namun tidak dilepas. Dr. Donnie menanggapi kekhawatiran netizen ini dengan mengutip informasi dari website https://www.worldmosquitoprogram.org/ bahwa di Srilanka, Wolbachia baru dilepas di wilayah dengan luas 20 km persegi. Luasan tersebut tentu tidak sebanding dengan kejadian DBD di seluruh Srilanka.
Terkait pelepasan Wolbachia di Singapura, dr. Donnie menjawab bahwa Singapura menggunakan strategi pelepasan yang berbeda dengan Yogyakarta, yaitu dengan melepas nyamuk jantan ber-Wolbachia. Strategi ini bertujuan untuk menurunkan populasi nyamuk karena jika jantan ber-Wolbachia kawin dengan betina tanpa Wolbachia, telur-telur yang dihasilkan tidak akan menetas. Strategi ini tidak memanfaatkan kemampuan Wolbachia dalam memblok virus dengue karena hanya nyamuk betina lah yang menularkan virus dengue, penyebab DBD.
Di episode TROPMEDask ke-2, PKT mengundang Warsito Tantowijoyo Ph.D. Beliau adalah entomolog (ahli serangga) yang sejak awal mengawal penelitian nyamuk ber-Wolbachia. Di awal beliau menyampaikan perihal keamanan Wolbachia, yaitu bakteri ini merupakan bakteri alami yang terdapat di sebagian besar serangga di sekitar kita. Sebetulnya manusia telah lama sekali berinteraksi dengan bakteri ini karena ia dapat ditemukan di serangga-serangga yang mudah ditemukan seperti semut, capung, kupu-kupu, dan lain-lain.
Warsito kemudian menjelaskan jenis Wolbachia pun sangat banyak. Sedangkan jenis yang digunakan oleh WMP Yogyakarta adalah Wmel (Wolbachia melanogaster), yaitu jenis Wolbachia yang diambil dari lalat buah. “Ini kan serangga yang sangat mudah ditemukan,” lanjut Warsito. Warsito menekankan bahwa teknologi Wolbachia ini benar-benar aman karena menggunakan bakteri yang dekat dengan manusia. Begitu dekatnya, tidak menutup kemungkinan bakteri tersebut tidak sengaja masuk ke tubuh manusia melalui buah yang dikonsumsi. Namun itu pun tidak masalah karena Wolbachia hanya bisa hidup di sel serangga.
Melengkapi penjelasannya, Warsito menjelaskan bahwa dirinya dan peneliti lainnya merupakan relawan yang ikut memberi makan nyamuk dengan cara membiarkan tangan atau kakinya digigit oleh nyamuk ber-Wolbachia. Namun, terbukti bahwa tidak ditemukan bakteri Wolbachia di dalam tubuh para relawan. Tak hanya itu, riset nyamuk ber-Wolbachia ini pernah melakukan studi dengan mengambil sampel darah warga yang tinggal di wilayah pelepasan untuk memeriksa apakah ada bakteri Wolbachia di dalam tubuh mereka. Kembali lagi, terbukti bahwa tidak ditemukan bakteri Wolbachia di dalam tubuh mereka.
Hal lain yang ditanggapi oleh Warsito adalah isu mengenai nyamuk ber-Wolbachia merupakan hasil rekayasa genetika. Dengan tegas Warsito mengatakan bahwa nyamuk ber-Wolbachia yang digunakan yang digunakan pada riset nyamuk ber-Wolbachia bukan merupakan hasil rekayasa genetika. Tidak ada manipulasi genetika, hanya memasukkan bakteri Wolbachia ke nyamuk Ae. aegypti. Kepastian tidak adanya rekayasa genetika ini pun sudah terbukti. Ia memiliki dokumen-dokumennya secara lengkap karena manajemen data dan dokumentasi menjadi salah satu hal yang mendapat perhatian khusus dalam penelitian WMP Yogyakarta.
Adanya kegiatan “TropmedAsk” dengan topik nyamuk Wolbachia ini selaras dengan tujuan tercapainya pembangunan berkelanjutan/SDGs poin ke-3, kehidupan sehat dan sejahtera. (Kontributor: PKT UGM. Editor: Tiara Kurniasari)