Menyelami Diri, Melayani Negeri: Jejak Humanis Anashatierra di Dunia Pramuka dan Kedokteran

Di sebuah sore yang teduh di Yogyakarta, di antara tumpukan buku kedokteran dan jadwal koas yang padat, ada satu sosok muda yang senyumnya tetap hangat menyambut siapa pun yang datang. Anashatierra Maritzaiva—mahasiswa profesi Kedokteran FK-KMK UGM yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Kerja Daerah (DKD) Pramuka DIY. Di balik namanya yang unik, tersimpan cerita perjalanan yang tak kalah menarik: sebuah kisah tentang keberanian, ketekunan, dan cinta pada pengabdian.

Jejak yang Tak Dipaksa, Tapi Dihidupi

Lahir dari orang tua yang aktif dalam kegiatan Pramuka semasa sekolah, Nasha—begitu ia akrab disapa— tidak serta merta diarahkan untuk mengikuti jejak yang sama. Tak ada paksaan, hanya lingkungan yang menanamkan nilai. Justru, keraguan pernah menyelimutinya saat ingin bergabung Pramuka di SMP. “Takut gak diterima karena ngerasa belum cukup ilmunya,” kenangnya. Namun rasa penasaran itu terus tumbuh, hingga akhirnya ia memberanikan diri bergabung saat SMA.

Kelas 10 menjadi titik awal Nasha menapaki jalan kepramukaan secara serius. Dari kegiatan sekolah, ia menanjak ke tingkat kota/kabupaten, dan akhirnya ke tingkat provinsi sebagai anggota Dewan Kerja Daerah (DKD) DIY. Tak butuh waktu lama, dalam enam bulan ia dipercaya menjabat sebagai bendahara. Dari situlah semuanya berkembang.

Saat rekan-rekan seangkatannya sibuk mempersiapkan SBMPTN, Nasha berada dalam pusaran dilema antara ambisi akademik dan dedikasi organisasi. Namun semesta seolah menjawab kegigihannya: diterima di Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK) UGM — pilihan utama dan sekaligus harapan agar bisa tetap aktif di DKD DIY. Janjinya untuk tetap melanjutkan pengabdian ia penuhi. Tak hanya itu, ia bahkan dipercaya menjadi Ketua DKD termuda se-Indonesia untuk masa bakti 2020–2025.

Membumikan Kembali Pramuka

Menjadi pemimpin di usia belia bukan tanpa tantangan. Saat resmi menjabat sebagai Ketua DKD DIY, Nasha dan timnya menghadapi tantangan berat: menghidupkan kembali kegiatan kepramukaan yang vakum selama satu dekade. Ia menginisiasi kursus pengelolaan Dewan Kerja sebagai fondasi penguatan organisasi. Tahun berikutnya, ia dan tim sukses menggelar PERAN SAKA (Perkemahan Antar Satuan Karya Pramuka) DIY 2023, perkemahan akbar yang melibatkan 14 instansi dan lebih dari 400 peserta. Kegiatan itu dibuka oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X dan ditutup oleh Wakapolda DIY.

Kesuksesan itu menjadi bahan bakar untuk menggelar Pesta Raimuna DIY 2024, yang menghimpun lebih dari 750 personil. Saat ini, di akhir masa jabatannya, Nasha tengah menyiapkan Perkemahan Wirakarya Daerah 2025, sebuah kegiatan kolaboratif antara pramuka dan masyarakat.

“Yang bikin haru bukan hanya kegiatannya. Tapi karena tim saya masih utuh sampai sekarang—17 orang dari berbagai latar belakang usia, semuanya masih aktif. Itu prestasi paling berkesan,” ucapnya dengan mata berbinar.

Koas, Klinik, dan Kompas Kepemimpinan

Di balik semua itu, Nasha tetap seorang mahasiswa kedokteran yang hari-harinya diisi dengan kuliah, koas di rumah sakit, dan berjibaku dengan tugas-tugas akademik. Bagaimana ia menyeimbangkannya?

“Dukungan lingkungan itu kunci,” katanya. Orang tua, sahabat, dan rekan organisasi menjadi penopang saat tugas akademik dan organisasi saling berkejaran. Selain itu, Nasha menekankan pentingnya mengenali diri, mengukur batas, dan membuat skala prioritas. Ia percaya bahwa tidak semua hal harus sempurna — cukup dilakukan semaksimal mungkin dengan cara yang sehat.

Bagi Nasha, dunia Pramuka dan dunia kedokteran bukanlah dua dunia terpisah. “Justru saling mengisi,” ungkapnya. Pengalaman memimpin, membangun relasi, dan memahami karakter orang telah menjadi bekalnya dalam menghadapi dunia klinik sebagai seorang koas.

Dari berkomunikasi dengan pasien lintas latar belakang, memahami etika sopan santun lokal, hingga menjalin hubungan profesional dengan konsulen dan perawat—semua ditopang oleh kecakapan yang ia tempa di organisasi. “Sopan santun dan empati itu bukan diajarkan di kelas. Tapi saya belajar banyak dari masyarakat lewat Pramuka,” ucapnya lugas.

Menjadi Pemimpin yang Membumi

Bagi Nasha, kepemimpinan adalah soal pendelegasian dan konsistensi. Ia menolak pendekatan ‘one man show’ yang sering menjebak para pemimpin muda. “Kalau semua mau dikerjakan sendiri, akhirnya jenuh dan burnout. Delegasikan, percaya tim,” katanya.

Konsistensi adalah tantangan terbesarnya. Terkadang, jadwal kuliah bentrok dengan agenda rapat birokrasi. Tapi Nasha tetap berpegang teguh pada tujuannya: menjadi dokter yang tidak hanya kompeten, tapi juga berjiwa mengabdi.

Menjadi Cahaya bagi Sesama

Nasha tak hanya memikirkan masa kini. Ia punya rencana jangka panjang: tetap aktif sebagai anggota dewasa Pramuka, mungkin sebagai pelatih atau konsultan. Di jalur karir, ia bercita-cita menjadi dokter klinis dengan spesialisasi yang masih dieksplorasi. Yang jelas, apa pun jalurnya, ia ingin memberi dampak sebesar mungkin bagi masyarakat.

Pesannya kepada mahasiswa kedokteran pun sederhana tapi dalam: “Carilah ilmu di luar akademik. Soft skill, ilmu bermasyarakat, semua itu akan menambah nilai dan membentuk kita menjadi tenaga kesehatan yang utuh. Jangan hanya fokus pada IPK. Carilah pengalaman, bangun soft‑skills, dan belajar dari orang-orang di sekitar. Itu yang bikin kita bertumbuh sebagai manusia.”

Anashatierra Maritzaiva bukan hanya nama dalam daftar ketua organisasi. Ia adalah contoh nyata bahwa perempuan muda bisa bersinar di mana pun ia berdiri—di lapangan, di kelas, maupun di ruang praktik klinis. Ia membuktikan bahwa keberanian mengambil langkah pertama, diikuti konsistensi, adalah kunci menuju perubahan yang berarti. Sebab dalam setiap langkahnya, Nasha tak hanya belajar menjadi pemimpin—ia sedang belajar menjadi manusia yang utuh. (Penulis: Paramita Sari)