Menjembatani Ilmu dan Pengabdian: Kisah para Dokter Obsgyn FK-KMK UGM Mengabdi di Daerah 3T

Indonesia masih mempunyai permasalahan besar dalam melaksanakan pemerataan akses layanan kesehatan. Daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) merupakan wilayah yang harus mendapat perhatian lebih besar. Di ujung Nusantara, masih ada ibu hamil yang harus menempuh perjalanan berjam-jam untuk mendapatkan pertolongan persalinan yang layak. Angka kematian ibu dan bayi pun masih tinggi, karena kurangnya tenaga medis terampil dan fasilitas memadai. 

Bagi masyarakat di daerah 3T, kelahiran seorang anak bisa menjadi peristiwa penuh risiko, bukan karena komplikasi medis semata, tetapi karena ketiadaan dokter spesialis, peralatan dasar, atau bahkan sekadar akses menuju rumah sakit. Berbagai risiko yang dihadapi ini harus dapat ditangani dengan baik, sehingga memaknai Sila kelima Pancasila, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” penerapannya benar-benar dirasakan seluruh lapisan masyarakat Indonesia di penjuru negeri.

Universitas Gadjah Mada yang memiliki jati diri sebagai Universitas Nasional, Universitas Perjuangan, Universitas Pancasila, Universitas Kerakyatan, Universitas Pusat Kebudayaan terdorong untuk melakukan kegiatan Tridharma Perguruan Tinggi, salah satunya dengan mengirimkan residen spesialis obstetri dan ginekologi (SpOG) ke berbagai daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) di Indonesia.

Latar Belakang Program Pengabdian Residen Obstetri dan Ginekologi

Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Obstetri dan Ginekologi, FK-KMK UGM secara konsisten mengirimkan residen ke daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) di Indonesia. Program pengabdian residen SpOG FK-KMK UGM ini sudah berjalan lebih dari 15 tahun dengan melibatkan sekitar 150 hingga 200 residen yang ditempatkan di daerah-daerah terpencil dan membutuhkan. Kegiatan ini terabadikan dalam sebuah talkshow dengan tema “Dari Kampus Untuk Negeri: Menjembatani Ilmu dan Pengabdian Residen Obstetri dan Ginekologi untuk Nusantara” yang dilaksanakan pada Jumat, 25 Juli 2025 di Auditorium Lantai 1, Gedung Pascasarjana Tahir Foundation. 

Menurut Dr. dr. Ardhanu Kusumanto, Sp.O.G. Subsp. Onk, Ketua Departemen Obstetri dan Ginekologi FKKMK UGM, pengiriman residen senior ke daerah-daerah yang kekurangan spesialis telah menjadi bagian dari amanah fakultas dan universitas untuk memastikan pemerataan tenaga medis di seluruh Nusantara. Alumni program ini tersebar dari Sabang hingga Merauke, membuktikan dampak luas dan keberlanjutan program tersebut.

“Biasanya, kami melayani permintaan dari daerah-daerah atau rumah sakit yang belum mempunyai dokter spesialis Obsgin, lalu kita mengirimkan residen tersebut. Selain itu, kami biasanya ‘babat alas’, melihat dan mengidentifikasi rumah sakit setempat seperti apa kondisinya. Kemudian merencanakan membuat skenario pelayanan obsgin di rumah sakit tersebut. Termasuk penyiapan alat, ataupun memberikan saran-saran masukan,” terang dr. Ardhanu.

Senada dengan yang disampaikan oleh dr. Ardhanu dalam sambutan. Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, dr. Ahmad Hamim Sadewa, Ph.D menambahkan bahwa program pengiriman residen bukan sekadar proyek sementara, melainkan sebuah komitmen jangka panjang yang konsisten dijalankan tanpa tergantung pada dinamika politik atau ekonomi.

“Pengabdian residen Obsgin ini benar-benar babat alas. Apa yang dilakukan oleh para residen di tahun ini, kontribusi itu tersebut akan dirasakan 10 tahun yang akan datang, bahkan bisa lebih. Meski banyak tantangan yang dihadapi, tetapi mereka sepenuh hati mengabdi untuk negeri.”

Pada kegiatan talkshow ini, perwakilan residen menuturkan pengalamannya dalam memberikan pelayanan kesehatan ibu dan anak di pelosok negeri. Empat residen yang menjadi narasumber memaparkan pengalaman ketika mengabdi selama enam bulan di daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal). Mereka adalah dr. Meydita Fauzia Putri Insani, Sp.OG; dr. Ratri Wulandari, M.Sc., Ph.D., Sp.OG; dr. Hindun Wildani Wahab, serta dr. Maria Lisbeth Howay.

Pengabdian di Pulau Lingga, Provinsi Kepulauan Riau

dr. Meydita Fauzia Putri Insani, Sp.OG membagikan pengalamannya selama tiga bulan bertugas di RSUD Encik Maryam, Daik Lingga, Pulau Lingga, Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia. Rumah sakit tersebut tipe D dengan fasilitas terbatas, termasuk ketiadaan dokter spesialis obstetri dan ginekologi tetap. Ia dan tim residen memberikan pelayanan klinis mulai dari poli rawat jalan, operasi, hingga kamar bersalin. Salah satu tantangan utama adalah keterbatasan fasilitas seperti bank darah dan alat bantu nafas untuk bayi prematur.

“Di sana memang tidak ada dokter Obsgin yang menetap. Semuanya dilakukan oleh dokter-dokter residen juga. Pelayanan poli rawat jalan bisa kami lakukan, untuk tindakan operasi juga kami lakukan. Di sana sebenarnya sudah ada perinatology-nya tapi memang untuk seperti alat-alat bantu nafas belum ada, terutama bayi terlalu kecil, sehingga harus dirujuk untuk penanganan selanjutnya, ini kesulitan kami.”

Selain pelayanan medis, dr. Meydita juga melakukan penyuluhan kepada bidan-bidan di pulau-pulau sekitar untuk meningkatkan kemampuan tatalaksana kegawatdaruratan maternal sebelum pasien dirujuk ke rumah sakit. Upaya ini penting mengingat akses ke rumah sakit harus ditempuh dengan kapal selama berjam-jam, sehingga tindakan awal sangat menentukan keselamatan pasien.

“Saya mengidentifikasi akses ke rumah sakit pada saat penyuluhan, karena akses menggunakan kapal sehingga dibutuhkan tatalaksana kegawatdaruratan. Sehingga saya melakukan penyuluhan ke bidan yang ada di pulau sekitar agar dapat melakukan tindakan awal sebelum merujuk ke rumah sakit, sehingga pasien saat sampai di rumah sakit tidak terlambat,” tambah dr. Meydita.

Tantangan Pelayanan Kesehatan di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur

Cerita lain datang dari Dayaku Raja, Kota Bangun, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, dr. Ratri Wulandari, M.Sc., Ph.D., Sp.OG mengabdi di daerah tersebut atas inisiasi skema kerja sama Sistem Kesehatan Akademik (AHS) UGM dengan RSUD Dayaku Raja. “Kegiatan selama di sana, tentu sama dengan wilayah lain, residen melakukan pelayan klinis, baik poliklinik, operasi, maupun dari kamar bersalin. Kemudian kalau di tempat saya itu sudah ada SpOG tapi paruh waktu, jadi hanya mulai Senin sampai Rabu. Biasanya Rabu siang sudah tidak ada, sehingga layanan yang lain dikerjakan oleh kami.”

Di wilayah Kutai Kartanegara, dr. Ratri menjelaskan cakupan wilayah yang luas, pasien seringkali datang setelah menempuh perjalanan lebih dari 5 jam, sehingga menjadi tantangan tersendiri. “Tantangan yang saya hadapi itu karena jangkauan residen itu luas, kalau menerima pasien dari luar itu deg degan dengan kasus pasien. Dokter spesialis terbatas, spesialis anak saat ini tidak ada, spesialis anestesi sempat hanya satu, sehingga kalau anestesi pergi itu cukup menantang kapan kita harus merujuk dan sebagainya. Kemudian jumlah pasien yang banyak, jadi jumlah pasien dalam satu bulan kunjungan poli itu rata-rata 300an,” tutur dr. Ratri.

Di tengah keterbatasan jumlah spesialis anestesi dan anak, dr. Ratri juga mengadakan pelatihan kegawatdaruratan maternal serta aspirasi vakum manual (AVM) sebagai pengganti kuret tajam yang masih digunakan di sana. Meski fasilitas dan jumlah dokter spesialis terbatas, kehadiran residen diharapkan dapat menurunkan angka kematian ibu (AKI), meningkatkan akses dan kualitas pelayanan, serta mengurangi angka rujukan ke rumah sakit lain.

Pelayanan di Pulau Supiori, Papua

dr. Hindun Wildani Wahab berbagi pengalaman mengabdi di RSUD Supiori, Papua, yang selama setahun tidak memiliki dokter spesialis obstetri dan ginekologi. Banyak pasien masih melahirkan di rumah atau puskesmas, sehingga upaya meningkatkan kesadaran masyarakat menjadi prioritas. Penyuluhan dilakukan di sekolah-sekolah dan gereja untuk menjangkau masyarakat secara lebih luas.

“Sebelum saya datang, tidak ada SpOG selama satu tahun, jadi banyak pasien obsgin yang dirujuk ke Biak. Karena sudah tidak ada SPOG setahun, jadi wajar kalau tidak ada yang kontrol ke RSUD Supiori. Sehingga permasalahannya, masih banyak pasien yang melahirkan di rumah, syukur kalau ada yang melahirkan di puskesmas,” ujar dr. Hindun.

Selain itu, pelatihan manajemen perdarahan postpartum dan penggunaan alat medis juga diberikan kepada tenaga kesehatan setempat untuk meningkatkan kapasitas pelayanan. dr. Hindun juga aktif menjangkau pulau-pulau terluar dengan menggunakan kapal demi memastikan pemerataan pelayanan kesehatan.

“Jadi tujuan saya di sana untuk meningkatkan kepedulian dan kesadaran masyarakat Supiori. Selain fokus ke masyarakat, kami juga harus fokus menyiapkan SDM dari internal sendiri, salah satunya saat Dinkes melakukan pengadaan alat USG ke puskesmas, sehingga kami melakukan pelatihan USG untuk rumah sakit dan puskesmas sekitar.”

“Kami juga melakukan penyuluhan di pulau Samber Pasi dan pulau Rani. Selain penyuluhan, kami juga melakukan pemeriksaan singkat bagi ibu-ibu yang hamil di sana, termasuk juga Tanda-Tanda Vital (TTV), serta pemeriksaan fisik secara umum,” tambah dr. Hindun.

Program Pendidikan dan Pengiriman Residen dari Papua

Selain pemaparan pengalaman residen yang bertugas di daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal), pada talkshow ini juga menghadirkan salah satu residen asal Papua untuk menceritakan perjalanan panjang hingga bisa menempuh pendidikan spesialis di FK-KMK UGM. dr. Maria Lisbeth Howay mengungkapkan proses panjang yang dilaluinya sebelum diterima belajar di FK-KMK UGM melalui kerja sama Pemda Papua Barat dengan fakultas. 

Setelah magang di Kabupaten Sorong dan mengikuti tes di Yogyakarta, ia dan teman-temannya kini mendapatkan kesempatan menimba ilmu dan meningkatkan kompetensi demi kembali melayani masyarakat Papua. “Kami dari Papua ada banyak. Terbagi dari Obsgyn, Bedah, Patologi Anatomi, Mikrobiologi, dan yang lainnya. Puji syukur semuanya lulus dan kami diterima belajar di FK-KMK UGM,” ungkap dr. Maria.

Pada kesempatan ini, dr. Maria mengucapkan terima kasih kepada UGM, khususnya FK-KMK UGM yang telah menerima putra dan putri daerah dari Papua untuk belajar di FK-KMK UGM. “Harapannya, program ini terus berlanjut sehingga anak-anak asli Papua dan daerah terpencil lainnya dapat memperoleh kesempatan pendidikan spesialis yang setara,” ucap dr. Maria.

Testimoni dari Rumah Sakit Daerah dan Pihak Terkait

Direktur RSUD Dr. PP Magretti Saumlaki, dr. Felisitas Rante, Sp. Rad dalam kesempatannya menyampaikan apresiasi yang luar biasa untuk FK-KMK UGM, khususnya bagi residen SpOG yang mengabdi di daerah 3T. Beliau mengatakan bahwa keberadaan residen membuka akses pelayanan BPJS bagi pasien yang sebelumnya harus membayar secara mandiri karena tidak ada dokter spesialis. Hal ini sangat membantu masyarakat dengan tingkat kemiskinan tinggi yang sulit menjangkau pelayanan medis berkualitas.

Demikian pula Direktur RSUD Encik Maryam di Pulau Lingga mengungkapkan terima kasih atas kontribusi residen yang telah meningkatkan pelayanan dan berharap putra-putri daerah dapat diberi kesempatan mengikuti pendidikan spesialis di FK-KMK UGM. Di Papua, dr. Jenggo Suwarko selaku Direktur RSUD Supiori dan masyarakat setempat juga merasakan manfaat besar dari kehadiran dokter residen yang tidak hanya memberikan pelayanan di rumah sakit, tapi juga menjangkau pulau-pulau terpencil.

“Meski dalam waktu singkat 6 bulan, rasanya sudah sangat menyatu dengan masyarakat. Karena sudah lebih dari 2 tahun tidak ada dokter kandungan di rumah sakit kami. Masyarakat sangat suka dengan dr. Hindun. Bahkan, masyarakat sering bertanya, kapan dr. Hindun kembali ke Supiori,” ujar dr. Jenggo.

*****

Program pengabdian residen Obstetri dan Ginekologi FK-KMK UGM merupakan wujud nyata dari semangat “Dari Kampus untuk Negeri”. Dengan keberanian, ketulusan hati, dan dedikasi tinggi, para residen tidak hanya menimba ilmu, tetapi juga memberikan pelayanan yang sangat dibutuhkan di daerah-daerah terpencil Indonesia.

Keberlanjutan program ini menjadi harapan bersama agar pemerataan tenaga kesehatan dapat terus terwujud, membuka akses pelayanan kesehatan berkualitas untuk seluruh lapisan masyarakat, serta melahirkan dokter spesialis yang tidak hanya cerdas secara akademik tetapi juga memiliki karakter dan integritas tinggi.

Semoga kisah inspiratif dan dedikasi para residen ini dapat memotivasi generasi mendatang untuk terus berkontribusi dalam membangun kesehatan bangsa, serta menjadi bukti bahwa ilmu dan pengabdian harus berjalan beriringan demi kemajuan Nusantara.

(Reporter: Nasirullah Sitam, SIP.)