Menimbulkan Kedekatan, Menumbuhkan Harapan di Tempat Kerja

FK-KMK UGM. Belakangan ini, istilah toxic kerap mengisi berbagai algoritma media sosial. Perilaku ini bisa terjadi pada diri sendiri, orang lain maupun lingkungan di masyarakat.

Pada serapan bahasa indonesia, toxic diartikan sebagai racun. Namun, toxic pada konteks ini menyoal istilah untuk menggambarkan perilaku atau lingkungan yang merugikan.

Dalam rangka memberikan wawasan tentang perilaku toxic yang mungkin terjadi di lingkungan kampus, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (FK-KMK UGM) menggelar kegiatan Lunch Discussion bertema ”How to Survive in Toxic Environment”.

Diskusi ini berlangsung daring melalui Zoom pada Rabu (19/6) yang diikuti lebih dari 150 peserta.

“Ada beberapa pandangan mengenai toxic workplace, inilah yang menjadi ciri budaya organisasi yang toxic,” jelas Ridwan Saptoto, S.Psi., M.A., Ph.D.,Psikolog.

Sesuai penjelasan Ridwan, kelima hal tersebut meliputi disrespectful, non inclusive, unethical, cutthroat, dan abusive.

“Kita bisa lihat toxic workplace punya rentang yang paling ringan sampai paling berat,” tegas Ridwan.

Adapun bentuk toxic workplace yang paling ringan adalah sekadar tidak menghargai orang lain (disrespectful) dan yang terberat adalah harassment (abusive).

Lebih lanjut, Ridwan menyampaikan jika toxic workplace pun dapat berupa workplace harassment, workplace bullying, workplace ostracism.

“Yang sangat disayangkan adalah kita sebagai orang dewasa menghabiskan sebagian besar waktu di tempat kerja, namun kemudian di sana kita mendapatkan toxic,“ pungkasnya.

Ia menjelaskan kondisi tersebut akan mempengaruhi performa kerja sehingga tidak optimal dan sulit meraih prestasi terkait.

“Tempat kerja bisa saja menjadi lokasi atau waktu yang tidak di idam-idamkan untuk didatangi, tetapi justru menjadi hal yang ingin dihindari,” tutur Ridwan.

Adapun solusi mengatasi toxic workplace dapat direspon melalui menghapus kultur organisasi yang memicu ketakutan untuk terbuka, mendorong perilaku kolaboratif, dan mengembangkan gaya kepemimpinan positif.

“Jadi atasan itu seharusnya bisa menumbuhkan harapan untuk pegawainya dan tidak hanya menjadi hakim bagi pegawai,” tutup Ridwan.

Diskusi ini memuat komitmen Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (SDGs) yakni Kehidupan Sehat dan Sejahtera (SDG 3), Pendidikan Berkualitas (SDG 4), dan Kesetaraan Gender (SDG 5). (Isroq Adi Subakti/Reporter)

Berita Terbaru