FK-KMK UGM. Yogyakarta merupakan wilayah yang dijadikan kiblat budaya Jawa sejak tahun 1756 dan menjadi tempat kediaman raja serta keluarga Kasultanan. Dalam perkembangannya, selain kota budaya, Yogyakarta juga menjadi kota pelajar, kota pariwisata, dan kota perjuangan yang tentu semakin padat interaksi antara masyarakat Yogyakarta dengan orang-orang dari luar kota Yogyakarta. Interaksi inilah yang menjadikan masyarakat Yogyakarta rawan untuk terinfeksi penyakit influenza.
Hal tersebut disampaikan oleh Dosen Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM, Nur Aini Setiawati, PhD dalam diskusi raboan dengan topik “Kebijakan Penanganan Penyakit Influenza, Epidemi dan Pandemi di Yogyakarta, 1951-2021, Perspektif Histori” yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Bioetika dan Humaniora Kedokteran pada Rabu, (30/3).
Beliau mengungkapkan bahwa kebijakan penanganan penyakit influenza perlu dikaji untuk menjelaskan bagaimana cara pemerintah dan masyarakat menangani penyakit menular yang telah menyebar di Wilayah Yogyakarta pada masa lalu untuk pembelajaran dan rujukan masyarakat dalam penanganan penyakit influenza saat ini.
“Pandemi yang terjadi saat ini adalah pattern berulang, pada abad 20 lalu juga pernah terjadi kasus serupa. Namun banyak masyarakat yang masih abai dan tidak menjaga kesehatan sehingga kasus saat ini terlihat lebih berat”, ungkap Nur Aini.
Beliau juga menyampaikan berdasarkan sejarah, pandemi yang terjadi di Indonesia dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah saat ini cukup mirip dengan apa yang terjadi saat dimasa lalu yaitu adanya pengembangan surveillance dan karantina. Bedanya pada zaman dahulu belum ada penerapan pengunaan masker, mencuci tangan dan menjaga jarak.
Belajar dari pandemi yang terjadi saat ini, orang-orang menjadi sadar pentingnya menjaga kebersihan diri maupun lingkungan. Contohnya saat ini lebih banyak orang rajin cuci tangan setelah bepergian dan menggunakan masker apabila bertemu dengan orang lain.
Seminar raboan sore ini ramai dihadiri oleh hampir 80 peserta secara daring dan dimoderatori oleh dr. Galuh Dyah Fatmala dari Center for Bioethics and Medical Humanities (CBMH) FK-KMK UGM. (Yuga Putri/Reporter)