FK-KMK UGM. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (PKMK FK-KMK UGM) baru saja menyelesaikan rangkaian webinar series bertajuk “10 Tahun Kebijakan JKN dalam 3 Periode” yang digelar pada 16, 18, dan 30 Desember 2024. Acara ini menghadirkan pakar kebijakan, peneliti, dan praktisi kesehatan untuk mengevaluasi satu dekade implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Indonesia.
Webinar ini digelar sebagai momentum refleksi kritis terhadap perjalanan JKN, yang merupakan sistem asuransi kesehatan terbesar di dunia dengan model single-pooling. Sejak diterapkan pada tahun 2014, JKN telah mencakup 83% populasi Indonesia pada 2021. Namun, tantangan yang muncul selama implementasi, terutama dalam hal pemerataan akses dan kualitas pelayanan kesehatan, tetap menjadi isu utama.
Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD, Ketua PKMK FK-KMK UGM, menyoroti berbagai paradoks dalam pelaksanaan JKN. Menurutnya, meskipun cakupan Universal Health Coverage (UHC) telah mencapai angka yang tinggi, ketimpangan layanan masih terlihat di beberapa daerah, khususnya kawasan terpencil, misalnya Nusa Tenggara Timur (NTT).
“Tidak terserap, bukannya mereka sehat, tapi emang nggak ada akses. Misal, di NTT, itu nggak tersedia layanan operasi jantung,” ungkap Prof. Laksono kepada wartawan saat konferensi pers.
Ia juga menyoroti fakta bahwa fasilitas layanan cenderung dinikmati oleh kalangan menengah ke atas, yang sebenarnya memiliki kemampuan untuk membayar layanan asuransi komersial.
Melalui diskusi mendalam, webinar ini menelusuri tiga fase utama implementasi JKN: era pra-pandemi (2014-2019), masa pandemi COVID-19 (2020-2022), dan periode pasca-pandemi (2023-sekarang). Pada era pra-pandemi, JKN menghadapi tantangan dalam menjamin prinsip keadilan dan mutu layanan kesehatan. Sistem pencegahan fraud yang baru dibentuk pada 2015 belum memberikan hasil signifikan, sementara analisis berbasis segmen anggota BPJS belum dilakukan secara mendalam.
Masa pandemi COVID-19 membawa perubahan besar pada sistem pendanaan kesehatan. Dana dari kebijakan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dialokasikan untuk menutupi biaya pengobatan pasien COVID-19, sehingga BPJS sempat mengalami surplus. Namun, situasi ini tidak dapat sepenuhnya dianggap sebagai refleksi murni dari sistem JKN karena adanya pengaruh signifikan dari dana tambahan.
Setelah pandemi, situasi kembali seperti sebelum COVID-19, dengan munculnya kembali defisit dalam segmen BPJS. Prof. Laksono menjelaskan bahwa banyak peserta BPJS yang hanya aktif ketika membutuhkan layanan kesehatan, tetapi tidak melanjutkan pembayaran setelah sembuh.
“Defisit yang paling banyak datang dari BPO di mana mereka pakai BPJS karena emang udah kena penyakit, tapi kalau sudah dioperasi dan sembuh, mereka nggak bayar lagi,” tambahnya.
Saat ini, sekitar 25 juta orang terdaftar tetapi tidak aktif membayar, sementara 4 juta lainnya belum bergabung sebagai peserta BPJS.
Sebagai solusi, Prof. Laksono menekankan pentingnya kebijakan yang lebih terarah untuk mengatasi berbagai kelemahan dalam sistem JKN. Ia menyoroti perlunya evaluasi mendalam terhadap UU JKN dan implementasi kebijakan berbasis segmen.
“UGM, kami, bukan tujuan provokasi, menggugah, jangan-jangan ada masalahnya di UU, dan itu nggak bisa diselesaikan dengan peraturan biasa,” katanya.
Webinar ini juga menghasilkan beberapa rekomendasi strategis untuk meningkatkan keberlanjutan JKN. Di antaranya adalah penguatan sistem kendali mutu, perlindungan dana Penerima Bantuan Iuran (PBI) untuk masyarakat miskin, serta sinergi antara pemerintah pusat, daerah, dan sektor swasta dalam pengembangan infrastruktur kesehatan. Penting pula untuk mendorong kelompok menengah ke atas agar tidak bergantung pada JKN dan mulai menggunakan asuransi komersial.
Lebih jauh, Prof. Laksono menekankan bahwa dana pemerintah harus difokuskan untuk kelompok miskin, sesuai dengan amanat Pancasila. “Di luar negeri itu, 5% dari pendapatan untuk asuransi, kalau kita, mau kaya mau miskin, ya 150 ribu,” jelasnya.
Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan berbasis keadilan sosial harus diperkuat untuk mencapai tujuan UHC yang sesungguhnya. Rangkaian webinar ini menjadi langkah awal bagi PKMK FKKMK UGM dalam menyusun policy brief yang akan melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
Hasil diskusi ini diharapkan dapat menjadi masukan berharga bagi pemerintah dalam merancang kebijakan kesehatan yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Sebagaimana dikatakan oleh Prof. Laksono, “Kita sudah ada ratusan kali meeting untuk pembuatan policy brief melalui berbagai stakeholders terkait.”
Dengan demikian, upaya ini diharapkan dapat mewujudkan sistem kesehatan yang lebih adil dan merata di masa depan.
Melalui rekomendasi ini, PKMK FK-KMK UGM terus berkomitmen untuk mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yakni Kehidupan Sehat dan Sejahtera (SDG 3), Pendidikan Berkualitas (SDG 4), Industri, Inovasi, dan Infrastruktur (SDG 9), Berkurangnya Kesenjangan (SDG 10), Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab (SDG 12) serta Kemitraan Untuk Mencapai Tujuan (SDG 17). (Isroq Adi Subakti/Reporter)