Mengoptimalkan Manajemen Terapi Infeksi Biofilm

FK-KMK UGM. “Penegakan diagnosis penyakit infeksi dan uji sensitivitas obat saat ini masih berfokus pada identifikasi patogen dalam kondisi planktonik yang hidup bebas. Demikian juga pendekatan penanganan infeksi lebih banyak diarahkan pada eradikasi mikroorganisme dalam keadaan planktonik. Hal ini berpotensi menyebabkan kegagalan terapi antibiotik yang juga dapat memicu resistensi, sehingga perlu dilakukan pendekatan diagnosis dan terapi penyakit infeksi dengan mempertimbangkan keberadaan koloni biofilm,” papar Prof. dr. Titik Nuryastuti, Msi., PhD., SpMK(K) mengawali pidato pengukuhan Guru Besar di Balai Senat UGM, Kamis (17/6).

Pandemi Covid-19 ini telah mengajak dunia untuk kembali memperhatikan infeksi bakteri, baik berupa ko-infeksi akut karena bakteri planktonik maupun ko-infeksi kronis yang berkaitan dengan pembentukan biofilm.

“Pemakaian endotracheal tube sebagai terapi suportif pada pasien COVID-19 merupakan salah satu faktor risiko pembentukan biofilm pada permukaan dalam dan luar kanula trakea, sehingga meningkatkan risiko terjadinya pneumonia terkait ventilator. Ko-infeksi dengan infeksi biofilm ini berpotensi memperburuk kondisi klinis dan meningkatkan mortalitas pada pasien, serta memperpanjang dan meningkatkan biaya rawat inap,” imbuhnya.

Guru besar bidang Ilmu Mikrobiologi Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM ini juga memaparkan bahwa alam memiliki 99 persen bakteri dalam bentuk sesil atau biofilm dan hanya 1 persen dalam bentuk planktonik.

“Di tubuh manusia, biofilm bisa berperan ganda yang bermanfaat ataupun merugikan. Kolonisasi mikroba flora normal di saluran gastrointestinal dan genitourinari adalah contoh biofilm yang bermanfaat bagi kehidupan manusia,” ungkapnya.

Infeksi biofilm seringkali ditemukan dalam beragam kasus. Hampir 80 persen kejadian infeksi berkaitan dengan pembentukan biofilm, karena ia sampai saat ini masih diakui sebagai mediator utama infeksi. Prof. Titik jugam menambahkan bahwa pembentukan biofilm dapat disebabkan oleh kondisi yang berpotensi toksik bagi sel bakteri, seperti tingginya osmolaritas, paparan detergen, urea, etanol, stres oksidatif maupun pengaruh lain.

“Penelitian kami menunjukkan bahwa ekspresi gen penyandi biofilm meningkat secara signifikan dengan adanya paparan atsiri kayu manis pada konsentrasi sub-KHM. Ini merupakan lapran pertama yang menunjukkan bahwa minyak atsiri kayu manis dapat bertindak sebagai peniduksi pembentukan biofilm pada isolat klinik S. epidermidis,” tegasnya.

Infeksi terkait biofilm sendiri menurut Prof. Titik bisa digolongkan dalam 3 kategori, yakni infeksi terkait pemasangan piranti medis, infeksi kronis pada organ tertentu, dan malfungsi piranti medis terkait biofilm.

Di penghujung pidatonya yang bertajuk “Biofilm sebagai Penyebab Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan (HAIs) dan Resistensi Antibiotik: Diagnosis dan Pendekatan Terapi” ini Prof. Titik mengungkapkan bahwa pemahaman konsep fase pertumbuhan bakteri dan identifikasi bakteri dari sampel klinis harus diperbarui. Fase pertumbuhan mikroba dalam bentuk biofilm bahkan sudah selayaknya menjadi perhatian ahli mikrobiologi klini dan klinisi, demikian pula tentang infeksi bioflm.

“Harapannya agar pengendalian resistensi antibiotik dan HAIs di masa mendatang bisa dilakukan dengan lebih komprehensif,” imbuhnya. (Wiwin/IRO; Foto: Fristo/Humas UGM)