FK-KMK UGM. Kasus Covid-19 di Kudus Jawa Tengah, saat ini sedang mengalami lonjakan. Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, SH., MIP., menyatakan bahwa salah satu penyebab kenaikan kasus di Kudus adalah adanya varian baru Covid-19.
“Hasil tes genome yang dilakukan beberapa waktu yang lalu juga memberikan bukti yang kuat terkait pernyataan ini. Terjadinya kepanikan di rumah sakit saat ini dikarenakan ketidaksiapan untuk menghadapi skenario terburuk. Alhasil bukannya melakukan rujukan ke rumah sakit di daerah lain, namun memberikan pernyataan bahwa rumah sakit telah penuh,” ungkapnya saat memberikan Keynote Speech dalam kegiatan Webinar bertajuk “Varian Virus Corona Delta di Kudus,” Rabu (16/6) secara daring.
Selain itu, kurangnya tenaga kesehatan, dan fasilitas medis dalam kondisi darurat juga disebut menjadi penyebab meruncingnya masa genting di Kudus. “Kami sudah melakukan Perpanjangan PPKM, optimalisasi tindakan pencegahan dengan kolaborasi antar wilayah, penutupan lokasi wisata di zona merah, dan peningkatan vaksinasi massal menjadi beberapa pendekatan prioritas yang akan dilakukan oleh pemerintah Jawa Tengah,” tegasnya.
Penemuan varian Delta di Kudus merupakan hasil kajian laboratorium Tim Pokja Genetik FK-KMK UGM yang diketuai oleh dr. Gunadi, Ph.D, Sp. BA. Dalam kesempatan webinar tersebut, dr. Gunadi menyampaikan beberapa sistem pengklasifikasian yang saat ini digunakan untuk mengklasifikasikan virus SARS-CoV-2.
“Seperti yang telah kita ketahui, ditemukan varian delta dari virus SARS-CoV-2 yang di kota Kudus, Bangkalan, dan DKI. Selain itu, di akhir Mei kemarin, WHO membagi kategori varian menjadi varian of interest dan variant of concern. Peningkatan kategori variant of interest menjadi variant of concern terjadi ketika varian ini memiliki pengaruh terhadap kesehatan masyarakat secara global. Dalam konteks ini termasuk di dalamnya transmisi virus yang lebih cepat, peningkatan kemampuan menimbulkan penyakit di tubuh kita, timbulnya gejala klinis yang berbeda dari sebelumnya, dan kemampuannya dalam menurunkan efektivitas vaksinasi atau pengobatan yang kita lakukan,” paparnya.
Lalu langkah apa yang harus kita lakukan untuk mengantisipasi varian of concern ini? Menanggapi hal ini, Epidemiolog yang juga menjabat sebagai Direktur Pusat Kedokteran Tropis FK-KMK UGM, dr. Riris Andono Ahmad, MPH., PhD., menekankan pentingnya memahami karakteristik perjalanan alamiah COVID-19 dan bagaimana pelaksanaan strategi 3M dan 3T ditambah vaksinasi dan restriksi mobilitas efektif untuk menekan lonjakan kasus karena varian of concern ini. Restriksi mobilitas terbukti efektif dan sangat dianjurkan untuk menekan lonjakan kasus.
“Yang paling ideal adalah menekan mobilitas dari 70% populasi selama kurang lebih tiga minggu dengan luas wilayah restriksi yang besar. Hal tersebut mengacu pada teori imunitas komunal (herd immunity) dan dua kali periode infeksius suatu penyakit. Disimpulkan pula bahwa pembatasan wilayah mikro seperti di tingkat RT padahal penularan sudah meluas sesungguhnya tidak efektif untuk mengontrol transmisi COVID-19. Pada akhirnya,kesiapan sistem kesehatan dan komunitas diperlukan untuk melakukan strategi kombinasi 3M, 3T, vaksinasi, dan pembatasan wilayah yang efektif,” paparnya
Sedangkan Pakar Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM, Dr. dr. Andreasta Meliala, DPH., M.Kes., MAS., memaparkan bahwa sistem kesehatan yang resilien itu yang cepat beradaptasi ketika diterpa krisis atau bencana. “Resiliensi itu terbentuk jika sistem kesehatan kita mampu memprediksi dampak dari suatu kasus, seperti varian of concern ini, dan merupakan sistem yang tumbuh, tidak jalan di tempat, mengikuti situasi yang ada. Singapura menjadi pembelajaran sistem kesehatan dengan resiliensi yang baik. Kesiapan sistem kesehatan yang ketat dan terstandarisasi membuat tidak adanya penumpukan di rumah sakit. Dibandingkan dengan India yang reaktif dianggap hanya sebatas di atas kertas dan terlambat sehingga berdampak pada beban rumah sakit yang besar. India tidak belajar dari gelombang pandemi yang sebelumnya, ini berbeda dengan Singapura yang mencoba untuk beradaptasi merespon, dan belajar dari situasi sebelumnya,” ungkapnya.
Saat dikonfirmasi mengenai bagaimana dengan Indonesia? Dokter Andreasta menegaskan bahwa negara ini belum bersiap untuk skenario adanya varian yang baru seperti varian of concern seperti saat ini. “Seharusnya kita menggunakan pendekatan yang terarah, mengikuti parameter epidemiologi. Sistem kesehatan harus beradaptasi dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan klinis dan epidemiologi. Persiapan yang efektif adalah yang dihitung dengan mempertimbangkan perkembangan yang ada. Kesiapan yang tinggi menghadapi tumbukan yang besar pun akantetap dapat terkendali, berbeda jika tumbukan yang besar dihadapi dengan kesiapan yang rendah yang akan menjadi kekacauan, bisa jadi ini yang terjadi di Kudus. Restriksi juga berperan penting. Kesiapan yang rendah tanpa pembatasan wilayah akan berimplikasi pada penularan yang tidak terkendali,” terangnya.
Gerakan kolektif dari dan untuk komunitas menjadi kritikal semasa pandemi ini, terutama ketika kemampuan pemerintah untuk membantu masih terbatas. “Berbagai inovasi dari gerakan Sambatan Jogja dapat menjadi inspirasi bagi komunitas lain untuk diaplikasikan di daerah masing-masing. Inti dari gerakan Sonjo adalah berfokus pada bertahan hidup, membuat perubahan kecil setiap hari dengan konsisten. Pendekatan komunitas di sektor kesehatan dan ekonomi menjadi krusial,” ungkap pendiri forum Sambatan Jogja (SONJO), Rimawan Pradiptyo, SE., MSc., PhD.
Beberapa pendekatan SONJO yang dilakukan di antaranya adalahi penyediaan dan manajemen shelter, penanganan jenazah mandiri, dan manajemen data. “ akhirnya, mutasi virus merupakan hal yang umum terjadi, namun yang penting adalah sikap inangnya, yaitu masyarakat. Kesiapan dan kerjasama dalam melaksanakan 3M, 3T, vaksinasi, dan pembatasan wilayah menjadi kunci dari kesuksesan dalam mengendalikan pandemi ini, apapun variannya,” imbuhya. (Wiwin/IRO; Malida/Tropmed)