Universitas Gadjah Mada (UGM) resmi melepas sebanyak 8038 mahasiswa dalam program Kuliah Kerja Nyata-Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat (KKN-PPM) Periode II Tahun 2025. Para mahasiswa ini tergabung dalam 287 unit, serta mengabdi di 35 provinsi, mencakup 122 kabupaten/kota dan 236 kecamatan di seluruh Indonesia, mulai 20 Juni hingga pertengahan Agustus 2025.
Dilansir oleh website UGM, Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., Sp.OG(K)., Ph.D., selaku rektor UGM menekankan bahwa KKN-PPM bukan sekadar bagian dari kurikulum, melainkan sebuah wujud nyata transformasi sosial. Mahasiswa hadir langsung di desa sebagai pendamping dalam merancang solusi kontekstual dan berkelanjutan. Ia juga menyoroti pentingnya pemilihan tema strategis agar program memiliki dampak lebih luas dan relevan.
Pada pelepasan KKN-PPM yang dilaksanakan pada Jumat (20/06) di Lapangan Pancasila Grha Sabha Pramana (GSP), terdapat 320 mahasiswa FK-KMK UGM yang turut serta dalam Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang ditempatkan di berbagai wilayah, termasuk Daerah Terpencil, Perbatasan, dan Kepulauan (DTPK). Bagi mahasiswa, pengabdian ini bukan sekadar kewajiban akademik, melainkan sebuah pengalaman yang berharga. Melihat berbagai kondisi di masyarakat secara langsung tentang layanan kesehatan, kearifan lokal, serta keramahan masyarakat lokal yang jauh dari keramaian kota.
Pengalaman berharga dituturkan oleh mahasiswa FK-KMK UGM yang mengabdi di Natuna, Sebatik, Ternate, Morotai, dan Mimika hanyalah secuil kisah yang bisa disampaikan. Kelima mahasiswa tersebut adalah Gisela Silverine Widyananda (Prodi Gizi), Anni’mah Londa Setyorini & Almas Larasati (Prodi Profesi Dokter), serta Jerome Marcellino Akuwan & Fadhilah Rohadatul ‘Aysy (Prodi Ilmu Keperawatan). Mereka terjun ke Daerah Terpencil, Perbatasan, dan Kepulauan (DTPK) untuk hadir di tengah masyarakat yang membutuhkan.
Menapak Jauh di Kepulauan Natuna
“KKN kami berlokasi di Desa Pulau Tiga dan Desa Selading, Kecamatan Pulau Tiga Barat, Kabupaten Natuna” terang Gisela.
Berlokasi di kepulaun, dan jauh dari pusat kota Tanjungpinang, Gisela Silverine Widyananda, mahasiswa Program Studi Gizi FK-KMK UGM menceritakan tentang ketertarikannya untuk melihat lebih dekat bagaimana upaya pemerataan akses kesehatan dijalankan di daerah tersebut, sekaligus memahami perilaku dan kebiasaan masyarakat dalam menjaga kesehatannya.
Bersama timnya, ia menjalankan program Halo Sehat Natuna! dan TUNTAS (Tumbuh Kembang Optimal untuk Anak Sehat Bebas Stunting). Gisela menyaksikan sendiri bagaimana gizi buruk dan stunting masih menjadi masalah sensitif. Meski data menunjukkan ada balita stunting, sebagian orang tua menolak kenyataan itu dan enggan memeriksakan anaknya ke fasilitas kesehatan. Situasi diperparah dengan akses pangan yang terbatas; selain ikan, lauk hewani dan nabati harus didatangkan dari pusat kabupaten yang berjarak dua jam perjalanan laut.
“Di tempat KKN kami ada Puskesmas Pembantu (Pustu) Selading, dan Puskesmas Sepasir. Di wilayah ini, pelayanan kesehatan berpusat di Puskesmas Pulau Tiga Barat. Masyarakat sangat bergantung pada layanan puskesmas ini. Bila membutuhkan layanan medis yang lebih lanjut, warga harus menyeberang laut menggunakan pompon (kapal kayu) untuk menuju rumah sakit di Pulau Natuna Besar. Akses yang terbatas ini sering membuat masyarakat enggan untuk berobat dan lebih mengandalkan tenaga kesehatan setempat,” ujar Gisela.
Selain itu, Gisela bersama tim KKN Pesona Natuna juga memberikan penyuluhan melalui program edukatif seperti Mini Medics Squad dan JUARA GIZI (Jurus Anak Sehat, Rajin Pilih Jajanan Bergizi), Gisela menanamkan kesadaran sejak dini kepada anak-anak. Sementara lewat kampanye “Sampah ke Laut, Penyakit ke Rumah”, ia mengajak masyarakat memahami keterkaitan antara lingkungan dan kesehatan.
Menyentuh Realitas Kesehatan di Perbatasan Kalimantan
Di Pulau Sebatik, Kalimantan Utara yang separuhnya berbatasan langsung dengan Malaysia, Almas Larasati, mahasiswa Profesi Dokter FK-KMK UGM mengabdikan diri melalui KKN-PPM. Nama kelompok KKN-PPM mereka adalah Taka Sebatik. Sebagai pulau perbatasan, Sebatik memiliki karakter masyarakat yang dinamis sekaligus tantangan kesehatan yang kompleks. “Secara umum, program kerja Medika difokuskan pada upaya peningkatan pengetahuan masyarakat dalam beberapa aspek penting, seperti penanganan pertolongan pertama, penerapan perilaku hidup bersih dan sehat, pemanfaatan tanaman obat keluarga (TOGA), serta perbaikan gizi pada anak-anak yang dibagi kepada empat anggota Medika,” terang Almas.
Almas bersama tim KKN Taka Sebatik menjalankan program sosialisasi pertolongan pertama, edukasi ASI dan MPASI, hingga kesehatan reproduksi remaja. Ia juga terlibat dalam Medical Check Up remaja dan edukasi Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di sekolah-sekolah. Dengan pendekatan berbasis komunitas, ia berusaha menjembatani pengetahuan kesehatan modern dengan pola hidup masyarakat setempat.
“Saya mengagumi semangat masyarakat di Sebatik, khususnya para kader kesehatan yang giat menyelenggarakan kegiatan posyandu dan posbindu setiap bulan. Mereka juga rutin melakukan kunjungan rumah kepada warga yang terdeteksi mengalami stunting.”
Selain itu, Almas juga mengapresiasi Pemerintah Desa Binalawan yang memberikan dukungan penuh untuk setiap kegiatan terkait kesehatan. Bahkan Almas dan tim KKN-PPM UGM diajak dalam kegiatan rembuk stunting yang diadakan oleh desa untuk membahas berbagai kemungkinan penyebab tingginya angka stunting di desa Binalawan, Sebatik.
Berjuang Bersama Masyarakat Pulau Rao, Morotai
Di tempat yang lain, Jerome Marcellino Akuwan, mahasiswa Program Studi Keperawatan FK-KMK UGM menyeberang ke pulau Morotai, tepatnya di desa Posi-Posi, Pulau Rao. Bersama Tim KKN-PPM Kita Morotai, Jerome mempunyai program kerja yang difokuskan pada kesehatan mental, edukasi pernikahan dini, hingga pencegahan Demam Berdarah Dengue maupun Malaria. Meski desa Posi-Posi merupakan salah satu desa wisata di Maluku Utara, namun fasilitas kesehatan masih terbatas.
“Di Kecamatan Pulau Rao sendiri, untuk fasilitas kesehatan masyarakat masih belum terdapat rumah sakit sehingga akses ke rumah sakit harus menyeberang ke Pulau Morotai, tepatnya di Daruba,” tutur Jerome.
Jerome menyampaikan bahwa di lokasi KKN-PPM yang ia tempati memang sudah ada puskesmas. Hanya saja untuk tenaga kesehatan seperti dokter masih terbatas. Terkadang, masyarakat harus menunggu dokter yang berdinas di tempat lainnya. Kondisi kesehatan masyarakat di desa Posi-Posi bisa dibilang lumayan baik. Mayoritas masyarakatnya bekerja sebagai nelayan maupun petani, sehingga mereka banyak melakukan aktivitas fisik.
“Namun, di sisi lain masyarakat di sini masih kurang memperhatikan kesehatan dari segi pola makan, sehingga tidak sedikit masyarakat yang memiliki riwayat gula darah tinggi serta tensi yang tinggi.”
Selain melaksanakan program bersama tim, Jerome juga berpartisipasi dalam kegiatan posyandu yang rutin dilaksanakan oleh puskesmas agar lebih dekat dan mudah untuk mengedukasi kesehatan di masyarakat desa Posi-Posi. Adanya interaksi dan komunikasi langsung dengan masyarakat menjadikan kegiatan selama KKN-PPM lebih mengesankan.
Membangun Harapan Kesehatan di Pulau Hiri
Mahasiswa Program Studi Keperawatan yang lainnya juga menceritakan pengalaman KKN-PPM di pulau Hiri, Kota Ternate, Maluku Utara. Bersama tim Bumi Hiri, Fadhilah Rohadatul ‘Aysy melakukan pengabdian di bidang kesehatan. Terlebih di sana dinamika pelayanan dan edukasi kesehatan di daerah yang aksesnya cukup menantang, karena pelayanan kesehatan bagi masyarakat setempat belum berjalan dengan optimal.

“KKN-PPM ini menjadi ruang belajar yang sangat berharga. Bukan hanya untuk mengimplementasikan ilmu keperawatan yang saya pelajari di kampus, tetapi juga untuk memahami secara mendalam kebutuhan kesehatan masyarakat setempat, membangun kepercayaan melalui interaksi sehari-hari, serta menghargai nilai-nilai kearifan lokal yang dipegang kuat oleh mereka,” ucap Fadhilah.
Di Pulau Hiri, program kerja klaster medika berfokus pada dua isu utama, yakni pengelolaan sampah dan pencegahan stunting. Untuk masalah sampah, mahasiswa mengadakan kampanye tentang bahaya plastik di laut, edukasi memilah dan mendaur ulang, serta pemasangan tempat sampah di titik strategis agar pengelolaan dapat berkelanjutan. Sementara itu, dalam pencegahan stunting dilakukan sosialisasi langsung ke rumah warga dengan menyesuaikan pendekatan pada tiap keluarga, sekaligus memberikan contoh olahan makanan bergizi dari bahan lokal.
Selain itu, mahasiswa juga mengadakan program “Sapa Sehat Posbindu” yang berisi skrining kesehatan serta edukasi penyakit tidak menular seperti hipertensi, diabetes, dan asam urat. Di bidang pendidikan kesehatan anak, mereka memperkenalkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di sekolah dasar serta melatih keterampilan dasar P3K di sekolah alam, termasuk penanganan awal untuk luka, pendarahan, pingsan, hingga tenggelam.
“Ketika ada gelaran besar Hiri Festival 2025, kami turut menyediakan layanan cek kesehatan gratis sebagai bentuk kontribusi nyata untuk menjaga kesehatan masyarakat. Kegiatan ini menjadi momen yang tidak hanya meriah dan mempersatukan masyarakat, tetapi juga memberi ruang bagi kami untuk memastikan kesehatan warga tetap menjadi prioritas di tengah perayaan.”
Mengenal Lebih Dekat Kesehatan Masyarakat Atuka
Perjalanan pengabdian KKN-PPM Anni’mah Londa Setyorini membawanya jauh ke timur. Mahasiswa Profesi Dokter FK-KMK UGM ini melaksanakan KKN-PPM di Kampung Atuka, Distrik Mimika Tengah, Kabupaten Mimika, Papua Tengah. Lokasi ini baru pertama kali menjadi tujuan KKN-PPM UGM, sehingga tantangannya masih banyak, terlebih pada kesehatan.
“Kondisi kesehatan masyarakat setempat secara umum dapat dibilang cukup baik, meskipun dalam praktik PHBS masih jauh dari ekspektasi saya. Namun, kategori cukup baik ini masih dipengaruhi dengan beberapa hal yang mungkin terjadi, seperti kurangnya deteksi dini suatu penyakit kepada seluruh warga Kampung Atuka, sehingga data yang saya dapatkan mengenai kondisi kesehatan masyarakat, khususnya saat posyandu, kurang akurat,” terang Anni’mah.
Anni’mah menerangkan bahwa divisi kesehatan tim KKN Mendaka Mimika melaksanakan lima program utama di Kampung Atuka. Program Nimao Sehat berfokus pada pemeriksaan kesehatan berkala bagi seluruh warga, sementara Mimi Gigi Mapia menghadirkan edukasi kesehatan gigi dan mulut untuk anak-anak SD. Selain itu, program Hidup Bae di Tanah Atuka mengajarkan PHBS melalui kegiatan sederhana seperti cuci tangan, aktivitas fisik, hingga pembagian paket kebersihan diri kepada masyarakat.
Tak kalah penting, program Mimika Sigap, Nyawa Selamat memberikan pelatihan pertolongan pertama dan bantuan hidup dasar kepada Mama-Mama kader kesehatan. Terakhir, Atuka Torang Lawan Stunting digelar untuk meningkatkan pemahaman warga mengenai stunting dan upaya pencegahannya. Seluruh kegiatan ini dirancang agar dapat memperkuat perilaku hidup sehat dan kesadaran kesehatan masyarakat secara menyeluruh.
Tidak berbeda dengan pelayanan kesehatan di Daerah Terpencil, Perbatasan, dan Kepulauan yang lainnya, fasilitas kesehatan di kampung Atuna hanya ada puskesmas. Pelayanannya juga terbatas, namun tetap memberikan pelayanan seperti persalinan, rawat luka, pemeriksaan malaria dan yang lainnya.
“Saya sempat diajak oleh tim Puskesmas Atuka untuk mengadakan trip posyandu di Kampung Mioko dan Aikawapuka yang masing-masing jaraknya 2 jam dari Kampung Atuka dan harus ditempuh menggunakan perahu melewati jalur Sungai,” kenang Anni’mah.
Dibandingkan Kampung Mioko dan Aikawapuka yang hanya memiliki pustu (puskesmas pembantu), Puskesmas Atuka jauh lebih memadai untuk rawat jalan maupun rawat inap meskipun untuk kasus-kasus tertentu yang membutuhkan pemeriksaan penunjang/lanjutan, seperti USG kehamilan, pemeriksaan dan pemberian obat IMS harus dirujuk ke Kota Timika.
*****
Kisah pengabdian KKN-PPM UGM mahasiswa FK-KMK UGM di Natuna, Sebatik, Morotai, Hiri, dan Atuka menunjukkan bahwa kesehatan di Daerah Terpencil, Perbatasan, dan Kepulauan (DTPK) masih menghadapi tantangan besar, mulai dari keterbatasan fasilitas hingga rendahnya kesadaran masyarakat akan pola hidup sehat. Namun, di balik keterbatasan itu, mahasiswa berusaha hadir dengan program-program yang kontekstual, sederhana, dan menyentuh kebutuhan dasar warga. Stunting, gizi buruk, penyakit tidak menular, hingga pengelolaan lingkungan menjadi fokus utama yang terus mereka dorong.
Pengalaman ini juga menegaskan bahwa pelayanan kesehatan di daerah terpencil tidak bisa hanya mengandalkan tenaga medis dan fasilitas terbatas. Sinergi dengan masyarakat, kader lokal, dan pemerintah desa menjadi kunci agar program kesehatan berjalan berkelanjutan. Mahasiswa KKN-PPM UGM berperan sebagai jembatan membawa ilmu yang mereka pelajari, lalu mengadaptasikannya sesuai dengan konteks sosial dan budaya setempat. Melalui KKN-PPM di Daerah Terpencil, Perbatasan, dan Kepulauan (DTPK), mahasiswa FK-KMK UGM tidak hanya belajar arti pelayanan, tetapi juga menegaskan bahwa setiap orang, di manapun berada, berhak atas akses kesehatan yang layak. (Penulis: Nasirullah Sitam. Editor: Yayuk Hartriyanti)